POV ERIK
"Menjadi Duda gantung?"
"Ya, mungkin itu sebutan untuk pria seperti pada masalah yang terjadi dalam kisahku ini."
"Menjadi Duda, namun tidak bercerai dengan Istriku."
"Hal apa yang akan terjadi dengan kehidupanku nantinya. Aku pun belum mengetahuinya. Biar roda kehidupan yang membawaku sebagai alur cerita dalam kehidupanku yang sangat pahit ini."
*
*
******
POV AUTHOR
"Aku malu mas punya suami kayak kamu, aku malu."
Deg! Seketika jantungnya berdebar cepat, matanya memerah, kedua telapak tangannya mengepal.
("Ingin rasanya aku menampar bibirnya.")
("Hatiku benar-benar merasa sangat terpukul mendengar ucapan istriku yang kesekian kalinya.")
"Baiklah kalau mau kamu seperti itu. Jangan salahkan aku, kalau aku tidak akan kembali lagi ke rumah ini."
"Mana, mana kunci mobil aku."
Istrinya merogoh ke saku celana bahan mengkilap ketatnya mengambil kunci mobil.
Pria berbadan bidang sedikit gemp itu membalikkan badannya lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Ia mengemas seluruh pakaiannya ke dalam tas ransel bersama dengan raut wajahnya yang terlihat garang.
Ia berjalan keluar dari rumah istrinya. Ia menancapkan gas motor miliknya. Sangat kencang Ia mengendarai motornya di Jalan Raya. Tanpa sadar sebuah cairan bening menetes dari kedua pelipis bola matanya mengiringi di sepanjang perjalanan Ia mengemudi motor.
("Kesekian kalinya Istriku merendahkan masalah status pendidikanku. Aku sangat tidak menyangka akan sifat aslinya.")
("Dulu sewaktu aku pertama kali berkenalan denganku, disaat aku yang sedang menawarkan rumah yang saat ini Ia tempati.")
("Pada waktu itu Istriku mendekatiku lalu merengek meminta untuk segera dinikahi olehku. Istriku ingin segera dinikahi olehku karena faktor usianya yang sudah lumayan kelewat usia (perawan tua).")
("Saat aku berpacaran dengannya, kata-kata Istriku sangatlah manis bagaikan madu, sangat lembut. Bahkan Ia pun pernah berjanji bahwa setelah menikah denganku, Ia tidak akan pernah memperdebatkan masalah status sosial, pekerjaan maupun yang lainnya.")
("Dengan berat hati, Aku pun menikahi Istriku dsn meninggalkan para wanita yang menyukaiku. Akan tetapi beberapa tahun kebelakang ini, Istriku sering memperdebatkan masalah status pendidikanku.")
("Kata-katanya yang keluar dari istriku di hari ini adalah kata-kata yang menusuk jantungku ke sekian kalinya. Biasanya aku dapat menahan emosiku. Aku tetap sabar menahan rasa kekesalanku kepada Istriku. Akan tetapi kali ini aku benar-benar merasa sangat sakit hati.")
("Aku sadar, aku hanyalah seorang pria yang hanya lulusan SMA, bekerja sebagai Team Leader Sales Marketing di salah satu Perusahaan yang bergerak di bidang Property. Aku pun sangat sadar kalau aku hanya numpang hidup di rumahnya.")
Kini Pria berbadan kekar bidang sedikit gempal itu telah sampai di area parkiran kantor pekerjaannya. Ia memarkirkan motornya di parkiran. Ia berjalan masuk ke Ruko kerjaannya.
"Selamat Pagi Pak?" Salah satu tim-nya menyapanya.
"Pagi." Ucapnya sambil berjalan masuk ke dalam Ruko tempatnya bekerja.
Ia langsung mendaratkan bokongnya di kursi meja kerjanya lalu langsung mencari-cari berkas file kliennya.
Temannya yang bernama Rio sedang berjalan menghampirinya. Rio mendaratkan bokongnya di pinggir meja dengan posisi satu kakinya yang menggantung di hadapan Erik yang sedang mencari berkas.
"Perasaan pagi ini langit terlihat sangat cerah. Awan pun sangat terlihat indah. Tapi koq kenapa ya terasa mendung?" Rio meledek kepada Erik.
"Ah bangke lu." Ucap Erik sambil mencari berkas-berkas.
"Kenapa sih Rik? Muka lo terlihat asem kayak begitu? Gak dapet jatah ya semalem? Apa istri lo ke luar kota lagi?" Ucap Rio.
"Justru Gw yang lagi males ketemu sama dia." Ucap Erik.
"Waduh! Tumben amat lo males ketemu sama dia?" Ucap Rio.
"Ada masalah apa sih Rik?" Sambung ucapan Rio.
"Bukan urusan lu." Ucap Erik.
"Ok, ok." Ucap Rio.
"Sudah, mendingan lo temenin gw ngopi di warung depan? Sekalian ada sesuatu yang mau gw obrolin dengan lu?" Ucap Erik.
"Ok, tapi bayarin ya Rik?" Ucap Rio.
"Iya gw bayarin." Ucap Erik.
"Ok bos.." Ucap Rio.
Erik dan Rio melangkahkan kakinya keluar dari kantor. Mereka berdua masuk ke dalam warung kopi yang berada di sebelah Ruko tempatnya bekerja.
"Kopi hitam dua ya Bu?" Ucap Rio kepada Ibu warung kopi.
"Siaaap." Ibu warung langsung membuatkan kopi.
Ibu warung kopi telah membuatkan kopi dan sudah menaruh kopinya di meja.
Tangan kanan Erik merogok ke saku celana ketatnya. Ia mengeluarkan bungkus rokok, mengeluarkan sebatang rokok lalu membakarnya.
"Srupuuuut, mmach.. Mantap." Rio menyeruput kopi.
"Eh Rik, lo mau ngobrolin apaan sih sama gw?" Ucap Rio.
"Ada kosan atau kontrakan yang kosong gak di daerah lu?" Ucap Erik sambil merokok dan juga sambil sesekali menempelkan bibir gelas kopi dengan santai di bibir berwarna abunya.
"Buat siapa?" Ucap Rio.
"Alah, tinggal jawab ada atau gak?" Ucap Erik.
"Ya buat siapa dulu Erik? Buat pria atau wanita? Buat single atau buat yang sudah menikah? Biar jelas." Ucap Rio.
"Buat gw." Ucap Erik.
"Gak salah denger nih kuping gw? Apa kuping gw yang lagi congean?" Ucap Rio.
"Ada atau enggak?" Ucap Erik.
"Bentar-bentar, sebenarnya lo ini sedang ada masalah apaan sih Rik dengan Istri lo itu?" Ucap Rio.
"Bukan momennya gw untuk bercerita sekarang. Yang terpenting, lo harus cariin gw tempat tinggal dulu." Ucap Erik.
"Kenapa lo gak ambil perumahan saja sih Rik? Kalo lo ambil itu perumahan kan bisa dapet diskon tuh?" Ucap Rio.
"Ah, gaji gw masih pas-pasan. Belum mampu gw untuk mengambil perumahan. Lagian gw juga masih ada untuk keperluan yang lain. Ada gak kosan di daerah lo?" Ucap Erik.
"Ada. Kontrakan di sebelah gw ada yang kosong. Kalo lo mau?" Ucap Rio.
"Ya sudah, sepulang dari kantor nanti? Gw mau survey kesana." Ucap Erik.
"Siap bos. Tapi janji ya Rik? Lo bakalan cerita ke gw?" Ucap Rio.
"Iya. Setelah lu bener-bener dapetin tempat tinggal baru untuk gw. Gw nanti akan bercerita." Ucap Erik.
"Ok." Ucap Rio.
Erik tidak merasa kaget jikalau dirinya harus kembali tinggal di kosan maupun di kontrakan. Karena dulunya, Ia pun anak kosan.
Hatinya Erik benar-benar merasa sangat teriris setiap kali Ia mengingat kata-kata yang keluar dari bibir tipis Istrinya. Terkadang Ia pun meneteskan dengan sendirinya.
Erik merasa sedih karena sewaktu Ia menikahi istrinya itu, Ia berkeinginan untuk menikah cukup sekali dalam hidupnya. Namun perjalanan hidupnya Erik berkata lain.
Ia harus meninggalkan Istrinya dan juga menenangkan fikirannya. Namun untuk saat ini Ia belum memastikan untuk bercerai dengan istrinya.
Ia masih berfikir, barangkali saja esok hari perjalanan hidupnya akan kembali baik dengan istrinya.
Di sore harinya, sepulang Erik dari kerjaannya. Erik bersama dengan Rio segera meluncur menuju ke tempat kontrakannya Rio untuk melihat kondisi kontrakan yang di tawarkan oleh Rio kepadanya.