BAB 2. Pembicaraan Pertama Kita

2030 Words
Akira sebenarnya ingin istirahat dulu beberapa hari karena kejadian itu sangat membuatnya syok. Tapi gadis itu kemudian berpikir, jika dia tidak bekerja seperti biasanya maka siapapun yang ada di balik penjebakan kemarin yang mungkin saja ada di tempat kerjanya akan merasa rencananya berhasil dan posisi Akira juga akan terancam. Karena itu, dalam keadaan yang masih belum terlalu baik pikiran dan hatinya, Akira memutuskan untuk tetap berangkat bekerja. Tapi sebelum itu, Akira harus mendapatkan hasil wawancaranya terlebih dahulu. “Mas Chiko bisa ketemu nggak?” Akira mengirimi pesan itu setelah mengumpulkan keberanian. Hari ini sudah menjelang malam, kejadian tadi siang berakhir dengan damai dan setelahnya Akira berpamitan pulang dengan keluarganya. Saking syoknya otak Akira tidak bisa berpikir apalagi soal pekerjaan. Baru setelah kembali ke apartemen dan diam di kamar beberapa saat untuk menenangkan diri, otak Akira kembali berfungsi dan hal pertama yang ada di pikirannya adalah pekerjaan. Chiko tidak langsung menjawab, Akira tahu pasti laki-laki itu sibuk. Akira tidak lupa bahwa laki-laki yang bisa dibilang calon suaminya itu adalah aktor besar dengan kesibukkan segudang. Bukan orang santai seperti dirinnya yang hanya di sibukkan oleh pekerjaan biasa saja. Tapi di luar dugaan, alih-alih membalas pesan Akira. Laki-laki itu justru menelponnya. Jantung Akira berdegup kencang, seorang artis besar yang di gandrungi banyak orang termasuk adiknya itu sekarang sedang memanggilnya melalui telepon. Jika tidak ada kejadian di hotel, bisa di pastikan Akira akan berteriak kegirangan. “Hallo mas, assalamu’alaikum.” Balas Akira setelah membiarkan panggilan itu bergetar beberapa saat untuk menenangkan hatinya. “Wa’alaikumsalam, aku di parkiran apartemen kamu. Ayo bicara!” Ucap Chiko dengan suara maskulinnya yang membuat siapa saja pasti akan berdebar mendengarnya. “Aku turun mas sebentar.” Akira kemudian mematikan sambungan telpon Chiko, berganti pakaian dan keluar dari kamarnya menuju parkiran. Setelah pulang ke rumahnya dan berbicara beberapa hal dengan ayahnya, Akira memang memutuskan untuk kembali ke apartemennya karena di tempat itu dia bisa lebih menenangkan diri. Sesampainya di parkiran, Akira celingukkan mencari keberadaan Chiko tapi tidak menemukannya. Hingga ponselnya kembali bergerat ada nama Chiko di sana. “Hallo mas, aku udah di parkiran.” “Mobil putih di samping kanan kamu yang lampunya nyala.” Ucap Chiko. Akira langsung menoleh ke sebalah kanan dan menemukan mobil yang di maksud oleh Chiko. Akira menghampirinya kemudian kaca jendela itu terbuka. Terlihat Chiko sendirian dengan pakaian casual biasa. Laki-laki itu memakai masker dan topi. Menjadi selebritis besar memang tidak mudah. Entah kenapa Akira sedikit ngeri membayangkan harus merahasiakan hubungan mereka nantinya. “Masuk!” Ucapnya. Akira mengangguk dan masuk ke dalam kursi penumpang. Setelah itu mobil yang mereka naiki melaju. Akira pikir mereka cukup berbicara di dalam mobil saja setelah itu Akira bisa kembali ke kamarnya. “Kita kemana mas?” Tanya Akira pelan. Ternyata bukan hal yang mudah berbicara di samping orang seperti Chiko. Jika wawancara itu benar-benar terjadi, kemungkinan Akira juga akan melakukan beberapa kesalahan karena terlalu gugup. “Bunda ngajak kamu makan malam, setelah itu kita bicara.” Jawab Chiko. Jantung Akira semakin berdebar. Dia belum terbiasa ada diantara keluarga Chiko yang merupakan orang besar itu. Berada di samping Chiko saja sudah panas dingin, di tambah keluarganya Akira rasanya ingin pingsan. Apalagi Akira hanya mengenakan baju tidur lengan panjang di lapisi jaket saja. Akira pikir hanya bicara sebentar kemudian kembali ke kamar sehingga dia tidak menggunakan baju rapih. “Tapi mas, bisa jangan sekarang nggak? Aku nggak siap?” Cicit Akira sambil meremas ujung jaketnya. Hal itu tertangkap oleh mata Chiko. Sedikit menggemaskan menurutnya, karena di luar dugaan rupanya selera pakaian Akira tidak sedewasa yang Chiko bayangkan. Baju tidur motif kelinci dan jaket dengan telinga panjang menjuntai di bagian ujung hodienya. Chiko bahkan sempat tertawa ringan melihat penampilan Akira ketika dia muncul di parkiran tadi. Laki-laki itu pikir, Akira akan seperti wanita karir lainnya dengan barang-barang mahal yang melekat di tubuhnya, selera fashion dewasa dan parfum-parfum mahal yang selalu mereka kenakan. Tapi Akira justru terlihat seperti Jelita adiknya yang menyukai hal-hal lucu. Sendal besar dengan kepala kelinci sebagai penghiasnya juga membuat Chiko mengulum senyum geli. “Nggak bisa! Ngelawan Bunda sama dengan ngelawan Ayah dan urusannya bisa panjang. Kalau kamu nggak pengen bermasalah sama—” “Oke ayo kita makan malam!” Potong Akira dengan ekspresi ketakutan. Suaranya juga bergetar gugup. Chiko ingin tertawa. Kebanyakan orang di luar keluarganya memang takut pada pengaruh ayahnya. Karena itu Chiko tidak mau menggunakan nama ayahnya dalam pekerjaan. “Selera pakaian kamu unik.” Laki-laki itu berkomentar. Wajah Akira terlihat memerah dari samping. Chiko ingin tertawa lagi, rupanya calon istrinya ini jenis wanita yang mudah di kerjai dan sedikit bodoh. Dia bahkan diam saja tidak menanggapi komentar Chiko tentang bajunya. Sampai beberapa menit kemudian baru dia bersuara. “Mas Chiko nggak bilang mau makan malam jadinya aku pakai baju tidur,” cicitnya pelan. Chiko mengulum senyum. Lisa memang sejak sore hari memaksa Chiko menjemput Akira untuk makan malam. Tapi Chiko terlalu gengsi untuk menghubungi wanita itu lebih dahulu. Chiko bahkan sudah berputar-putar di sekitar Apartemen Akira sambil mencari kalimat yang tepat untuk mengajaknya makan malam. Untungnya Akira menghubunginya lebih dahulu sehingga Chiko langsung menuju parkiran. Ibunya itu jauh lebih bersemangat tentang Akira melebihi siapapun. Lisa bahkan langsung menelpon orangtua Akira untuk meminta izin mengajak putrinya makan malam. Karena itulah Chiko tahu Akira ada di apartemennya. “Udah sampai, turun!” Ucap Chiko kemudian membuka maskernya, menyugar rambutnya yang sedikit panjang dan tidak begitu rapi seperti yang biasa terlihat di TV. Setelah itu Chiko turun dari mobil diikuti oleh Akira. Akira sedikit tertegun melihat rumah besar dengan lebih dari dua lantai yang sekarang membentang luas di hadapannya. Rumah ini bahkan lebih mewah dari yang Akira bayangkan sebelumnya, nyalinya kembali menciut. “Ngapain?” Tanya Chiko heran melihat Akira yang diam saja berdiri dan tidak mengikutinya masuk ke dalam rumah. “Lagi liat rumah.” Jawabnya polos. Chiko membalikkan tubuhnya kemudian diam-diam tersenyum geli. “Ayo masuk! Udah di tungguin sama bunda.” Ucap laki-laki itu. Akira menurut dan mengikuti langkah Chiko masuk ke rumah besar itu. Lisa langsung menyambutnya dengan gembira, terlihat kakak Chiko dan kakak iparnya juga ada disana. Mereka semua sangat ramah pada Akira dan keramahan mereka sedikit mengurangi kegugupan Akira. Chiko sendiri langsung naik ke lantai atas entah kemana, tidak lama kemudian Adrian keluar dari salah satu ruangan dan tersenyum ramah juga. Akira merasa tidak enak karena keluarga itu terasa sangat ramah padanya yang bukan siapa-siapa. “Akira tinggal sendiri yah di apartemen?” Lisa bertanya sambil menyiapkan meja makan dan Akira inisiatif membantunya. “Iya tante, soalnya lebih dekat ke tempat kerja.” Balas gadis itu. “Tapi sering pulang ke rumah kan?” “Setiap libur Akira pulang, tan. Biasnya weekend pasti pulang sekalipun kadang nggak libur kerja soalnya restoran Papa ramai.” Ucap Akira menjawab pertanyaan Lisa. Keduanya menjadi semakin akrab. “Chiko boro-boro pulang buat bantuian ayahnya, disuruh makan malam bareng aja kakaknya harus ngamuk dulu baru dia pulang.” Ucap Lisa mengadu. Akira tersenyum, wajar saja jika Chiko jarang pulang, sebagai selebriti jadwalnya kadang tidak mengenal waktu. Tapi kekesalan Lisa juga tidak salah, bagaimanapun seorang ibu pasti selalu ingin dekat dengan anaknya. “Nggak usah ngadu yang enggak-enggak! Ini sekarang aku ada di rumah mau makan malam loh.” Protes Chiko yang tiba-tiba saja sudah duduk bersama kakaknya entah membahas apa di laptop mereka. Saking asyiknya membantu Lisa dan mengobrol, Akira sampai tidak sadar Chiko sudah turun dan bergabung dengan kakaknya. “Kalau nggak ada kejadian tadi siang kamu pasti kabur ke lokasi syuting kan? Bunda tuh tahu jalan pikiran kamu.” Lisa terdengar kesal membuat Adrian melirik sedikit dengan senyuman geli. “Kalau kamu mau, Chiko aku ikat di rumah biar nggak kemana-mana bilang aja sayang.” Ucap laki-laki itu membuat Regarta tertawa dan wajah Chiko menjadi masam. “Rega setuju tuh, tinggal sebut aja Bun biar Chiko bantuin Rega di kantor.” Ucap Rega menanggapi ucapan ayahnya. Rega sangat tahu bahwa pemimpin sesungguhnya di rumah ini adalah ibunya. Segalanya yang diinginkan oleh ibunya selalu di kabulkan oleh ayahnya yang bucin akut itu. Bahkan peraturan tegasnya saja bisa langsung berubah jika Lisa yang memintanya. “Nggak mau lah, susah payah aku meniti karir.” Chiko langsung memprotes. “Pokoknya nanti kalau udah nikah setiap minggu ada di rumah. Titik! Kalau enggak bisa berentiin aja jadi artis mas.” Putus Lisa di tanggapi dengan senyuman lebar oleh Regarta. Adrian juga tersenyum senang. Hanya Chiko yang mendesah kesal karena tidak ada yang membelanya. Diam-diam Akira mengagumi keharmonisan keluarga ini. Seluruh anggota keluarga terlihat sangat akrab. Bahkan Chiko juga terlihat akrab dengan Wendy, kakak iparnya. Tapi dimana anak ketiga Adrian yang juga di sembunyikan itu? Akira penasaran dengan calon adik iparnya itu karena dia tidak ada di antara anggota keluarga itu. Hingga makan malam berakhir, gadis itu tidak hadir tapi Akira tidak berani bertanya. *** “Kamu duluan! mau ngomong apa?” Ucap Chiko pada Akira setelah keduanya berada di taman belakang tanpa anggota keluarga yang lain. Akira kemudian mengeluarkan kertas di saku jaketnya, ponsel dan pulpen. Chiko kembali ingin tertawa melihat pulpen Akira juga bergambar kelinci putih dengan dua gigi yang terlihat menyeringai. Tapi tentu saja hal itu tidak dia tunjukkan. “Aku rasa wawancara kita yang sebelumnya berantakan itu, harus dilanjutkan karena besok aku harus menyetorkan hasil wawancara ini. Gimana mas?” Tanya Akira meminta izin. Chiko tidak menjawab tapi kemudian mengambil kertas di tangan Akira dan membaca beberapa pertanyaan di sana. “Sudah ku duga pertanyaanya menyebalkan.” Ucap laki-laki itu dengan desahan. Akira paham kenapa Chiko merasa tidak nyaman, Akira saja sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan yang di buat oleh seniornya itu. Tapi pekerjaanya memang seperti itu, mengorek informasi sebanyak mungkin untuk kemudian bisa di jadikan berita. “Aku tetep harus menyetorkan hasil wawancara ini mas.” Cicit Akira, Chiko mengangguk saja. “Ya sudah ayo mulai!” Ucap laki-laki itu. Akira nyaris bersorak girang. Akira tahu Chiko pasti mengira dia terlibat dalam penjebakan di hotel itu, karenanya untuk membersihkan namanya Akira harus mencari pelaku sesungguhnya. Dan untuk itu, Akira tidak bisa berhenti bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan oleh Akira dan mampu dijawab Chiko dengan tenang. Sesi wawancara itu berakhir sesuai dengan harapan Akira. “Udah selesai kan?” Tanya Chiko dan Akira mengangguk. “Kalau gitu giliran aku yang bicara.” Ucap Chiko. Akira kembali mengangguk dan mendengarkan. “Pertama kamu harus tahu bahwa segala hal tentang keluargaku tidak boleh sampai ke tangan media, kalau rahasia ini sampai bocor. Ke ujung dunia sekaliapun kamu akan aku kejar.” Ucap Chiko dengan mode serius, Akira diam saja. Tidak perlu di beritahupun Akira tahu bahwa hidupnya tidak akan baik-baik saja jika sampai menjual informasi ini. “Manager aku sekalipun tidak mengetahui siapa keluargaku jadi kamu harus sangat berhati-hati.” Tambah Chiko lagi, Akira mengangguk. “Kedua, nggak usah sok akrab karena kita nggak dekat dan aku benci berdekatan dengan orang asing.” Chiko melanjutkan, Akira kembali mengangguk dalam diam. Memang sudah sepantasnya Akira menjaga jarak sekalipun mereka akan menikah. Akira menyadari itu, tapi mendengar sendiri dari mulut Chiko kalimat itu entah kenapa Akira sedikit sakit hati karena merasa di rendahkan. “Yang ketiga, kamu tidak bisa menghubungiku kalau aku nggak hubungi kamu duluan. Tidak boleh chat apalagi telpon.” “Iya mas, aku ngerti.” Jawab Akira pelan. Tadinya Akira sedikit bermimpi bisa lebih dekat dengan Chiko. Tidak dianggap istri juga tidak masalah, mereka mungkin bisa jadi teman. Tapi rupanya Chiko tidak seramah yang dia harapkan. Akira maklum, pertemuan keduanya juga bukan pertemuan dan perkenalan yang baik. Tapi jika boleh jujur, Akira sedikit kecewa karena Chiko sudah menjaga jarak bahkan sebelum keduanya berkenalan lebih jauh. Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi. Chiko menyuruh Akira untuk tidak mengkrabkan diri karena itu Akira tidak memulai pembicaraan lagi hingga Chiko mengantarnya kembali ke apartemen. Di dalam perjalanan pun, keduanya tidak saling bicara. Benar-benar terasa seperti orang asing yang dipaksa keadaan untuk bersatu. Hal itu membuat Akira sedikit tertekan berada di dekat Chiko yang seperti tidak ingin tersentuh sedikitpun. “Akan seperti apa pernikahanku kelak ya Tuhan?” Akira mendesah sambil merebahkan kepalanya di bantal. Menarik selimutnya sampai menutupi kepala kemudian berusaha untuk tidur. Hari-harinya ke depan pasti tidak akan sama lagi, karena itu Akira membutuhkan kesiapan mental yang kuat untuk menghadapi Chiko yang memasang benteng tinggi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD