2.

1748 Words
#DUA BULAN SEBELUM PERTUNANGAN# Silau seketika terasa menusuk matanya saat pintu pesawat terbuka. Tepat sebelum ia beranjang dari kursinya, ia mengenakan kacamata hitamnya yang mahal. Bukan berniat untuk bersikap arogan seperti penilaian orang-orang. Melainkan untuk melindungi matanya yang sedikit sensitif karena terkena cahaya matahari. Ia sudah menghabiskan waktu selama belasan jam di pesawat dari Turki ke Jakarta dan melewatinya dengan tidur ayam. Dan hasil dari semua itu adalah ia mengalami sakit kepala saat ini plus jetlag. Flat shoes nya terdengar menghentak lantai cukup keras dan balik menggema di kepalanya sendiri saat ia masuk ke bagian dalam bandara. Bersiap ikut mengantri bersama para penumpang lainnya untuk mengambil bagasinya. Sudah cukup. Rasanya cukup sudah. Masa pelariannya sudah berakhir sekarang. Waktu sebulan yang ia habiskan untuk menenangkan diri bersama keluarga sahabatnya di Turki kini sudah berakhir. Meskipun beban lainnya menunggunya di depan sana, tapi setidaknya pikirannya sudah lebih jernih saat ini. Selepas antrean yang cukup panjang, Carina langsung menuju luar bandara dengan koper besar di tangannya. Dalam hati ia akan menggunakan taksi mana saja yang tersedia disana. Carina melangkah lebar kala tatapannya sudah ditujukan pada satu mobil yang hendak ia tumpangi. Namun layaknya adegan di film-film, saat ia hendak menarik pintu taksi di waktu yang bersamaan ada tangan besar yang juga berusaha meraih pintu yang sama. Carina menoleh ke arah si pemilik tangan, berniat menyela dan meminta dengan sopan supaya si pemilik tangan itu mengalah. Tapi ketika melihat mimik pria itu—yang Carina tahu bukan ekspresi yang dibuat-buat—Carina langsung melangkah mundur. Bukan karena ia terkesima karena ketampanan pria itu. Baginya ketampanan pria itu sama saja. Tapi ia lebih memperhatikan ekspresi pria itu yang dengan jelas tampak tengah khawatir. "Maaf, Mba." Ucap pria itu, yang juga tampak bermaksud untuk mundur, namun Carina hanya mengangguk pelan saja seraya melangkah menjauh menuju taksi lain yang berjarak tujuh langkah di belakang taksi pertama. Menyeret koper besarnya, Carina langsung membuka pintu depan taksi. Sementara supir taksinya langsung membuka bagasi dan memasukkan kopernya kesana. Setelah duduk di dalam taksi, Carina menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan mencari posisi yang nyaman sambil menghabiskan waktu perjalanan menuju rumah kediaman Levent yang tidaklah dekat. Berpuluh menit setelahnya, sampailah taksi itu di depan sebuah rumah berpagar tinggi. Seorang penjaga gerbang membukakan pintu setelah melihat wajah Carina yang terpampang di dalam taksi. Mereka memberikan anggukan hormat kepada Carina saat mobil melewati pos penjaga. Sikap mereka kepada gadis dua puluh delapan tahun itu lebih seperti sikap kepada pemilik rumah itu sendiri. Padahal kalau diperhitungkan, nama Carina bahkan tidak ada dalam struktur keluarga Levent. Namun mengingat tantenya merupakan menantu dari keluarga Levent dan pamannya menjadi cucu menantu keluarga Levent. Carina bisa dikatakan menjadi begitu dekat dengan mereka. Carina tersenyum sendiri. Persahabatan yang ia jalin bersama Syaquilla Adskhan Levent selama empat belas tahun, tentu saja membuat mereka semua sangat mengenali wajahnya. Seorang pelayan sudah menyambutnya di depan pintu dan dengan baik hatinya mengambilkan koper dari bagasi taksi. Setelah membayar tagihan, Carina berjalan masuk ke bagian dalam rumah. Asisten rumah tangga lainnya langsung menyambut kedatanganya. Carina balas menyapa sapaan mereka dengan sama hangatnya. "Granny mengirimkan oleh-oleh untuk semuanya." Umumnya pada asisten rumah tangga senior itu. "Tapi buka nya nanti ya, Carin mau tidur dulu." Lanjutnya yang dijawab dengan anggukan si asisten rumah tangga. "Non nya gak mau makan dulu?" tawarnya. Carina menggelengkan kepala. Makanan adalah hal terakhir yang ada di dalam kepalanya. Carina berjalan menjauh meninggalkan para asisten rumah tangga bersama kopernya. Di sini, di rumah keluarga Turki ini, Carina diperlakukan seperti halnya majikan. Dan bahkan dengan baik hatinya pamannya menyediakannya satu kamar khusus baginya. Dengan alasan supaya Carina betah dan bebas keluar masuk kediaman itu seolah kediaman itu adalah rumahnya sendiri. Sekilas bagi orang yang tidak mengenalnya, mereka mungkin akan menganggap kalau Carina adalah anak adopsi dari keluarga Levent. Keluarga imigran Turki yang menancapkan kakinya di Indonesia dan merajai bidang konstruksi, hotel dan juga restoran. Tapi sayangnya, mereka yang 'sekilas' mengenal Carina itu salah. Karena Carina masih memiliki kedua orangtua yang utuh yang memang saat ini sedang ia hindari. Dengan langkah lelah Carina naik ke lantai dua. Membuka pintu kamar yang tinggi dan berbahan kayu berat itu. menutupnya dengan pelan dan berjalan dengan gontai menuju tempat tidur. tanpa repot membersihkan diri, Carina menjatuhkan tubuhnya di atas kasur berukuran queen berbahan empuk dan berselimut tebal itu. Dan dalam hitungan sepersekian menit, dia benar-benar masuk ke dalam tidur nyenyaknya. Sementara di tempat lain beberapa saat sebelumnya. Agam turun dari pesawat yang membawanya dari Brunnei. Tubuhnya terasa kaku dan ngilu di beberapa tempat karena belakangan ini dia kurang beristirahat akibat deadline yang harus diikejarnya. Ia menyalakan ponselnya seraya mengambil bagasi dari bagian atas pesawat. Dan sesaat setelah menjejakkan kaki keluar dari pesawat, ia melihat begitu banyaknya panggilan tak terjawab dari nomor ibu dan juga adiknya. Agam mengerutkan dahi. Ada apa dengan adiknya, kenapa sampai berkali-kali menghubunginya? Agam memilih untuk menghubungi balik, dan di dering kedua panggilannya diangkat. "Ya?" tanyanya dengan nada tergesa seraya melangkah mengisi kekosongan antrian. "Mas dimana?" Tanya Kalila, Adiknya dengan gaya manja nya yang khas. "Mas lagi dijalan mau pulang, kenapa lagi sama Abah?" tanyanya dengan nada malas. "Abah masuk lagi rumah sakitt." Jawab adiknya gusar. Agam mengerutkan dahi seketika. "Kenapa lagi sama Abah, dek?" tanya Agam. Mau tak mau ia pun turut merasa panik. Meskipun sebenarnya selama ini tak jarang ayahnya itu memberikan alarm palsu tentang sakitnya. Semuanya hanya supaya mendapat perhatian dari Agam yang memilih tinggal jauh dari keluarga. "Asma nya Abah kambuh lagi. Sekarang lagi di oksigen." Lantas adiknya menyebutkan sebuah rumah sakit ternama di Jakarta. "Iya-iya, Mas langsung kesana sekarang." Jawab Agam. Dan setelah menutup teleponnya ia segera berlari menuju taksi terdekat yang bisa ia temukan. Saat ia meraih pintu taksi, di waktu yang bersamaan sebuah tangan kecil dengan jari kurus turut meraihnya pula. Agam tak berfokus pada hal lain ketika ia melihat taksi tersebut, yang ada di pikirannya hanya mencapai taksi pertama yang ia lihat. Dan kini, ia merasa kesal karena kurang waspada, karena ia pastinya akan mendapatkan semburan dari gadis yang juga hendak menaiki taksi yang sama dengannya ini. Ia melepas tangan dan melangkah mundur. Bersiap menerima umpatan apapun yang akan dilayangkan si gadis. Karena sekilas, saat ia melirik ia bisa melihat tubuh gadis itu menegang dan sisi rahangnya mengetat. Namun ketika gadis itu mendongakkan kepala memandangnya, gadis itu malah mempersilahkan Agam naik taksi lebih dulu dan memilih untuk berjalan selangkah mundur tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Seketika Agam terdiam. Dia terkesima. Wajah itu. Agam begitu hafal wajah itu. Bukan karena cantiknya, jelas sekali wanita itu cantik—sangat cantik malah. Bahkan mungkin seluruh pria di Indonesia ini yang mengenalnya akan mengatakan hal yang demikian. Dan wajah itu juga bukanlah wajah yang asing, mengingat dia adalah supermodel yang belakangan ini tenar di dunia fashion. Tapi wajah itu, adalah wajah yang pernah Agam lihat beberapa tahun lalu, dan melihatnya lagi kini, setelah hampir tiga tahun berlalu cukup membuatnya shock sendiri. Jika bukan karena ia mengkhawatirkan Abahnya yang dirawat. Mungkin Agam akan mencari kesempatan untuk berkenalan dan semakin mendekatkan diri dengan wanita itu. Mengingat tiga tahun sebelumnya ia tidak memiliki kesempatan itu. Tapi karena kondisi Abahnya yang membuatnya panik, Agam kembali kehilangan kesempatan emasnya. Dengan tergesa Agam malah memasuki mobil dan meminta sang sopir untuk melaju dengan kecepatan yang maksimal. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi seraya membayangkan wajah gadis itu. Carina Putri. Begitulah nama itu disapa publik. Gadis yang Agam tahu masuk ke dunia modeling sejak remaja. Dan kini sudah masuk dalam jajaran model profesional dengan bayaran yang mahal. Dan sejak pertemuan pertama mereka yang tak disengaja, Agam tak pernah bisa menghilangkan wajah itu dalam benaknya. 'Ya Allah, Jika memang jodohnya, maka pertemukan kami kembali.' Doanya dalam hati. Taksi sudah sampai di tujuan. Agam segera turun setelah membayar ongkosnya. Ia kembali menghubungi Kalila dan menanyakan dimana kamar ayahnya berada. Dan setelah bertanya pada perawat, ia kemudian sampai di depan kamar ayahnya. Tanpa mengetuk pintu, Agam masuk ke dalam kamar dan melihat Ibunya tampak tengah duduk di sofa panjang yang ada di ruang VVIP tersebut. Tampak asyik dengan majalah di tangannya. Sementara adiknya, duduk di sisi lain sofa dengan ponsel dalam genggamannya. Tampak asyik dengan apa yang dilihatnya di dalam layar persegi pipih itu. Sementara ayahnya? Pria bertubuh tinggi besar yang katanya sedang sakit itu kini tengah asyik menusuk buah mangga dengan garpu di tangan kanannya sementara tangan kirinya menggenggam remote dan tampak asyik memindahkan channel televisi di depannya. Tidak ada apapun yang terpasang di tubuhnya. Tidak selang oksigen, tidak juga selang infusan. Agam terdiam sendiri di tempatnya. Menarik napas panjang untuk menahan amarahnya. Kepanikan yang tadi dirasakannya, kesempatan emas yang akhirnya ditinggalkannya, kini tampak seperti lelucon bagi ketiga orang di ruangan itu. "Inikah alasan kenapa Agam dipanggil jauh-jauh kemari?" tanyanya dengan nada tak suka. Suaranya yang membahana membuat ketiga orang di ruangan itu tampak tersadar dari kegiatannya. Tiga pasang mata kini menatap ke arahnya. "Agam dipanggil hanya untuk melihat pasien menonton tv dan penjaganya asyik dengan dunianya masing-masing?" Lanjutnya tanpa sedikitpun menyembunyikan kekesalannya pada kedua orangtuanya dan juga adiknya. Dan ketiga orang itu, sama sekali tidak menunjukkan wajah bersalah karena telah mempermainkannyaSungguh keluarga yang harmonis. Decihnya dalam hati. "Kalau tidak begini, mana mau kamu melihat Abahmu yang tua ini." Jawab ayahnya dengan santai. "Darimana Abah tahu kalau Agam kembali hari ini?" tanyanya dengan dahi berkerut. Lalu tatapannya berpindah pada Kalila. Tentu saja, ini semua pasti ulah Kalila yang menggoda asistennya sehingga asisten payahnya itu membeberkan semua rahasianya. Tatapan Agam kembali pada ayahnya. "Apa Abah tahu cerita tentang pengembala domba?" tanyanya dengan dingin. "Dia benar-benar kehilangan ternaknya setelah berulang kali meneriakkan kebohongan kalau dombanya dimakan serigala." Ucap Agam. Meskipun kesal ia tetap mendekat dan menciumi punggung tangan kedua orangtuanya. "Apa kamu tahu alasan pengembala berteriak?" Ayahnya balik bertanya. "Itu karena dia kesepian." Jawab ayahnya ketus. Agam memandang ayahnya dengan kesal. "Dan kenapa Abah harus merasa kesepian. Bukankah di rumah ada Ummi dan Kalila?" Tanyanya dengan nada yang lebih lembut seraya duduk di kursi samping tempat tidur. "Mereka membosankan." Ujar ayahnya datar. Suara sentakkan membuat mereka menoleh ketika melihat ibunya meletakkan majalah yang dibacanya ke atas meja dengan gerakan kasar. "Kalila, lebih baik kita pergi saja. Cuci mata di Mall lebih baik daripada mendengar rengekan balita raksasa." Ucap ibunya seraya bangkit berdiri dan meninggalkan kamar inap. Agam dan ayahnya hanya melihat kedua wanita beda generasi itu menjauh. "Membuat masalah lagi, heh?" tanyanya pada ayahnya. Pria yang lebih tua darinya itu hanya mengedikkan bahu dengan gerakan tak acuh. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Yang nanyain / Mau tau visual tokoh,, mampir ke IG ya... Restianirista.wp nama akun nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD