-4-

1148 Words
Kedua mata Raya menoleh menatap dua orang lelaki yang baru saja pergi dari backstage, ruangan mereka, dan dari kejauhan ia dapat melihat bahwa satu diantara lelaki itu menggoda lelaki lainnya hingga membuatnya kesal di sana, dan melihat tingkah keduanya membuat Raya menyunggingkan senyumannya seraya menggelengkan kepala, namun ketika sebuah suara terdengar, senyuman itu pun perlahan pudar dan menoleh dengan cukup kesal kepada orang yang baru saja berucap, “ganteng-ganteng ya~” itulah ucapnya, seorang wanita yang rambut panjang hitamnya diikat kuda dengan tubuh yang tegap itu tersenyum menatap Raya yang kini juga menatapnya, “iya, ganteng … tapi kita gak tau sifat mereka, Laras … karena rupa itu nggak menggambarkan sifat loh” jelas Raya, terlihat jelas bahwa ia tidak begitu menyukai keduanya dan hal itu membuat Laras mengeha nafasnya dan menggeleng, ia tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh Raya dan kembali menatap keduanya yang kini telah menghilang ketika mobil tersebut pergi dari sana, “mereka tuh mapan, Raya! Orang kota lagi!” timpalnya lagi seraya menepuk dadanya dengan pelan, seolah menggambarkan bahwa kedua lelaki itu telah merebut hati dan perasaanya di sana. Ia tersenyum dengan manisnya dan mengayun-ayunkan tubuhnya merasa bahagia, sedangkan Raya yang mendengarnya memilih untuk menoleh menatapnya dengan pandangan aneh dan kemudian menggelengkan kepala seraya pergi meninggalkan Laras yang masih terpukau di sana. Kedua pandangan Raya kini mendapati Bu Yani yang tengah berbincang dengan si tukang gendang yang saat itu memiliki usia yang sama sepertinya, Raya mendekat ketika Bagas dan Bu Yani menoleh menatapnya, “yang tadi itu siapa Bu??” tanya Raya seraya melirik Bu Yani yang kini tersenyum, “mereka teh ngundang kita ke acara pembukaan cabang toko baru di Bandung, minggu depanan lah, sepuluh hari lagi” jawab Bagas seraya melipat kedua tangannya ke depan d**a, ia bersandar di dinding itu sambil menatap Raya yang baru saja datang kepadanya. Merasa bahwa Bagas menatap Raya dengan tatapan yang berbeda, membuat Raya balas menatapnya seraya bertanya, “kenapa liat-liat??” tanya Raya dengan sewot, “eh… jangan sewot atuh, da Bagas mah cuma liatin aja, naha (kenapa) keGR-an ih!” jelas Bagas pada Raya yang kini menghela nafasnya dan pergi dari sana dengan kesal, dan hal itu membuat Bu Yani menepuk bahu Bagas yang tertawa di sana, “hush! Ulah kitu ah (jangan begitu)” tegur Bu Yani kepada Bagas yang kemudian berdiri dengan tegap dan menatap Bu Yani dengan wajah cemberutnya seraya berucap, “becanda atuh bu~” ucap Bagas dan membuat Bu Yani tertawa seraya menggelengkan kepalanya, dan selanjutnya Bu Yani memerintahkan Bagas untuk segera membereskan semua alat musiknya dan mengangkutnya ke dalam mobil box. … “jadi hari ini teh kita gak boleh pulang kampung? buat latihan lagi ya??” pertanyaan yang terlontar dari mulut Laras, membuat Raya yang tengah memasukkan atribut-atribut tarinya ke dalam kotak itu pun hanya menganggukkan kepalanya dan itu membuat Laras yang mendengarnya menarik nafas dengan berat, jelas terlihat di raut wajahnya saat ini bahwa ia merasa kecewa karenanya, kerinduan terhadap kampung halaman sudah lama dinantikan oleh sahabatnya yang satu itu, dan bahkan kemarin-kemarin ia juga mengajak Raya serta teman-teman lainnya untuk ikut bersamanya pulang ke kampung halamannya yang terletak di Pelabuhan Ratu, jadi jelas terlihat mengapa ia terlihat sedikit lemas seperti saat ini, ketika mendengar bahwa mereka tidak diperbolehkan pulang untuk menyiapkan penampilan mereka minggu depan. “yaaah … padahal aku udah kangen banget sama ibu, bapak aku Ya … hummm” itulah rengeknya yang memilih untuk melempar dengan pelan kostum tari yang baru saja ia lipati ke dalam kopernya, rautnya benar-benar menyedihkan dan Raya tidak bisa melihatnya seperti itu, nampak seperti orang yang benar-benar malang, ia memberengutkan bibirnya, kedua matanya pun memerah dan terlihat amat sedih dan hal itu membuat Raya mengusap bahunya dengan pelan, “nanti kita undang aja mereka ke pendopo, gimana ???” dan sebuah saran yang dilontarkan oleh Bagas yang ternyata sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka pun membuat keduanya menoleh menatapnya, Raya yang merasa bahwa itu adalah ide yang bagus pun menganggukkan kepalanya seraya menoleh menatap Laras yang masih menatap Bagas di sana, “iya benar juga, kamu undang we mereka ke sini … kan katanya ibu sama bapak Laras belum pernah ngeliat pendopo!” jelas Raya seraya tersenyum menatap Laras yang saat itu terlihat sadar dengan saran yang diberikan Bagas padanya ada benarnya juga, ia bisa melihat kedua orang tuanya dan sekaligus bisa membuat orang tuanya bangga ketika melihat pendopo megah yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, “heueuh, Ras! Sakalian weh urang ngaliwet didinya (iya,Ras! Sekalian saja kita makan bersama di sana)” timpal Bagas padanya dan itu membuat Raya dan Laras menganggukkan kepalanya dengan serempak, dan hal itu membuat Laras kembali bersemangat dan dengan segera ia menghubungi kedua orang tuanya yang berada jauh di sana. “halo, Ibu! Ieu teh Laras … ibu kumaha damang?! muhun bu, Laras teh teu tiasa mulang geuningan … kangen Laras teh, hoyong tepang bu~ ( Halo, ibu! Ini aku Laras … ibu gimana kabar, baik?? iya bu, Laras ternyata tidak bisa pulang, Laras Kangen, ingin ketemu bu~) “ ucap Laras kepada ibunya yang berada jauh di sana, ia beranjak untuk pergi dari sana dan berbicara bersama dengan ibu tercintanya dan hal itu membuat Raya tersenyum dan Bagas berjalan mendekati Raya dan menatapnya lagi, Merasa di tatap oleh Bagas, membuat Raya kembali membalas tatapanya seraya bertanya, “apa ai Bagas?? liat-liat Raya Wae ih! Sebel da” protes Raya padanya, ia memilih untuk kembali membereskan barang-barang mereka di sana, dan hal itu membuat Bagas yang mendengarnya tertawa lalu menggeleng dan menjawab, “mau bantuin we, kasian kamunya … sibuk sendiri!” terang bagas seraya meraih baju-baju yang menggantung di sana dan melipatnya dengan rapih, “yaudah atuh bantuin!!” timpal Raya dengan nada tingginya, ia masih merasa sedikit sebal dengan Bagas yang tadi menggodanya saat bersama dengan Bu Yani dan hal itu pun diketahui oleh Bagas yang kini tertawa dan berucap, “apan ieu teh nuju dilepetan, Neng Raya~ ditingal atuh, Bagas nuju nanaon teh (kan ini sedang di lipati, Neng Raya~ dilihat dong, Bagas lagi melakukan apa)” jelas Bagas masih dengan kekehannya yang membuat Raya cemberut, namun ia tidak berkata lebih lanjut dan membiarkan Bagas membantunya di sana, “da Bagas na ngaheureuyan wae atuh … jadi we Raya na kitu ka Bagas, nya Raya nya?! (karena Bagasnya bercandain terus, jadi aja Rayanya kaya gitu ke Bagas …ya Raya ya?!)” kedua pandangan Raya dan Bagas kini menoleh menatap Lukman serta lima orang yang masuk ke dalam ruangan itu seraya tertawa dan membuat Bagas ikut tertawa seraya menggelengkan kepalanya, sedangkan Raya mengangguk mengiakan ucapan mereka yang kini ikut membantu mereka membereskan seluruh barang yang ada di sana dan ikut mengankutnya menuju mobil. “ah, maneh mah teu ngadukung urang, sia Lukman! (ah, kamu nggak mendukung saya, kamu Lukman!)” protes bagas pada Lukman si pemain gamelan di sana, dan Lukman yang saat itu sedang menggotong koper-koper pun hanya tertawa geli. “geus, burukeun ah! Geus nunggu tah sopir na (udah, cepetan ah! Sudah ditunggu sama pak supirna)” jelas Lukman seraya menepuk bahu Bagas yang kini menganggukkan kepalanya dan segera mempercepat mengemas semuanya seraya berucap, “nya, hayu atuh ah! (iya, ayo!)” serunya dan mereka pun segera menyelesaikan semuanya.  to be continue. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD