Makasih sudah mampir. Jangan lupa Tap love dan follow aku ya.
Makasih, kiss ...
===
===
===
Rita mengirimkan sebuah pesan kepada Mira. Pesan berisi informasi yang ia yakini mampu menutup kesombongan Mira selama ini.
Rita adalah teman lama sekaligus sahabat Mira dulunya. Tapi hubungan pertemanan mereka rusak karena sebuah kesalah pahaman.
Rita kini begitu membenci Mira. Berkali-kali wanita itu ingin membalas dendam dengan mempermalukan Mira, tapi sia-sia. Rita tidak pernah berhasil melakukan rencana jahatnya.
Namun kali ini Rita begitu sumringah membayangkan Mira akan malu oleh sikap suaminya, suami yang begitu di bangga-banggakan oleh Mira.
“Hai Mira, apa kabar denganmu?” Senyum kecut menyungging dari bibir Rita.
“Jangan pura-pura senyum Rita! To the point saja, dimana kau melihat Reinald.” Mira ketus.
“Ayo ikut aku! Sayang sekali ya Mira, ternyata suami yang kau bangga-banggakan itu malah bermesraan di sini dengan wanita lain, hahaha.” Lagi, Rita tertawa penuh cela.
Mira sangat emosi melihat sikap Rita, tapi ia masih berusaha mengendalikan. Dia tidak ingin membuat keributan. Mira penasaran dengan kebenaran yang sudah di sampaikan oleh mantan sahabatnya itu.
“Itu mereka di—.” Rita terbelakak dan bingung.
“Mana?” Bentak Mira
“Tadi ada di sini, kemana mereka?” Rita tampak memperhatikan sekeliling. Wanita 35 tahun itu tanpa segan menghampiri satu persatu meja yang di huni oleh pasangan yang sedang kasmaran.
“”Hei, apa-apaan kau!” Teriak salah seorang pengunjung kafe yang merasa terusik ketika sedang bermesraan.
“Ma—maafkan saya, saya sedang mencari seseorang.” Rita gugup.
“Go from here, NOW!” Teriakan pengunjung tersebut terdengar oleh pengurus kafe.
Seorang pria bertato yang merupakan pengurus kafe datang menghampiri Rita, “What’s going on here?”
“Ma—maafkan saya, saya pikir mereka adalah kenalan saya.” Rita merasa gugup dan malu.
“Sorry sir, please enjoy your dinner again.” Pengurus kafe meminta maaf kepada pengunjung yang merasa risih dengan kedatangan Rita di sana. Kemudian pria itu menatap Rita yang masih membeku, “Dan anda, tolong segera tingalkan tempat ini.”
Rita keluar dengan perasaan kesal, sementara Mira tersenyum kecut.
“Hahaha, emang enak ya di permalukan di depan orang banyak. Tenyata kamu tidak bisa membuktikan apa-apa. Kamu masih belum kapok ya irinya sama aku.” Wajah Rita memanas atas celaan yang di lontarkan Mira. Rita benar-benar di puncak emosi.
“Kamu beruntung, suamimu sudah pergi sebelum kamu datang. Tapi aku memiliki bukti kemesraannya dengan wanita itu, sebentar aku perlihatkan.” Rita mengambil ponselnya dari dalam tas bermerk miliknya.
“Bukti apa, heh?” Mira berkacak pinggang dan menatap Rita dengan pongah.
“Mana? Mana vidio tadi? Aduh, perasaan sudah saya simpen lo tadi? Aduh, kemana sih ...?” Rita masih sibuk membalik file-file gallery di ponselnya.
“Kenapa? Nggak ada ya ... Ngarang sih.” Mira kini semakin pongah, berdiri menghadap Rita dengan menyilang ke dua lengan di dàda.
“Beneran tadi ada, sudah aku rekam.” Rita mulai gusar.
“Buktinya? Hahaha. Sudahlah, kamu hanya membuang-buang waktuku saja.” Mira mulai kesal.
“Tunggu! Aku pastikan bahwa aku sudah merekamnya.”
“Mira, ngapain kamu di sini?” Mira segera membalik badan setelah mendengar suara seseorang yang begitu ia kenal.
“Mas Rei? Mas Rei ada di sini?” Mira terkejut dengan kehadiran Reinald di dekatnya.
“Tuhkan? Aku nggak bohong ... suamimu ada di sini, sedang bermesraan dengan seorang wanita. Pasti wanita itu masih ada di sekitar sini.” Rita menoleh ke semua penjuru untuk mencari keberadaan seseorang.
“Mas, aku ke sini karena teman aku melihat kamu sedang bermesraan dengan seorang wanita, apakah itu benar mas?” Mira menginterogasi suaminya.
“Apa yang kau katakan Mira? Dari tadi aku berada di restoran Lembayung untuk membahas pengembangan bisnis kuliner bersama rekanku. Kau taukan, aku punya satu restoran yang tidak terlalu besar. Temanku berniat investasi untuk mengembangkan restoranku.” Dugaan Reinald benar, mendengar bisnis dan uang masuk, wajah Mira langsung berbinar.
“Kau dengar apa yang di katakan suamiku bukan? Cuih, Kau sudah membuang-buang waktuku, Rita.” Mira berlalu meninggalkan Rita yang masih mendengus kesal. Wanita itu kembali mendapatkan sikap pongah dan menyebalkan dari Mira.
Reinald mendekati Rita, “ Hati-hati dengan sikapmu nyonya. Jika kau tidak ingin punya masalah denganku, maka jangan mencari masalah. Aku bisa saja membongkar kelakukan busukmu dengan pria muda tadi kepada suamimu.”
“Ma—maksud anda?” Rita tergagap.
“Aku peringatkan sekali lagi, jangan mencari masalah denganku!” Reinald berlalu meninggalkan Rita yang masih terpaku.
-
-
-
Flash back satu jam sebelum kedatangan Mira.
Ketika sedang asyik berdansa, Reinald melihat sebuah kilatan cahaya yang mengarah kepadanya. Kilatan cahaya dari sebuah ponsel selalu mengikuti pergerakan Reinald. Setelah kilatan cahaya itu hilang, Reinald melihat seorang wanita tertawa memperhatikan ponselnya. Sepertinya wanita itu lupa mematikan flash light ponselnya.
“Dhini, ayo kita pergi dari sini sekarang!” Reinald segera menarik lengan Andhini keluar dari tempat dansa.
“Ada apa mas?” Dhini tidak menyadari apa yang di ihat Reinald tadi, karena matanya selalu terpejam menikmati setiap gerakan dan pelukan yang di berikan Reinald di tempat dansa.
“Tunggu di sini sebentar.” Reinald meninggalkan Andhini yang masih kebingungan.
Reinald memanggil seorang waitress dan meminta waitress tersebut memanggil seorang pria untuk menemuinya. Sang waitress tidak menolak karena Reinald memberikannya selembar pecahan seratus ribu.
Tak lama, seorang pemuda yang usianya masih belasan tahun, menghampiri Reinald.
“Maaf om, benar anda memanggil saya?” Reinald mengangguk, “ Ada Apa?”
“Apa kekasihmu tadi merekamku ketika sedang berdansa dengan seorang wanita?”
“Maksud anda tante Rita?”
“Aku tidak tau namanya dan aku tidak peduli dengan itu. Apa kau mau membantuku?”
“Apa untungnya untukku?”
“Aku akan memberimu satu juta malam ini, bagaimana?”
“Bagus, apa yang bisa aku bantu?”
“Hapus foto dan vidio yang di ambil oleh wanita tadi dari ponselnya. Apa kau bisa anak muda?” Reinald menatap pemuda itu dengan tajam.
“Tentu, itu sangat mudah.”
“Baiklah, ini untukmu uang cash satu juta. Ingat anak muda, kau tidak boleh gagal. Jika kau gagal, kau harus mengembalikan uangku dua kali lipat.” Reinald sedikit mengancam.
“Tenang om, saya pastikan semua akan beres. Sebaiknya anda pergi dari sini sekarang, sebelum istri anda datang.”
“Cerdas anak muda, terima kasih atas bantuanmu.” Reinald segera meninggalkan pemuda itu dan langsung menghampiri Andhini.
Reinald membawa Andhini menjauh dari kafe dan memesankan taksi online untuk Andhini. Reinald tidak memedulikan Andhini yang terus bertanya dan kebingungan. Reinald hanya ingin Andhini segera pergi dan Mira tidak melihatnya malam ini.
Tak lama taksi pesanan Reinald datang, “Pergilah sayang, nanti akan aku ceritakan. Sebaiknya kamu pulang sekarang.” Reinald memberikan sebuah kecupan ringan sebelum Andhini masuk ke dalam taksi dan meninggalkan Reinald.
-
-
-
Reinald mengusap wajahnya berkali-kali dengan tangan kiri sementara Mira masih asyik dengan ponselnya. Sesekali wanita itu tertawa menatap ponselnya. Mira sama sekali tidak memedulikan Reinald yang tampak gusar. Reinald menatap jalanan yang mulai basah karena gerimis. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang berhasil merusak kencan indahnya dengan Andhini.
Reinald sengaja mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Ia tidak ingin Mira melihat kegundahan dari wajahnya.
“Siapa wanita tadi?” Pertanyaan Reinald memecah keheningan.
“Hah ... apa mas?” Reinald mendengus kesal.
Ia menarik napas panjang, lalu mengulangi pertanyaannya, “ Siapa wanita yang menuduhku tadi?”
“Owh, dia itu Rita. Manusia paling menyebalkan yang pernah hidup di bumi ini. wanita seperti itu sebaiknya mati saja, hahaha.” Reinald sama sekali tidak menyukai cara tertawa Mira.
“Musuhmu?”
“Bebuyutan! Tapi mas, kamu benar-benar tidak melakukan apa yang di tuduhkan wanita itukan mas?” Mira menatap Reinald yang masih fokus dengan setirnya.
“Kau curiga?” Reinald balik menyerang Mira.
“Bukan mas, aku percaya kamu tidak akan serendah itu. Aku hanya ingin memastikan.”
“Kalau percaya, mengapa masih bertanya?”
“Ah, sudah lah mas. Bicara denganmu pasti akan berakhir dengan sebuah perdebatan. Kali ini aku tidak mau berdebat. Aku sedang bahagia mas.” Mira kembali menatap ponselnya dengan wajah berbinar.
“Ada apa?”
“Aku hari ini menang arisan. Aku akan membeli perhiasan yang lebih banyak lagi besok siang.” Reinald hanya mengangguk dan tetap fokus pada kemudinya.
Reinald tidak peduli dengan apa yang di alami Mira. Di pikirannya hanya Andhini. Reinald ingin memastikan Andhini baik-baik saja sampai di rumah. Reinald tidak ingin wanita yang dicintainya itu terkena masalah.
“Oiya mas, tadi katamu, kau sedang membicarakan pengembangan bisnis? Benarkah?”
“Sejak kapan kau peduli dengan bisnisku,” jawab Reinald ketus.
“Jangan begitu mas, aku ini istrimu. Tentu aku berhak tau tentang perkembangan bisnismu. Bukankah keberhasilan suami berkat doa seorang istri?”
“Uhuk ... uhuk ....” Reinald terbatu-batuk. Kerongkongannya tiba-tiba tersedak ketika mendengarkan perkataan Mira.
“Kenapa mas? Kamu meledekku?” Mira sinis.
“Siapa yang meledekmu, tadi aku tersedak.”
“Lalu bagaimana dengan bisnismu itu mas?”
“Doakan saja, temanku itu jadi mau investasi. Kalau jadi dan kerja samanya cocok, maka kita akan buka cabang.” Reinald berbohong.
“Ya, semoga.” Mira kembali berkutit dengan ponselnya.
-
-
-
Andhini masih tidak mengerti mengapa sikap Reinald tadi tiba-tiba berubah. Tiba-tiba Reinald menyuruhnya pergi secepat mungkin meninggalkan kafe ketika dirinya sedang menikmati momen romantis bersama Reinald.
Berkali-kali Andhini menghidupkan ponsel hendak menghubungi Reinald. Wanita itu ingin tau apa yang terjadi pada kekasihnya. Namun lagi-lagi urung ia lakukan karena takut menambah masalah. Entah masalah apa, tapi Andhini yakin pasti ada sebuah masalah yang terjadi pada Reinald.
“Dhini, sudah pulang?” Neti melihat Andhini membuka pintu. Wanita paruh baya itu masih asyik di depan televisi.
“Mama belum tidur?” Andhini segera menghampiri ibunya dan mencium punggung tangan ibunya.
“Mama belum mengantuk, lagipula masih jam 9.30 malam. Oiya, katamu butik tutup jam 10 malam?”
“Owh, I—iya ma ... aku tadi minta izin pulang lebih dulu.” Andhini gugup. Wanita itu berbohong.
“Ada apa di lehermu Dhini?” Neti menyibak sedikit rambut Andhini karena melihat bekas kemerahan di leher putrinya.
Andhini segera berdiri. Wajahnya pucat dan tiba-tiba membeku. Ia bingung, bagaimana cara menjelaskan tanda kepemilikan yang sudah di buat Reinald di leher dan bagian tubuh lainnya.