BAB 2 – Tidak Dihargai

1196 Words
“Mas, kamu tidak ada macam-macam di luar’kan, mas?” Deg ... pertanyaan Mira membuat jantung Reinald berdegup kencang, “Apa yang kau katakan, Sayang. Aku tidak mungkin melakukan apa-apa di luar sana. Siapa sih yang menyebar gosip seperti itu.” “Temanku melihat kamu sedang makan di restoran berdua dengan perempuan. Katanya memakai baju pegawai juga, siapa wanita itu, Mas?” Begitulah Mira, dia selalu menuduh Reinald berselingkuh. Sementara dia tidak pernah memiliki bukti apa pun dan juga tidak mampu merubah sikap dan pelayanan terhadap suaminya. “Dan kamu percaya begitu saja?” “Aku menyayangimu, Mas, jangan pernah tinggalin aku ....” Mira mulai merajuk. “Ya, aku juga menyayangimu.” Reinald mencium puncak kepala istrinya. Reinald bahkan tidak mengerti perasaan apakah yang sekarang ia miliki terhadap Mira. Tidak ada lagi rasa rindu untuk istrinya itu. Bahkan ketika berhubungàn badàn dengan Mira, Reinald malah membayangkan Andhini. Dia tidak pernah benar-benar puas ketika berhubungàn dengan Mira. “Nak Rei, mama dan papa pulang dulu ya. Gantian nak Rei yang menjaga Mira di sini.” Orang tua Mira pun pamit meninggalkan ruangan rumah sakit. “Ya Ma, Pa. Rei antar sampai pintu.” Reinald menyalami mertuanya dengan takzim. “Bagaimana kata dokter, kapan kamu bisa pulang?” Reinald masih setia di samping Mira. “Kepalaku masih sakit, Mas. Tadi aku masih muntah. Dokter belum bisa memastikan kapan aku bisa pulang.” “Ya sudah, kamu sudah makan siang? Mau aku suapi?” Reinald selalu berusaha bersikap lembut kepada istrinya itu. Ia tidak mau Mira mencurigainya. “Sudah mas, aku mengantuk, aku tidur dulu ya.” “Baiklah, tidurlah.” Reinald mengecup lembut kening istrinya. Reinald siang ini memang tampak bahagia. Dia sudah mendapatkan sesuatu yang selalu didambakannya. Andhini yang selama ini hanya dalam imajinasi, akhirnya bisa dinikmàti secara nyata. Kamu sangat luar biasa, Andhini, batin Reinald. Pria itu memandangi wajah Andhini dari gawaynya. Tentu Mira tidak akan curiga walau pun Mira tahu ada foto Andhini di ponsel Reinald. Karena dalam gallery ponsel Reinald memang banyak foto-foto mereka sekeluarga ketika bertamasya. “[Sayang, sedang apa?]” Reinald mengirim pesan kepada Andhini. “[Aku baru selesai membersihkan rumah, sedang menonton televisi. Bagaimana keadaan mbak Mira, Mas?]” Tak berselang lama, Andhini membalas pesan itu. “[Baik, tidak lama lagi mungkin mbakmu akan pulang. Mas sayang banget sama kamu].” Reinald menggodà adik iparnya itu. “[sayang sama aku atau sayang sama punyaku].” Jawaban Andhini malah membuat Reinald semakin gemas. “[Dua-duanya. Besok pagi mas mau lagi ya].” “[Lihat besok ya].” Reinald dan Andhini sama-sama menghapus pesan di ponsel mereka. - - - Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Mira bisa pulang kembali ke rumah orang tuanya. Kepulangan Mira tentu membuat duka di hati Dhini dan Reinald. Mengingat Mira juga ibu rumah tangga biasa yang akan selalu berada di rumah. Keadaan itu akan menghambat keintimàn hubungannya dengan Reinald. Apalagi saat ini Andhini melihat Reinald menuntun Mira masuk dengan begitu mesra. Hati Andhini terasa panas dan terbakar. “Mbak Mira sudah kembali, syukurlah mbak sudah sembuh. Dhini sudah masakin Sup untuk mbak, silahkan makan dulu.” Andhini berusaha menyembunyikan perasaanya.   “Makasih, tolong kamu bawain barang-barang mbak ya. Bawa semuanya ke dalam kamar.” Mira memang selalu bersikap seperti itu kepada Andhini. Sifatnya yang sombong membuatnya sering memperlakukan Andhini seperti pelayan. Dan anak-anak Mira juga memperlakukan tante mereka sama seperti Mira memperlakukan Andhini. Selama tinggal di rumah orang tuanya, Mira tidak banyak bekerja di rumah. Harinya ia habiskan dengan menonton televisi. Terkadang pergi kumpul-kumpul bersama teman-teman sosialitanya. Gaya hidup Mira yang tinggi dan tuntutan yang banyak kepada Reinald, membuat Reinald harus berpikir keras untuk mendapatkan uang yang banyak. Reinald bahkan sering melakukan korupsi di kantornya demi memuàskan  keinginan istrinya. Saat ini Reinald sedang merintis bisnis kuliner dan fashion. Bisnis itu berkembang cukup baik. Tapi Mira tidak banyak tahu dengan bisnis yang digeluti oleh Reinald, karena selama ini Mira memang tidak mau tahu dengan pekerjaan suaminya. Baginya, apa pun yang diminta, harus terpenuhi. Reinald sebenarnya sudah muak dengan sikap istrinya itu. Ingin rasanya Reinald mengakhiri pernikahan mereka. Namun ia tidak mungkin tega menceraikan ibu dari ketiga anaknya. Terlebih Reinald begitu mencintai Andhini. Andhini selalu bisa menjadi pelipur laranya. Jauh sebelum Reinald menjalin kasih terlàrang dengan adik iparnya, Andhini sudah menjadi teman curhat yang baik untuk Reinald. Jika dia bercerai dengan Mira, tentu akan sulit untuk berhubungàn dengan Dhini. Kenapa dulu aku tidak dijodohkan dengan Andhini saja, mengapa harus dengan Mira? Reinald kembali membatin. “Semua barang-barang mbak sudah Dhini masukkkan ke kamar. Mbak mau Dhini buatin sùsu?” Andhini memang seperti itu. Sifatnya yang lemah lembut dan selalu baik kepada siapa saja. Walau pun dari kecil sering disakiti oleh Mira dan Resti—kedua kakak perempuanya—tapi Andhini tidak pernah membalas mereka. Resti—kakak perempuan Dhini yang lain yang usianya satu tahun di atas Mira—juga memiliki dendam terpendam kepada adiknya itu. Kakak Andhini ada lima orang dan Andhini adalah anak ke enam. Kakak Pertama, kedua dan ketiga adalah laki-laki. Yang pertama dan kedua wajahnya mirip dengan Andhini, berkulit cerah dan tampan, menyerupai ibu mereka. Sementara Alfian—kakak Andhini yang ketiga—berparas sama dengan Mira dan Resti. Kulit lebih gelap dan sedikit berisi, menyerupai ayah mereka. “Boleh, cepat buatkan!” jawab Mira dengan nada memerintah. “Aku juga ya tante!” Siska—anak Mira yang kedua—juga meminta Andhini membuatkan sùsu dengan nada memerintah. “Siska! jangan begitu. Kamu’kan bisa buat sendiri.” Reinald menegur putrinya itu. “Biarkan saja, Mas. Memang sudah tugasnya Dhini’kan?” Begitulah Mira selalu membela dan memanjakan anaknya. Kalian sudah benar-benar keterlaluan, lagi, Reinald hanya bisa membatin. “Mira, tidak seharusnya kamu memperlakukan anak-anak seperti ini. mau jadi apa mereka jika kau tidak mendidik mereka untuk menghargai tantenya sendiri.” Reinald berusaha menasehati Mira untuk kesekian kalinya. “Memangnya kenapa? Kenapa kamu yang tidak suka, Mas? Kamu peduli sekali kepada Andhini?” Mira sangat keras kepala. Setiap Reinald hendak menasehatinya, pasti Mira balik menuduh Reinald yang tidak-tidak. “Bukan begitu maksudku, tapi?” “Aku lagi malas debat, Mas. Lagi pula aku masih sakit. Dan asal kamu tau mas, Andhini memang pantas mendapatkan perlakuan itu. Dia sudah merebut Soni dari mbak Resti.” “Kenapa kamu masih mengungkit hal itu Mira? Lagi pula itukan urusannya sama mbak Resti, bukan masalahmu. Semua orang tahu kalau bukan Andihini yang merebut Soni, tapi mbak Resti yang sudah menyia-nyiakannya. Terlebih sekarang’kan mbak Resti juga sudah punya kehidupan yang baru.” “Kenapa kamu ngotot sekali membela dia. Kamu harus berhati-hati dengannya mas. Di balik wajahnya yang cantik, dia punya hati yang busuk, Mas.” Reinald  tidak tahan melihat sikap Mira. Mira bahkan tidak segan mempermalukan Andhini di depan anak-anak dan orang lain. Reinald sudah berulang kali menasehatinya, tapi keras kepala Mira sudah di atas rata-rata. Di tempat yang berbeda, Andhini kembali menangis mendengarkan ucapan kakaknya itu. Untung saja Soni dan kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah. Sekiranya ada orang tua Andhini, maka akan terjadi keributan lagi di rumah itu. Dengan langkah kaki yang berat sambil menyeka air matanya, Andhini pun mendekati Mira untuk memberikan sùsu hangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD