Untuk Pertama Kalinya

2109 Words
Resepsi diadakan setelah maghrib, Jihan tampak cantik dengan balutan gaun berwarna silver. Rambut panjangnya di buat ikal di bagian bawah dan lebih di tata agar terlihat rapi. Terdapat mahkota berukuran sedang di atas kepala, terlihat seperti seorang putri kerajaan. Juna sendiri mengenakan tuxedo simple tapi mewah, berwarna senada dengan gaun yang dikenakan Jihan. Resepsi di adakan di gedung dengan tema berwarna putih. Banyak tamu undangan yang hadir, terlebih lagi dengan rekan bisnis Juna yang tak henti berdatangan. Berbagai ucapan selamat dan doa mereka terima. Jihan tercengang begitu melihat seseorang yang baru menampakkan batang hidung nya saat ini. Jantung Jihan berdebar kencang. Tubuhnya kaku saat langkah semakin memperpendek jarak. “Nak.” Jihan memejamkan mata. Menahan rasa sesak di d**a. Lelaki yang ia panggil dengan sebutan ‘Ayah’ itu, kini datang menghadiri acara pernikahannya. Setelah sekian lama dia menghilang bak di telan bumi. “Selamat atas pernikahan kamu. Maaf, Ayah baru sempat datang ke sini. Semoga kamu dan suami kamu bahagia. Doa Ayah akan setia mengiringi.” Juna mengeritkan dahi saat melihat interaksi dua orang itu yang terkesan kaku. Dan apa katanya? Ayah? Jadi itu Ayah Jihan. Jihan menarik napas panjang. Mencoba tersenyum walau rasanya susah. “Ya. Terima kasih atas waktu dan doa nya.” Oji tersenyum simpul. Terlihat kilap kesedihan yang terpancar dari kedua bola mata nya. Kemudian tatapan lelaki setengah baya itu jatuh pada Juna. “Ayah titip Jihan ya, Nak. Tolong bahagiakan dia. Jihan berhak mendapat kebahagiaan bersama orang yang tepat.” Juna yang tidak tahu apa-apa mengenai apa yang sedang terjadi antara Jihan dan ayahnya, hanya bisa tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala. Yuna melangkah mendekati, menepuk pelan tangan Oji dan memberi kode agar mengikutinya. Oji mengangguk, sebelum pergi mengikuti Yuna, ia menatap pada Jihan sekilas. Jihan tertunduk, sesak di dadanya tak mampu menahan air mata yang sudah mengepul. Terdengar isakan yang membuat Juna sedikit terkejut mendapati Jihan yang menangis. Juna melangkah pergi tanpa sepatah kata pun, meninggalkan Jihan dengan derai air mata. Santi yang kini telah menjadi ibu mertua nya datang menghampiri Jihan. Membawa gadis itu ke dalam dekap pelukan hangat. Tangan nya mengusap punggung gadis itu yang bergetar. “Sabar, Nak. Kamu kuat, Mama yakin itu.” Santi berucap pelan, membuat Jihan semakin tak bisa menghentikan tangisnya. Juna kembali datang dengan tangan yang membawa beberapa lembar tissue. Berdiri diam menyaksikan dua wanita itu. Pelukan itu pun terlepas. Santi mengecup kening Jihan cukup lama. “Sekarang bukan waktunya untuk bersedih, Nak. Berbahagialah di hari pernikahan kamu,” ucapnya sambil tersenyum hangat. Jihan menatap sendu ibu mertuanya. “Iya. Terima kasih, Ma.” Santi tersenyum sambil menganggukan kepala, mengusap bahu Jihan sebelum akhirnya kembali ke tempat duduk semula. Kemudian, Jihan dikejutkan dengan sodoran tissue dari Juna. Gadis itu mendongak menatap wajah suaminya yang menatap lurus ke depan. “Usap air mata lo,” ucap Juna tanpa menatap Jihan. Jihan tersenyum tipis, kemudian mengambil alih tissue tersebut dari tangan sang suami. “Terima kasih, Mas.” “Hm.” Sebenarnya, ada rasa ingin tahu dalam diri Juna mengenai yang terjadi antara Jihan dan ayahnya. Akan tetapi, gengsi laki-laki itu membuatnya lebih memilih diam dan tidak banyak bertanya. Di tempat yang berbeda, Yuna menghentikan langkah begitu sampai di tempat yang menurutnya sudah aman untuk bicara empat mata dengan Oji. “Untuk apa Bapak datang ke pernikahan Jihan? Bukankah selama ini, Bapak tidak pernah menganggap keberadaan Jihan?” Yuna bertanya dengan tatapan tajam. “Saya Ayah dari Jihan. Saya berhak menghadiri pernikahan putri saya sendiri. Dan seharusnya, saya tidak datang sebagai tamu, melainkan sebagai Ayah dari pengantin wanita.” Yuna tersenyum kecut sambil menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan apa yang ada dalam pikiran lelaki ini. “Saya tahu, Bapak adalah Ayah kandungnya Jihan. Tapi kemana Bapak selama ini? Jihan tumbuh tanpa kasih sayang dari Ayah nya sendiri.” Oji mendengus kasar. “Kamu tidak usah menceramahi saya,” ketusnya. Yuna memicingkan mata tidak suka. “Lebih baik sekarang Bapak pergi dari sini. Jangan semakin menambah luka pada hati Jihan.” “Saya juga malas berlama-lama di sini. Yang terpenting sekarang, Jihan sudah berada di tangan orang yang tepat,” ucap Oji lantas berlalu pergi tanpa permisi. Yuna menggelengkan kepala. Mengusap-usap dadanya sambil mengatur napas yang memburu. “Astagfirullah, manusia macam apa dia itu? Beruntung, Jihan tidak memiliki hati seperti Ayah nya,” gumamnya lantas melangkah kembali menuju pelaminan. Di usia Jihan yang kelima tahun, Rena – Ibu Jihan meninggal dunia karena terkena serangan jantung. Yuna yang merupakan sahabat dari Rena, mengasuh Jihan di panti asuhan yang ia dirikan. Merawat Jihan dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Sedangkan Oji, laki-laki tidak bertanggung jawab itu malah pergi bersenang-senang dengan selingkuhannya. Kepergian Rena justru menjadi kebahagiaan Oji dan juga selingkuhannya yang sekarang telah menjadi istrinya. Sedangkan Jihan, gadis itu tidak pernah di pedulikan sama sekali. Bahkan hanya sekedar menanyakan sudah makan atau belum pun, Oji tidak peduli. Apakah laki-laki seperti itu pantas di sebut Ayah? ***** Jihan menatap diri pada pantulan cermin datar. Acara resepsi telah selesai sejak empat puluh menit yang lalu. Dan saat ini, Jihan berada di dalam ruangan luas yang di d******i warna putih. “Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Adreena binti Oji Renaldi dengan mas kawin tersebut di bayar tunai.” Mengingat momen sakral itu, membuat Jihan tersadar kalau ia sudah menjadi seorang istri dari beberapa jam yang lalu. Tangan kanannya terangkat. Cincin berlian yang menjadi tanda pengikat terlihat cantik di jari manis nya. Suara pintu kamar yang terbuka berhasil mengejutkan Jihan. Melalui pantulan cermin datar, ia melihat Juna yang sedang melepas jas lalu melemparnya ke arah ranjang. Buru-buru Jihan menunduk kala mendapati tatapan tajam dari lelaki itu. “Gue atau lo dulu yang mandi?” Suara dingin itu terdengar. Belum sempat Jihan menjawab, Juna sudah kembali bersuara. “Tapi lebih baik gue dulu yang mandi,” putusnya lantas melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Jihan mengangkat kepala. Mengatur napas yang memburu. Berada dalam satu ruangan dengan lelaki asing yang telah meminangnya, membuat jantung Jihan berdebar kencang. Apalagi mengingat malam ini adalah malam pertama setelah menjadi pasangan suami istri. Menghela napas panjang, kemudian Jihan beranjak menuju koper berisi pakaiannya. Kerutan di dahi terlihat jelas begitu melihat apa yang ada dalam koper. “Kemana semua baju-baju ku?” gumamnya bingung karena tidak menemukan satu baju pun di dalam koper itu. Jihan berdigig ngeri kala mengangkat kain tipis berwarna hitam yang ada dalam kopernya. Siapa yang telah memindahkan semua pakaian Jihan dan menggantinya dengan kain tipis kurang bahan ini. Jihan mendengus kesal lalu menutup koper tersebut. Bibirnya mengerucut, duduk bersandar pada dinding kamar. “Terus aku harus pakai apa? Gak mungkinkan kalau aku tidur pakai gaun pengantin,” gumamnya. Selang beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Juna melangkah keluar sambil menggosok rambut basah nya dengan handuk. Buru-buru Jihan memalingkah wajah ke arah lain. Tubuh Juna sangat mempesona. Otot-otot perut nya sampai tercetak jelas dari balik kaos hitam polos yang di kenakan laki-laki itu. Juna mengeritkan dahi kala mendapati Jihan yang sedang duduk di lantai. “Lagi apa lo di situ? Mandi sana.” Jihan bangun dari posisi duduk nya. Kemudian menggelengkan kepala lemah, menatap Juna dengan tatapan sendu nya. “Maaf, Mas. Tapi Jihan gak bisa mandi malam ini. Nanti Jihan tidur di sofa aja biar Mas Juna gak mencium bau badan Jihan,” ujar nya. Juna mengangkat sebelah alis nya. “Kenapa? Gak mungkin kan, kalau lo gak bisa mandi sendiri?” “Astagfirullah, Mas. Pikiran nya.” Juna mengangkat bahu acuh. Jihan menghela napas berat. Berjongkok dan kembali membuka koper, lalu mengambil kain tipis itu. Menunjukkan pada Juna sambil mengangkat nya. “Lihat deh, Mas.” Dua bola mata Juna hampir keluar dari tempat nya. Bagaimana bisa Jihan menunjukkan lingerie itu pada Juna? Jihan mendesah pelan, kemudian melempar lingerie itu ke arah koper. Menatap lelah pada Juna yang masih shock. “Jihan gak mungkin pakai kain tipis itu, Mas.” Juna mengumpati siapa pun orang yang telah memasukkan lingerie itu pada koper Jihan. Sial! Membayangkan tubuh Jihan terbalut kain laknat itu, sudah membuat yang di bawah sana bereaksi. “Mas, gak apa-apa ya, kalau Jihan gak mandi malam ini.” Rengekan suara Jihan membuat fantasi liar Juna terhenti. Juna mengerjapkan mata beberapakali. Kaki nya terayun ke arah lemari dan gerakan Juna tidak lepas dari pandangan Jihan. Laki-laki itu mengambil baju berlengan pendek dan celana panjang dari dalam sana. “Lo pakai baju gue dulu. Nanti besok baru belanja pakaian dan segala kebutuhan lo,” ucap Juna lalu menyerahkan baju dan celana tersebut pada Jihan. Gadis itu tersenyum senang. “Terima kasih, Mas. Kalau gitu Jihan mandi dulu.” Juna hanya membalas nya dengan deheman. Lantas merebahkan tubuh di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar dengan tangan yang dijadikan bantalan. Perlahan rasa kantuk datang. ***** Juna mengerjapkan mata beberapa kali, menyesuaikan biar cahaya yang masuk dalam kornea mata nya. Pemandangan Juna langsung di suguhi wajah cantik seorang gadis yang masih terlelap. Pandangan nya melirik sekilas pada jam yang berada di atas nakas. Pukul empat lebih tiga puluh menit. Di tatapnya wajah gadis itu dalam diam. Semua orang mengakui kalau Jihan adalah gadis yang cantik. Dan gadis itu sudah dimiliki oleh Juna sebagai seorang teman dalam hidupnya. Menikah adalah sebuah momen sakral yang begitu di idam-idamkan oleh kebanyakan orang. Dua insan yang akan terikat dalam sebuah janji suci yang sah di mata agama dan negara. Namun, untuk menikah kilat tidak pernah terbesit dalam pikiran Juna. Dalam urung waktu yang tidak sampai satu minggu, ia mantap menikahi gadis bernama Jihan Adreena yang merupakan orang asing dalam hidupnya. Tiga tahun yang lalu, Juna hampir menikah dengan kekasih yang begitu ia cintai. Namun, sakit yang diderita oleh sang kekasih berhasil merenggut nyawanya. Dan sejak saat itu, tidak ada lagi perempuan yang berhasil mengisi kekosongan hatinya. Jika kalian bertanya apakah Juna sudah move on? Maka jawabannya adalah iya. Juna bukan tipe orang yang mau terus berlarut-larut dalam masa lalu. Apalagi masa lalu itu tidak akan pernah bisa ia genggam lagi. Melihat tanda-tanda Jihan yang hendak bangun, sesegera mungkin Juna memejamkan mata. Ia akan malu kalau diciduk oleh Jihan yang sedang memandanginya. Bibir Jihan mengulas senyum kala mendapati posisi Juna yang miring menghadapnya. Tanpa ragu, tangan lentik itu menyentuh rahang tegas sang suami. Membuat si empunya terkejut. “Menikah dengan kamu itu gak pernah ada dalam bayang masa depan Jihan, Mas. Tapi nyatanya, semesta telah menyatukan kita dalam suatu koordinat yang sama,” ucap Jihan pelan namun masih bisa di dengar oleh Juna. “Jihan gak tahu, pernikahan ini akan dibawa kemana. Mengingat ini hanyalah sebuah pernikahan kilat tanpa adanya cinta. Tapi, Mas, Jihan sudah mempunyai janji dalam diri Jihan, untuk selalu mempertahankan apa yang sudah ada dalam genggaman Jihan. Dan itu berarti, penikahan ini gak akan pernah Jihan lepas.” Darah Juna berdesir kala mendengar ucapan gadis itu. Ibunya memang tidak salah memilih Jihan untuk dijadikan istri oleh Juna. Walau gadis itu terlihat polos dan lugu, namun siapa sangka kalau pemikirannya begitu dewasa. Jihan menghembuskan napas panjang, terdengar suara panggilan shalat yang membuatnya segera duduk. Mencepol rambut nya asal-asalan. “Mas, bangun. Sholat subuh dulu,” panggil Jihan. Juna yang memang sedari tadi sudah bangun, masih bertahan dalam posisinya. Agar Jihan tidak menaruh curiga kalau ia segera bangun. Jihan menepuk-nepuk pelan tangan suami nya. “Subuhan, Mas. Ayo bangun, Jihan gak mau punya suami pemalas,” ucapnya lalu menggoyangkan tubuh Juna sedikit kencang. Cukup! Juna mengakhiri kebohongannya, ia berlagak seperti orang yang baru bangun tidur. “Eengghh, apa sih lo? Ganggu orang tidur aja,” protes Juna. Jihan memicingkan mata menatap suami nya. “Jangan bilang kalau Mas Juna gak pernah shalat subuh ya? Makanya susah banget dibangunin dan malah protes.” Juna terbelalak, tapi apa yang dikatakan Jihan memang ada benarnya. Juna bahkan tidak pernah lagi sholat setelah menjalani wisuda. Itu pun ia lakukan agar mendapatkan hasil yang memuaskan. “Jihan ambil wudhu dulu kalau begitu, Mas Juna jangan tidur lagi.” Gadis itu menyikap selimut, kaki nya terayun masuk ke dalam kamar mandi. Juna yang melihat nya berusaha menahan tawa. Baju dan celana Juna begitu kebesaran di tubuh Jihan. Tapi jatuhnya malah menggemaskan, Jihan tidak terlihat seperti gadis berusia dua puluh tahun. Tak lama kemudian, Jihan keluar setelah mengambil air wudhu. Bergantian dengan Juna yang masuk. Jihan segera mengenakan mukena dan menggelar sajadah, lalu menyiapkan sarung dan baju koko untuk Juna. Untuk pertama kalinya, Juna mengimami sholat seorang perempuan selama dua puluh enam tahun ini. Tangan Jihan terulur untuk mencium punggung tangan Juna, dengan ragu ia membalas uluran tangan Jihan dan membiarkan gadis itu mengecupnya. Debaran itu Juna kembali rasakan, sama seperti saat Jihan melalukan hal yang sama setelah akad kemarin. Jihan mengulas senyum manis membuat Juna terpaku. "Mas Juna gak mau cium kening Jihan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD