Bab 7. Ancaman

1093 Words
"Kamu itu terlalu berlebihan, Jesika," ujar Adam dengan nada dingin namun tajam. "Banyak wanita di luar sana yang bisa punya tubuh indah, tetap sukses dengan kariernya, dan bahkan punya anak. Kenapa kamu selalu merasa semuanya akan berantakan hanya karena hamil?" Jesika terkejut mendengar ucapan Adam. Ia mengerutkan keningnya, menahan emosi yang mulai muncul di dalam dirinya. "Mas, kamu nggak tahu apa-apa soal perjuangan seorang wanita saat hamil. Kamu cuma melihat hasilnya, tapi kamu nggak pernah paham proses yang harus kami lalui. Kamu nggak tahu bagaimana susahnya menjaga karir di tengah perubahan besar itu!" Adam mendekat lebih lagi, menatap Jesika dengan tegas. "Aku nggak bilang itu mudah, tapi aku juga nggak pernah lihat kamu mencoba! Kamu selalu bersembunyi di balik alasan-alasan itu, padahal banyak wanita lain yang bisa melakukannya. Apa kamu merasa lebih lemah dari mereka?" Jesika tersentak. Kata-kata Adam seperti tamparan yang menyakitkan, tetapi ia tetap mencoba bertahan. Dengan suara bergetar, ia menjawab, "Mas, ini bukan soal lemah atau kuat. Ini soal pilihan hidup. Aku ingin menjadi yang terbaik dalam pekerjaanku, dan aku nggak mau kehilangan kesempatan itu hanya karena ...." "Hanya karena aku ingin kita punya anak? Hanya karena aku ingin keluarga kita terasa lengkap?" Adam memotong, suaranya kini lebih keras. "Jesika, kamu nggak bisa terus-menerus hidup seperti ini. Kita menikah untuk membangun keluarga, bukan cuma menjadi teman sekamar!" Jesika menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Mas, aku paham kamu ingin anak. Tapi aku juga ingin kamu menghormati apa yang aku inginkan. Tubuh ini milikku, dan aku punya hak untuk memutuskan apa yang terbaik untuk diriku sendiri." Adam tertawa kecil, getir. Ia menggelengkan kepala sambil berkata, "Tubuhmu milikmu? Baik, Jesika. Tapi ingat, pernikahan ini adalah milik kita berdua. Dan aku nggak akan terus-menerus jadi orang yang mengalah." Jesika terdiam, tidak bisa membalas ucapan Adam. Ia tahu bahwa laki-laki itu benar dalam beberapa hal, tetapi hatinya tetap bersikeras mempertahankan pendiriannya. "Aku nggak akan memaksa lagi," ujar Adam dengan nada dingin. "Tapi jangan salahkan aku jika suatu hari aku mencari apa yang aku butuhkan di tempat lain." Setelah mengatakan itu, Adam berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Jesika yang terdiam dengan hati yang terasa semakin berat. Kata-kata Adam terus terngiang di kepalanya, membuatnya bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang benar atau justru menghancurkan sesuatu yang lebih berharga. Jesika bergegas mengejar Adam yang sudah berjalan cepat meninggalkan kamar. Dengan nada panik, ia memanggil nama suaminya. "Mas Adam! Tunggu, Mas! Aku belum selesai bicara!" suara Jesika terdengar tegas, meski sedikit gemetar. Namun, Adam tidak memperlambat langkahnya. Ia terus berjalan menuju pintu depan dengan ekspresi wajah dingin tanpa menoleh sedikit pun. Jesika yang tidak ingin menyerah mempercepat langkahnya, mencoba menghentikan Adam. Ketika Adam membuka pintu rumah dan melangkah keluar, Jesika segera menyusul. "Mas, jangan seperti ini! Kita bisa bicarakan ini baik-baik!" ujarnya dengan nada putus asa. Adam akhirnya berhenti, tetapi ia tidak menoleh ke arah Jesika. Ia berdiri di depan mobilnya, menekan tombol kunci otomatis, lalu membuka pintu mobil. *** Adam duduk di salah satu kursi empuk di sudut sebuah klub malam mewah. Lampu neon yang berpendar redup menciptakan suasana remang-remang, sementara dentuman musik elektronik memenuhi ruangan. Ia memutar gelas kristal berisi wiski di tangannya, menatap cairan kuning keemasan itu dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang, mengingat pertengkarannya dengan Jesika beberapa jam yang lalu. Perasaan marah, kecewa, dan frustrasi bercampur menjadi satu, membuat dadanya terasa sesak. Seorang pelayan wanita dengan senyuman profesional mendekat, membungkuk sedikit sebelum berbicara. "Bisa saya bantu, Pak?" Adam mengangkat pandangannya sejenak. "Tambah wiski. Jangan terlalu banyak es," katanya singkat. Pelayan itu mengangguk dan segera berlalu, meninggalkan Adam kembali tenggelam dalam pikirannya. Ia menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tetapi bayangan Jesika terus mengganggu pikirannya. Kata-kata istrinya yang menolak memiliki anak dengan alasan menjaga tubuh dan kariernya terus terngiang di telinganya. "Untuk apa semua ini kalau aku nggak punya keluarga yang utuh?" gumam Adam pelan, hampir tak terdengar di tengah keramaian. saat kemudian, pelayan itu kembali dengan gelas baru berisi wiski. Adam mengangguk sebagai tanda terima kasih, lalu meneguknya perlahan. Ia memejamkan mata, membiarkan cairan keras itu mengalir ke tenggorokannya, memberikan sensasi panas yang menenangkan sesaat. Adam menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelas wiski yang masih setengah penuh di tangannya. Matanya setengah terpejam karena pengaruh alkohol, tetapi penglihatannya tetap tajam ketika mendapati Mira yang tengah sibuk melayani beberapa tamu di meja seberang. Senyum sinis langsung terukir di wajahnya. Ia memutar gelas di tangannya perlahan, menatap Mira dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara nostalgia pahit dan kepuasan karena melihat mantan istrinya berada dalam posisi yang dianggapnya "rendah". Mira yang tidak menyadari bahwa Adam memperhatikannya, tetap fokus melayani tamu dengan senyum sopan. Ia mengangkat nampan berisi minuman dan menyajikannya di meja. Gerakannya gesit, seolah sudah terbiasa dengan pekerjaan itu, tetapi Adam menangkap sekilas kelelahan di wajah wanita itu. Adam tertawa kecil, getir, lalu meneguk wiski di tangannya hingga habis. Ia meletakkan gelas itu di meja dengan bunyi keras, menarik perhatian seorang pelayan di dekatnya. Dengan gerakan tangan, ia memanggil pelayan tersebut. "Suruh dia ke sini," kata Adam sambil menganggukkan kepala ke arah Mira. Pelayan itu mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, lalu berjalan menghampiri Mira yang baru saja selesai melayani tamunya. Mira mendongak saat pelayan itu berbicara padanya, dan ekspresi wajahnya berubah kaku ketika diberitahu bahwa seseorang di sudut ruangan memintanya untuk datang. Dengan ragu, ia menoleh ke arah yang dimaksud, dan matanya langsung bertemu dengan tatapan Adam yang masih duduk santai dengan senyum sinis di wajahnya. Hati Mira mencelos. Napasnya tercekat sesaat, tetapi ia segera memasang ekspresi tenang, meskipun dalam hatinya ia tahu ini adalah momen yang tidak pernah ia harapkan. Setelah menarik napas dalam-dalam, Mira melangkah pelan ke arah Adam, mencoba menjaga profesionalitas meskipun setiap langkah terasa berat. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya dengan nada datar, mencoba menjaga jarak formal di antara mereka. Adam tersenyum, lalu melirik ke arah kursi kosong di seberangnya. "Duduklah. Kita perlu bicara." Mira tertegun sejenak, tetapi ia menggeleng halus. "Maaf, saya sedang bekerja. Jika tidak ada yang penting, saya harus kembali melayani tamu lain." Adam menghabiskan sisa minuman di gelasnya, lalu berdiri dari kursinya dengan gerakan mantap meskipun pengaruh alkohol sedikit memengaruhi langkahnya. Ia merapikan jas hitam yang dikenakannya, seolah ingin memastikan penampilannya tetap sempurna. Mira, yang masih berdiri di hadapan Adam, menatap Adam dengan cemas, mencoba membaca maksud di balik tindakan pria itu. Namun, tatapan dingin Adam tidak memberinya petunjuk apa pun. Adam menunduk sedikit ke arah Mira, cukup dekat hingga hanya mereka yang bisa mendengar percakapan itu. "Aku tunggu di hotel tempat kita biasa bertemu. Di kamar yang sama," katanya dengan nada yang dingin namun tegas, seolah itu adalah perintah yang tak bisa ditolak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD