07 - Marah - √

1117 Words
  1 Minggu sudah berlalu sejak kedatangan Anton dari Abu Dhabi.   Selama itu pula, Sein selalu bersikap acuh tak acuh pada Anton. Sein hanya akan berbicara seperlunya, tidak seperti biasanya yang luar biasa cerewet dan akak meminta ini itu.   Sekarang Sein akan menjawab semua pertanyaan atau membalas ucapan Anton sesingkat mungkin. Benar-benar irit bicara, melebihi orang yang sedang sakit gigi dan sariawan.   Bukan hanya itu, Sein juga selalu menjaga jarak dengan Anton, di mana pun dan kapan pun. Saat menjelang tidur sekalipun, Sein selalu berusaha menjaga jarak dengan Anton. Membatasi wilayah tidurnya dengan menempatkan bantal guling di bagian tengah-tengah tempat tidur. Meskipun pada akhirnya, saat terbangun, Sein akan selalu berada dalam pelukan dan dekapan Anton.   Anton selalu sengaja membiarkan Sein terbangun lebih dulu, karena Anton tahu pasti, istrinya itu akan merasa malu saat terpergok tidur dalam dekapannya, sementara sebelum tidur selalu menolak jika Anton akan memeluknya.   Anton hanya bisa pasrah, pria itu cukup tahu dan sadar diri dengan apa yang Sein lakukan padanya. Wajar saja kalau Sein marah, dirinya pergi tanpa pamit, dan sama sekali tidak pernah mau menerima panggilan dari istrinya itu.   Tapi jika Anton boleh jujur, maka Anton akan mengatakan kalau ia lebih suka Sein yang memarahinya habis-habisan, dari pada Sein yang mendiamkannya. Anton merasa jauh lebih tersiksa saat Sein mendiamkannya.   "Kakak hari ini libur kuliah?" Seperti biasa, Sein memilih duduk di samping Sean atau Anna dari pada di samping Anton. Ingat! Sein masih dalam mode merajuk pada suaminya itu.   "Iya Mom, hari ini Kakak enggak ada kelas." Sean memberikan segelas teh madu hangat, yang langsung Sein terima dengan senang hati.   Dengan semangat Sein menenggak habis teh pemberian Sean, lalu menatap Sean dengan mata berbinar. "Kakak bisa antar Mommy ke Dokter? Hari ini Mommy harus cek kandungan sama Dokter Elisa."   Sean mengalihkan pandangannya dari Sein lalu menoleh pada Anton, menatap Anton dengan alis yang saling bertaut, Sean menunggu respon dari sang Daddy.   Anton yang sadar dengan tatapan mata Sean lantas mengangguk. "Kakak temani Mommy cek ya, hari ini Daddy enggak bisa ikut karena ada meeting penting di kantor."   Sein lantas berdiri sesaat setelah mendengar penuturan Anton. Nafsu makan Sein hilang sudah, padahal semua makanan yang terhidang di meja makan adalah makanan kesukaannya.   Sein sedih tentu saja, tadinya ia pikir Anton akan meluangkan waktu untuk menemaninya cek kandungan, mengingat sudah sejak 1 bulan yang lalu mereka merencanakan pemeriksaan ini. Padahal Sein sudah berniat untuk memaafkan Anton, tapi moodnya kembali anjlok begitu mendengar penjelasan Anton.   "Kak, kita makan bubur saja ya. Mommy maunya makan bubur." Tanpa berpamitan pada Anton, Sein melenggang keluar dari ruang makan begitu saja, bahkan sama sekali tidak melirik Anton.   Anton mendesah frustasi begitu melihat mata Sein yang memerah, seperti menahan tangis. Sudah bisa di pastikan kalau Sein pasti akan menangis dan itu semua karena dirinya.   Astaga! Anton benar-benar merasa bersalah, tapi Anton tidak bisa membatalkan meeting kali ini, karena ini sangat penting, ia sudah 3 kali menunda meeting dan ia tidak mungkin menunda untuk yang ke 4 kalinya.   "Maaf Kak, Daddy benar-benar enggak bisa ikut menemani Mommy ke Dokter," sesal Anton dengan raut wajah sedih yang terlihat dengan jelas.   Bukannya Anton egois, tapi Anton sudah terlalu sering menunda meeting dengan dewan direksi. Anton memang bos, tapi Anton juga tidak bisa berlaku semena-mena di kantor. Ada peraturan yang harus Anton taati, dan jika ia terus bersikap semena-mena, mungkin ia akan di turunkan dari jabatannya saat ini.   Sean mengangguk, mengerti dengan apa yang kini sedang Anton rasakan. "Daddy tenang aja, Kakak pasti bakalan jagain Mommy."   Sean tahu betapa berat beban pekerjaan Anton di kantor. Itulah salah satu alasan kenapa Sean ingin segera menyelesaikan kuliahnya, agar dirinya bisa segera mengambil alih beban pekerjaan Anton di kantor, karena dengan begitu Anton bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sein, dan tentu saja adik-adik kecilnya kelak.   Tentu saja perusahaan yang Anton pimpin sekarang lambat laun akan menjadi tanggung jawab Sean, itu bukan pilihan melainkan sebuah kewajiban yang tidak akan bisa Sean hindari. Dan untuk bisa mengambil alih tugas Anton, maka ada banyak hal yang harus Sean pelajari.   "Tapi Mommy marah sama Daddy, Kak." Anton mengacak-ngacak rambutnya, merasa frustasi dengan apa yang kini sedang ia hadapi.   Sean tertawa lalu melangkah mendekati Anton. "Mommy biar Kakak yang urus, mending Daddy fokus kerja aja dulu, biar cepat selesai dan bisa cepat bujuk Mommy, supaya  Mommy enggak marah lagi." Sean mencoba memberi Anton semangat.   Mereka mungkin memang tidak akan jatuh miskin jika perusahaan yang Anton pimpin bangkrut, tapi mereka juga harus memikirkan bagaimana nasib para karyawannya nanti. Sebagai seorang pemimpin, Anton harus selalu memberikan sikap dan contoh yang baik untuk para karyawannya.   Anton menghela nafas, kembali menyugar rambut hitam legamnya. Apa yang baru saja Sean katakan memang benar, dirinya harus fokus menyelesaikan pekerjaaannya supaya bisa membujuk Sein agar tidak lagi marah padanya.   "Ya sudah, Kakak susul Mommy sana. Pasti Mommy lagi nangis di mobil." Sean menepuk ringan bahu Anton, memberi Anton semangat. "Daddy makan yang banyak, jangan sampai sakit, ok."   "Iya Kak."   Setelah berpamitan dengan Anton, Sean berlalu, melangkah menuju teras depan di mana mobil miliknya sudah terparkir dengan sempurna. Tadinya Sean akan pergi bermain bersama teman-temannya, tapi ternyata situasi sama sekali tidak mendukung.   Anna menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa, hampir saja dirinya telat untuk sarapan bersama orang tua serta Kakaknya.   "Loh, Mommy sama Kakak ke mana Dad?" Tidak melihat kehadiran Sein dan Sean tentu saja membuat Anna bingung.   Anton mendongak, menatap Anna dengan seulas senyuman. "Kakak sama Mommy pergi makan bubur."   "Mommy jadi pergi ke Dokter?" Anna duduk di samping kanan Anton, lalu menenggak segelas coklat hangat  miliknya.   "Jadi Kak, habis makan bubur langsung pergi ke Dokter buat cek."   "Daddy enggak ikut pergi sama Mommy ke Dokter kandungan?" Melihat Anton masih duduk di kursinya tentu saja membuat Anna bingung.   Sebenarnya Anna juga ingin ikut untuk melihat bagaimana perkembangan adiknya. Tapi Anton dan Sean melarangnya untuk ikut, dengan alasan kalau Anna sudah terlalu sering membolos dari sekolah.   Anna akhirnya hanya bisa pasrah, memilih untuk tidak mencoba membujuk lagi agar Daddy dan sang Kakak mau memberinya ijin untuk menemani Sein pergi ke dokter kandungan.   "Hari ini Daddy ada meeting penting, jadi Daddy enggak akan bisa ikut."   Anna menangkap kesedihan dalam nada bicara Anton. Anna beranjak mendekati Anton, memeluk Anton dari samping. "Daddy jangan sedih. Mommy pasti baik-baik aja kok." Anna tahu bagaimana kesibukan Anton di kantor dan Anna mencoba memahami hal itu.   Anton mengganguk, lalu mengecup pelipis Anna. "Ya sudah, ayo kita sarapan, nanti Daddy telat."   Anton dan Anna kembali menikmati sarapan mereka, di selingi dengan celotehan dan candaan yang Anna keluarkan untuk sekedar menghibur suasana hati Anton dan itu berhasil.   Beberapa hari kemudian.   Sejak kejadian hari itu, Sein tidak lagi tidur bersama Anton di kamarnya, dan lebih memilih untuk tidur di kamar Sean atau Anna, atau bahkan meminta Sean dan Anna untuk menemaninya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD