2

1760 Words
Levo tersenyum mendengar tebakan Dexa yang benar seratus persen. Sepertinya sangat mudah ditebak jika seseorang mengetahui kemampuan mereka. Seperti lelaki yang sekarang masih terdiam memaku di tempat karena mengetahui jika kelima orang di depannya adalah pembunuh berdarah dingin.  Buronan polisi yang ditakuti masyarakat kini tersenyum kepadanya. Kecuali satu orang, Nezi—karena memang dia tak memiliki wajah ramah selain kepada Mea. Dexa meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia mendadak hilang akal dan tak tahu bagaimana nasib hidupnya setelah bertemu dengan Blackhole. "Jadi, bagaimana? Apa kau tertarik bergabung dengan kami?" tawar Levo sekali lagi. "Tenang saja. Kami akan membayarmu dengan wajar. Karena di sini, kami juga bisa dianggap bekerja." "Bekerja? Pekerjaan macam apa yang kalian lakukan? Bukankah kalian hanya membunuh? Jadi, kalian mendapatkan uang untuk membayarku dari rampasan harta korban yang kalian bunuh? Eum?" Dexa tak tanggung-tanggung mengeluarkan semua uneg-unegnya. Sebenarnya ia terkejut karena Levo mengatakan jika dirinya akan dibayar jika mau bergabung di organisasi itu. Jelas saja ia berpikir jika uang bayarannya berasal dari harta benda korban yang dibunuh oleh mereka. "Jaga ucapanmu, Anak Muda. Kami tidak sekeji yang kau pikirkan." Mea membantah dengan mulut pedasnya. "Ya, meskipun kami membunuh. Tapi ... kami membunuh ketidakadilan." "Cih!" decih Dexa. "Membunuh ketidakadilan? Membunuh tetaplah membunuh. Kalian merenggut hak seseorang untuk hidup." "Bagaimana dengan nasib mereka yang menderita karena hak mereka direnggut dengan mengatasnamakan keadilan hukum?" sahut Nezi dengan aura dinginnya. "Apa kau pernah berpikir, bahwa kau miskin di negaramu sendiri? Bukankah seharusnya pajak yang kita bayar adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat? Eum?" "Kami berasumsi bahwa tindakan kami memang benar. Mereka—para masyarakat golongan bawah—tidak akan merasa rugi jika kami membunuh para tikus berdasi. Justru ... mereka bersyukur karena kami ada." Sena ikut menyambar percakapan yang mulai mendingin itu. "Dexa, jangan terlalu naif. Kau hidup membutuhkan uang, kan? Kau membayar pajak untuk mendapat ketentraman hidup bernegara, kan? Bagaimana jika uang yang kau keluarkan untuk membayar pajak itu lenyap tanpa ada timbal balik kepadamu. Kau seperti seorang majikan yang diperbudak oleh kebodohan. Kau membayar untuk mendapat kenyaman. Tapi yang kau dapatkan justru penderitaan." Kali ini Dexa menunduk. Kelima orangnyang ada di depannya bukan hanya berlabel pembunuh manusia. Tapi juga pembunuh mental seseorang. "Jadi, kau mau bergabung dengan kami, kan? Bersama kami membunuh ketidakadilan," lanjut Sena untuk meyakinkan. Tak lama kemudian, Dexa kembali mengangkat kepalanya. Matanya tertuju pada Levo yang masih mengamatinya sejak tadi dengan posisi yang sama—menopang dagunya dengan kedua tangan.  "Aku tetap menolak." "Oke. Dengan alasan?" tanya Levo. "Karena ... karena aku pemalas. Aku hanya akan merepotkan kalian jika aku bergabung dengan kalian." Alasan yang cukup masuk akal namun sudah pasti akan menuai kontroversi lanjutan. "Kau memilih alasan yang cukup ... bodoh." Nezi mencemooh dengan wajah datarnya. Namun, Zack justru tertawa melihat Dexa melotot kesal. "Sebenarnya kau sudah memilih keputusan yang salah, Dex." Dexa menatal Levo heran setelah mendengar ucapan sosok itu. "Apa kau lupa siapa kami?"  Dexa masih tak mengerti dengan maksud ucapan Levo. Namun, dia tetap diam dan mendengarkan hingga usai. "Kami adalah pembunuh." Dexa semakin tak mengerti. Ia tetap diam hingga Levo melanjutkan ucapannya kembali. "Kurasa kau benar-benar bodoh." Kali ini ucapan Nezi berhasil menyulut emosi Dexa. Ia bangkit dari duduk dan langsung meraih kerah hoodie Nezi dan hampir melayakan sebuah tinjuan. Namun, dengan cepat Levo menahannya. Dexa lupa, jika Levo bisa berpindah secepat kilat. "Jangan lakukan kekerasan di sini." Akhirnya cengkeraman itupun terlepas. Dexa kembali duduk dan menulikan pendengarannya dari setiap kalimat yang keluar dari mulut Nezi. "Lev, kau seharusnya membiarkan itu terjadi. Aku ingin melihat bagaimana serunya mereka beradu tinju." Zack merasa kecewa karena gagal melihat hal yang menarik. Levo hanya tersenyum miring. "Bagaimana jika kau berhadapan denganku?"  "Tentu saja aku akan membakarmu terlebih dulu." Levo terkekeh dibuatnya. Lalu, kembali fokus menatap Dexa yang sudah mengatur napas dan emosi. "Oke, Dexa. Seharusnya kau memahami satu hal. Saat kau bertemu dengan seorang pembunuh atau ... psikopat, kau harus banyak-banyak meminta ampunan agar Tuhan menyelamatkan hidupmu. Karena apa? Karena mereka—para pembunuh—takkan membiarkanmu pergi dengan nyaman setelah kau ... mengetahui rahasia terbesar mereka." Penjelasan Levo yang terlalu panjang akhienya membuat Deca terdiam untuk sejenak. Meresapi kalimat demi kalimat yang terasa janggal dan mengerikan. Membuat bulu kuduknya berdiri dengan serentak. Apalagi saat ia mulai memahami penjelasan itu. Kedua manik matanya langsung mengabsen satu persatu anggota Blackhole yang setia menatap dirinya. "Apa maksudmu—" "Jika kau menerima tawaran ini, sudah dipastikan jika kau akan hidup aman. Tapi ... jika penolakan yang kami terima, sudah pasti kami tak akan membiarkanmu pergi begitu saja." "Singkatnya, kami akan membunuhmu." Lagi-lagi Nezi mengatakan hal yang membuat Dexa semakin lemas tak berdaya. Ia tak tahu apa yang sudah ia lakukan hingga pada akhirnya ia berada di titik ini. Diculik oleh organisasi gelap yang ditakuti masyarakat dan diancam untuk bergabung dengan mereka. Sepertinya seorang Dexa Azitro sedang apes dan kurang beruntung. "Jadi, kau masih mau hidup atau tidak?" Levo pun melempar pertanyaan terakhir. "Apa aku boleh memikirkan ini terlebih dulu? Aku harus bersiap diri agar aku tak menjadi beban untuk kalian jika aku menerimanya. Dan seandainya aku harus tetap menolak, aku ingin meninggalkan surat wasiat untuk para penagih hutangku." Mereka—kecuali Nezi—tertawa setelah mendengar permintaan terakhie Dexa. Levo pun menyetujuinya dengan syarat. "Baiklah. Kuberi waktu dua puluh empat jam. Tapi kau harus tinggal di apartemenku selama memikirkan jawaban yang akan kau ambil." "Deal." ▪️▪️▪️▪️▪️ Sungguh nyaman. Sangat berbeda dengan kontrakan yang ia tinggali. Apartemen milik Levo membuatnya terus berdecak kagum. Mungkin untuk lertama kalinya Dexa merasakan empuknya sofa, ranjang king size yang super nyaman, dan keadaan rumah yang damai. Berbanding terbalik dengan kontrakan yang ia tinggali. Tidak ada sofa. Hanya ada tikar untuk tamu yang datang. Ranjangnya pun hanya muat ditiduri oleh satu orang. Bahkan kasur yang menjadi alas pun sudah peyot dan wajib dipensiunkan. Sedangkan keadaan kontrakan lebih mirip dengan bangunan tua dengan kecoa dan tikus bebas berkeliaran. "Aku tidur di sini?" tanya Dexa memastikan.  Levo yang masih sibuk berganti pakaian hanya mengangguk sembari meliriknya dengan senyuman tipis. "Aku tau, kehidupanmu sangat mengerikan. Jadi, bersantailah sebelum kami mengembalikanmu pada asalmu." "Jadi, kau berubah pikiran?"  "Berubah pikiran?" "Kau tidak akan membunuhku jika aku menolak tawaranmu." Levo menggeleng. "Tentu saja aku akan membunuhmu." "Tadi kau bilang akan mengembalikanku pada tempat asalku?"  "Asal-muasal manusia itu berada di sisi Tuhan. Jadi, kau pasti paham maksudku." Terkadang Levo dan Nezi memang satu kesatuan. Mereka hampir mirip jika mengatakan sesuatu yang terdengar pedas dan mengerikan. "Ouch, s**t! Sudahlah. Aku ingin tidur di kasur nyaman ini sebelum kalian mengembalikanku ke sisi Tuhan!" ▪️▪️▪️▪️▪️ "Waktumu masih tersisa tiga jam lagi." "Apa?! Kau curang. Kenapa waktu tidur juga kau hitung?" protes Dexa. Dia tak menyangka jika Levo akan menghitung dua puluh empat jam sebagai waktu berpikirnya juga. Pada akhirnya, hanya tersisa waktu tiga jam untuknya memilih keputusan. "Itu salahmu karena kau tertidur." Dengan santai Levo memberikan pembelaan. Dia menyiapkan sehelai roti di piring Dexa setelah mengolesinya dengan cokelat. "Makanlah. Kau butuh tenaga sebelum bertemu dengan Tuhan." "Hentikan lelucon yang sama sekali tidak lucu itu." Levo terkekeh. "Aku tidak bercanda." Dexa hanya menghela napas kasar. Ia melahap sehelai rotinya dan mengedarkan pandangannya ke seluruh isi ruangan apartemen Levo. Sebuah figura dengan tiga orang di dalam foto membuatnya tertarik. Ia menyipitkan matanya untuk memperjelas pengelihatan. Ia melihat ada sebuah keluarga kecil yang tampak bahagia. Sepertinya ada Levo yang masih berumur belasan tahun, ayah, dan ibunya. Mereka tersenyum bahagia. Namun, melihat apartemen milik Levo yang sepi, sudah pasti Levo tak tinggal bersama dengan kedua orang tuanya.  "Itu orang tuamu?" celetuk Dexa penasaran. Mulutnya masih penuh dengan kunyahan roti. "Ya." "Di mana mereka? Apa mereka tinggal terpisah denganmu?" tanya Dexa lagi. Levo menghentikan aktivitas sarapannya. Ia melempar tatapan datar pada Dexa yang masih belum menyadari arti tatapan itu. "Apa aku salah bertanya?" "Mereka sudah tiada." "Uhuk!" Alhasil jawaban itu membuat Dexa harus tersedak roti yang masih ia kunyah. "Ma—maaf, aku tidak tahu." "Tak apa." Suasana hening sejenak. Seperti ada hawa yang berbeda dari Levo saat Dexa menyinggung tentang kedua orang tuanya. Kedua netra hitam legam setajam elang milik Levo tampak sayu meski bibirnya selalu tersenyum.  "Apa mereka yang menjadi alasanmu bertindak seperti ini?" Kali ini pertanyaan Dexa menuai diam dari Levo. Sosok itu bangkit dari meja makan dan menaruh piringnya di wastafel. "Kutunggu keputusanmu dua jam lagi." "Tunggu. Katakan padaku, apa alasanmu menjadi seperti ini? Apa demi kedua orang tuamu?" Dexa terus mendesakkan pertanyaan yang sama. Ia benar-benar sudah dikuasai oleh rasa penasaran.  "Bukan. Ketidakadilan di negeri inilah yang membuatku menjadi seperti sekarang." Setelah menjawab pertanyaan Dexa, Levo pun berpaling dan masuk ke dalam kamar. Dexa memahami satu hal. Arti dari tatapan sendu dan singgungan perasaan setiap Dexa membahas kedua orang tua Levo adalah ... sudah pasti karena Levo teringat dengan kisah kelam kematian kedua orang tuanya. Jika Levo mengatakan alasannya menjadi anggota Blackhole adalah ingin membunuh ketidakadilan. Dexa rasa ada motif lain selain itu.  "Pasti kedua orang tuanya meninggal karena ketidakadilan yang sangat ingin dibunuh olehnya." ▪️▪️▪️▪️▪️ Akhirnya waktunya telah tiba. Levo membawa Dexa ke sebuah tempat yang dinamakan Markas Blackhole. Dexa tak tahu pasti di mana letak markas itu. Karena untuk kedua kali, Dexa ke sana dengan menggunakan kemampuan teleportasi milik Levo.  Di markas sudah ada tiga orang menunggu. Tak lain adalah Mea, Sena, dan Nezi. Saat dirinya dan Levo datang, mereka langsung memberi tatapan yang sulit diartikan. Seolah kedua tangan mereka menunggu untuk menyambut atau mengantar. Ya, mengantar kepergian Dexa. "Jadi, kau sudah memilih keputusanmu?" tanya Sena penasaran. Gadis itu memagang gelas kimia bernama labu ukur dengan cairan di dalamnya. "Apa itu racun?" tanya Dexa dengan sedikit takut saat melihat cairan di dalam labu ukur. "Ah, bukan. Ini hanya cairan yang akan dijadikan gas. Gas Sarin. Gas yang akan membuat paru-parumu tersakiti hingga kau mati." Penjelasan Sena semakin membuat Dexa bergidik ngeri.  "Oke. Kami menunggumu untuk memberi jawaban sekitar sepuluh menit lagi." Levo menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Ta—tapi, bukankah anggota kalian masih kurang satu? Si api itu? Di mana dia?" Dexa berusaha untuk mengalihkan perhatian. Ia masih takut untuk memberi jawaban karena hatinya masih terasa bimbang. "Ah, dia tak perli tau. Karena kami yang akan mengeksekusimu jika kau menolak." Mea pun ikut menimpali. Dexa meneguk ludahnya berat. Seolah kerongkongannya terasa sangat sempit kali ini.  Tak lama kemudian, dirinya mengeluarkan secarik kertas. Menaruhnya di atas meja Levo dan menunduk ketakutan. "Tolong berikan surat itu pada para penagih hutangku." ▪️▪️▪️▪️▪️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD