Bab 2

1485 Words
Bab 2 "Bagaimana kedaannya?" Tanya itu berhasil membuat Gina yang baru saja meletakkan nampan sarapan Keika di dapur sedikit berjengit kaget. Gina menoleh dengan gerakan pelan untuk menemukan seorang laki-laki berpakaian rapi berjalan tepat ke arahnya. Lelaki itu baru saja turun dari lantai dua dengan setelan khas kantornya. Kemejanya licin dan rambutnya disisir teramat rapi ke belakang. Wajahnya tampan sekali. Garis rahangnya tegas, hidung mancung dan alis lebat juga tatapan tajamnya yang begitu menawan. Namun, sekali pun ketampanan itu menguar dari segala penjuru, Gina kepala pelayan yang kini menjadi pelayan pribadi Keika hanya mampu menelan ludab susah payah. Dia menghormati di satu sisi, namun juga ketakutan. Selama Gina bekerja di rumah besar itu, yang Gina tahu tentang Tuannya adalah sosok yang tegas dan sedikit menakutkan. Pribadinya yang sedikit pendiam membuat semua pelayan di rumah itu hanya mengangguk patuh. "Eh, maaf Tuan. Non Kei baik-baik saja, dia sedang istirahat." jawab Gina takut-takut. Jelas sekali siapa lagi yang ditanyakan oleh Tuannya jika bukan Keika. Gina menundukan kepalanya dalam tak ada sedikit pun keberanian untuk mengangkat wajahnya. Laki-laki yang dipanggil Tuan tadi mengangguk pelan. Meski dia sendiri yakin kalau pelayannya tak akan melihat. Dia beralih dari tempatnya lalu menarik kursi meja makan dan menempatkan diri di sana. Karena beberapa urusan yang harus dibereskan di rumah yang selama satu bulan ini telah ia tinggalkan. Dia harus melewatkan jam sarapan. "Dia tidak mencoba bunuh diri lagi bukan?" Gina yang tadi mengekori Tuannya sedikit tercengang. Dia tak menyangka jika Tuan besarnya akan membahas percobaan bunuh diri yang dilakukan Keika. Minggu lalu, Gina menemukan Keika jatuh terduduk di dalam kamar dengan lelehan darah mengalir di pergelangan tangan yang tersayat. Sedikit saja dia terlambat menemukan, maka nyawa semua orang pun akan melayang. Beruntung setelah kejadian itu Gina menjelaskan pada Keika jika gadis itu terluka maka semua orang di rumah ini pun akan terluka. Tuannya yang sudah memberi ancaman seperti itu. Dan tidak perlu diragukan akan terlaksana jika Keika berani menyakiti diri bahkan membuat nyawanya melayang. Keika -si gadis muda menurut. Meski keras kepala, namun ketika Gina mengatakan ancaman itu, Keika tak lagi melakukan tindakan bodoh apa pun. Gadis itu pasti tidak akan tega membuat semua pelayan di rumah akan mendapatkan luka yang sama, yang akan diberikan tuan besar. "Tidak Tuan. Non Kei tidak pernah melukai dirinya lagi." Gina memejamkan matanya kuat. Hal yang tak pernah diinginkannya adalah berhadapan langsung dengan sang pemilik rumah. Laki-laki itu terlampau tegas dan menakutkan. Dan Gina yakin tadi pagi selepas laki-laki itu menginjakkan kakinya di rumah dia langsung memberi u*****n dan luapan emosi pada semua pelayan. Dia sendiri ditahan Keika di kamar, sehingga tak perlu mendapatkan amukan tuannya. Sudah kenyang rasanya dilempari u*****n-u*****n dari Tuannya melalui telepon selama ini. "Tuan, Anda ada jadwal rapat satu jam lagi." ucap seorang pengawal dengan pakaian hitam, yang sedari tadi menenteng tas di tangan kirinya. Berjalan mendekati meja makan dan berdiri beberapa langkah di samping Tuannya. . Terdengar dengusan kasar dari sang Tuan. Lelaki itu meletakkan kembali sandwich yang sudah digigit setengah  ke atas piring. Meneguk air putih dan mengelap sekitaran mulutnya. Lalu tanpa mengatakan apa pun dia beranjak dari duduknya dan keluar rumah. Selalu seperti itu. Rumah baginya hanyalah sebuah bangunan tanpa arti. Dia hanya sebentar menginjakkan kaki didalamnya lalu keluar lagi. Tapi setelah hari ini dia pastikan rumahnya tidak akan tampak sama lagi. Dia akan lebih sering pulang ke rumah. Selepas kepergian Tuannya. Gina menghela napas lega berulang kali. Mengusap pelan dadanya yang sedari tadi berdetak ketakutan. Lega rasanya ketika akhirnya sang Tuan kembali meninggalkan rumah. Berada di sekitar sang Tuan seolah oksigen disekitarnya menipis seketika. Apalagi ketika si Tuan dalam mood yang tidak bagus. Jangan lagi ditanya. Lewat telepon saja, ketika mengomeli dirinya, Gina sudah lemas dan jatuh terduduk dengan napas memberat. Apalagi kalau berada tepat di depannya. Gina menggelengkan kepala. Dia masih sayang nyawa, dan sayang keluarganya. "Kamu kenapa?" Tanya itu membuat Gina menoleh terkejut ke arah suara. Keika terlihat tengah berada di tangga dengan langkah hati-hati menuruninya. "Dia sudah pergi?" tanya Keika lagi sebelum sempat Gina menjawab pertanyaan pertama. Pelan Gina mengerjap. Butuh beberapa waktu sebelum dia mencerna pertanyaan beruntun Keika. "Sudah, baru saja. Anda butuh apa Nona?" Keika telah melewati dirinya, berjalan terus ke arah dapur dan berhenti di depan kulkas. Lagi-lagi dengan mengabaikan ucapan Gina. Gina kembali mendesah. Umurnya mungkin tak akan panjang jika ditempatkan diposisi seperti ini terus-menerus. Terjepit di sepasang manusia dengan tingkat keangkuhan tinggi. "Kamu tidak membawakanku buah tadi. Jadi aku turun ketika melihat mobil hitam di depan rumah tidak ada." jelas Keika dengan sebuah apel merah di tangannya. "Anda cukup memanggilku, Nona." Keika mendengkus. Langkah kakinya terus menjauhi Gina. "Berapa kali kukatakan aku bisa sendiri dan jangan panggil aku dengan sebutan seperti itu." Keika memang selalu merasa risih dengan sebutan nona. Semua yang didapatkannya saat ini bukanlah miliknya. "Tuan besar itu siapa namanya?" Gina membulatkan matanya lebar. Tak percaya dengan yang baru saja didengarnya. Keika tidak tahu nama suaminya sendiri. Oh tidak. Bagaimana mungkin dia bisa menyandang nama belakang suaminya dan mengenal suaminya jika nama saja tak diingat olehnya. "Kenapa kamu diam saja. Dia melupakan kopinya." Keika menghempaskan tubuhnya di sofa ruang santai dengan segelas kopi berada di atas meja depannya. Pelan, maya menepuk dahinya.  Frustrasi dengan segala tingkah dua majikannya. "Gina!" seru Keika ketika mendapati Gina tetap bungkam dan sedikit pun tak beranjak dari tempatnya. "Ehhh ... iya Non," Segera Gina berjalan cepat menghampiri nonanya. Sedikit terengah, dia menarik napas. Mengingat kembali pertanyaan apa yang dilontarkan Keika. "Tuan Alviano Brahma. Nama Tuan besar Non," Gina berucap dengan satu tarikan napas. Menyebutkan nama lengkap tuan besar yang juga pemilik rumah dan suami Keika. "Oh." Keika membulatkan bibir, lalu mengedikkan bahu. Tidak peduli. Gina tertegun. Beberapa kali dia mengerjapkan mata. Jawaban yang Keika berikan juga ekspresinya jauh sekali dari pemikirannya. "Minum gih kopinya, sayang dibuang. Belum tersentuh kan," ujar Keika santai sambil mengedikkan dagu menunjuk cangkir kopi yang teronggok di depannya. Cangkir kopi itu masih bersih tak ada tanda-tanda habis disesap. Kalau sudah disesap minimal akan meninggalkan jejak di bagian dalam cangkir, bukan? Gina mengangguk pelan. Dia berjalan ke arah duduk Keika dan menempatkan tubuhnya di samping sang nona. Ragu Gina meraih cangkir kopi milik tuannya. Seumur-umur dia bekerja di rumah ini baru kali ini dia akan menyentuh dan meminum apa yang menjadi milik tuannya. Pelan, Gina menempelkan cangkir di bibirnya. Rasa kopi yang pahit dan cream meleleh di mulutnya Keika terkekeh melihat tingkah Gina yang seolah sangat menikmati kopi di cangkir itu. Sampai-sampai matanya terpejam. "Omong-omong ke mana bodyguard di depan kamarku." Gina menoleh ke arah Keika yang masih asyik dengan apel di tangannya dan acara televisi di depannya. Dia meletakkan cangkir kopi kembali di atas meja dan melihat ke sekeliling. Benar saja. Tak ada satu pun bodyguard yang biasanya menjaga kamar Keika dan mengikutinya ke mana pun nonanya pergi. Gina mengernyitkan dahinya sejenak. "Mungkin Tuan Alvin yang memindahkannya." gumamnya lirih. "Benarkah?!" Keika berseru senang. Matanya berbinar untuk pertama kalinya selama tinggal di rumah ini. "Eh, nggak tahu juga Non. Tapi jangan macam-macam ya." ingat Gina. Kali ini dia justru memandang khawatir ke nonanya. Saat ada penjagaan ketat saja Keika begitu berani apalagi ini. "Ya ... ya ... tapi nggak janji." Keika menampilkan seringaiannya dan mengibaskan sebelah tangannya yang tak memegang apel lalu beranjak dari duduknya. Wajah Keika hari ini sedikit cerah. Akhirnya setelah satu bulan menunggu. Dia bisa bebas tanpa ada seorangbpun yang mengikuti di belakangnya. Mungkin ada baiknya sang tuan pulang ke rumah. Keika bisa sedikit bebas. Meski bukan kebebasan yang ia idam-idamkan. Setidaknya ia bisa bebas melakukan apa pun sesukanya dibrumah itu. Tidak ada lagi yang akan tanya ini itu dan melarangnya. Keika merentangkan tangannya setiba di gazebo taman depan rumah, menghirup dalam-dalam udara kebebasannya. "Yeah ... aku bebas." gumamnya. Rasanya menyenangkan sekali ketika dia tak perlu diikuti oleh bodyguard di belakang punggungnya yang tak pernah melepas tatapan darinya. Kalau sebuah tatapan itu seperti mata pisau, sudah pasti punggung tercabik-cabik sejak sebulan lalu. Keika mengayun langkahnya mengitari taman, memetik satu bunga krisan warna kuning, lalu bunga-bunga lain yang tampak bermekaran pagi ini. Dia menghirup wangi bunga yanh tak seberapa itu, lalu mengukir senyuman senang. Besok, kalau moodnya sudah semakin baik, dia akan berperan merawat bunga-bunga itu. Sekarang ini, dia lebih suka memperhatikan tukang taman di rumah itu melakukan pekerjaannya. Seperti gadis kebanyakan, Keika pun suka dengan bunga-bunga, di rumahnya dulu, dia bersama sang nenek hobi sekali menanam bunga di depan rumah, yang halamannya tak seberapa. Sampai benar-benar terisi penuh. Mengingat sang nenek, senyum yang sempat terukir di bibir Keika luruh perlahan. Dia menoleh ke arah gerbang dan menemukan dua lelaki berpakaian hitam sedang menjaga di kanan kiri. Kalau dia menerobos orang-orang itu, bisakah? Tapi, kemampuan beladiri Keika hanya seujung kuku, pasti akan sangat mudah bagi dua orang itu mematahkan serangan-serangan amatirnya. Keika mendesah lelah. Dia baru sadar, kebebasannya hanya berputar diizinkan keluar rumah tanpa pengawasan. Bukan keluar gerbang rumah. Yah, sejak awal pun dia seolah burung di dalam sangkar, diberi kebebasan terbang, namun hanya di dalam sangkar saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD