Prologue

2389 Words
Musim panas telah tiba, cuaca cerah dengan langit biru indah seolah menjadi latar sempurna bagi negri raksasa yang indah ini. Tercium jelas aroma khas dari rerumputan hijau yang basah dan lembab karena terguyur hujan semalam. Pagi ini terasa begitu damai dan selayaknya dinikmati.   Begitu pun dengan pemuda tampan dengan manik abu yang kini tengah duduk di bangku taman sembari memejamkan matanya. Berusaha menikmati suasana sempurna ini. Ia dengarkan dengan seksama suara-suara kicauan burung kecil yang hinggap di dahan-dahan pohon ek. Sementara angin menari-nari meniupkan dedaunan pohonnya yang rimbun, menimbulkan gemerisik merdu bagai melodi yang terdengar olehnya.   Aldrich Williams, pemuda berusia 30 tahun seorang pilot dengan jam terbang tinggi di sebuah maskapai penerbangan internasional. Aldirch pria dingin dan irit bicara, namun sangat menjunjung sopan santun dan selalu tenang. Itu kenapa banyak perempuan yang tegila-gila padanya, semarah-marah dan sebenci-bencinya ia pada seorang perempuan ia tidak akan bersikap kasar pada perempuan itu, bahkan pada perempuan yang telah menyakitinya sangat dalam. Pantang baginya bersikap kasar pada kaum yang menurutnya lemah dan sangat ringkih.   Seperti apa yang terjadi pada hubungan percintaannya dan juga ibunya, ia tidak memiliki jejak indah bersama pasangannya dulu, pun dengan ibunya. Sejak kecil Aldrich tidak mengenal apa itu cinta seorang ibu, namun di saat dewasa ia tetap harus berbakti pada ibunya yang sudah ringkih atas dasar balas budi dan kemanusiaan. Sungguh ironi, bukan?   Ia sengaja mengambil cuti penerbangan selama 3 hari untuk menenangkan pikirannya terutama setelah pertengkarannya dengan sang kakak, dan ayahnya. Berada di keluarga yang tak utuh benar-benar menyiksa batinnya. Rasanya hidupnya tidak bisa mulus sebentar saja. Setidaknya yah, untuk 3 hari kedepan di tempat ini. Ia benar-benar butuh liburan, sendirian, dan tenang.   Aldrich masih terlarut dalam belaian senandung alam sampai ia sedikit tersentak saat mendengar suara tawa riang tak jauh dari tempatnya duduk. Perlahan ia lalu membuka matanya berusaha mencari pemilik suara tawa riang itu. Hingga ia mendapati seorang gadis manis bertubuh mungil tengah melompat-lompat sambil berlari kecil mengejar sekumpulan burung-burung yang berterbangan di sekitar gadis itu seolah memang mengajaknya bermain. Gaun merah muda yang gadis itu kenakan ikut menari-nari tertiup angin sepoi-sepoi musim panas. Aldrich tertegun, entah mengapa baru kali ini ia merasa tidak muak melihat perempuan. Ia justru merasa sesuatu yang hangat di hatinya. Tak lepas-lepas Aldrich memandangi gadis itu dengan manik kelabu-nya yang berkilat tertimpa sinar matahari.   "Hahaha! Kena kau! Kena kau!" gadis itu melompat riang seraya mengibas-ngibaskan tangannya ke udara bermaksud menggapai burung-burung itu.   Sebuah senyuman tipis pun tanpa sadar ia ukir di wajah dinginnya. Tak lepas-lepas Aldrich memandangi gadis manis itu, dan seolah alam ikut andil membuat gejolak dalam hatinya angin sepoi-sepoi kembali berhembus. Kali ini agak kencang hingga membuat rambut coklat keemasan gadis itu menari-nari ditiup angin.   "Apa yang kau lakukan, bodoh. Kau masih normal untuk tidak tertarik pada anak kecil, kan?" Aldrich bergumam pada dirinya sendiri, mencoba menyadarkan pikirannya yang mulai terbawa.   Namun sepertinya itu tidak berhasil membuat Aldrich behenti memperhatikan gadis itu. Hingga kemudian sebuah kejadian tak terduga membuat Aldrich sedikit tersentak. Gadis itu tersandung sebuah batu berukuran sedang membuat tumbuh mungilnya terhempas ke tanah dengan posisi tengkurap. Hening, hingga tak lama terdengar isakan dari gadis itu membuat Aldrich bangun dari kursinya.   "Astaga ..."   Aldrich menghela nafasnya pelan, namun tak lama ia mendengus kecil sembari melangkah mendekati gadis itu. Tentu ia harus membantunya, kan? ini bukan seperti ia bermaksud mengenal gadis itu atau apapun itu. Setidaknya itu lah alibi yang ada di pikiran Aldrich.  Aldrich lalu menghentikan langkahnya tepat di hadapan gadis itu, membuat sang gadis mendongak menatap pemilik sepasang kaki panjang yang berada di depan wajahnya.   "Kau ... baik-baik saja?" Aldrich mengulurkan tangannya bermaksud membantu si gadis untuk bangun.   Gadis itu tak bergeming ia hanya menatap ragu tangan Aldrich yang terbebas menggantung di depan matanya.   "Aku bukan orang jahat, aku hanya ingin membantu mu. Ayo, kau tidak mau gaun cantik mu kotor, kan?"   "U-um ..."   Perlahan gadis itu menggapai tangan Aldrich dan lalu menggenggamnya dengan gugup. Tentu saja, siapapun akan canggung saat dihadapkan dengan orang asing yang ingin membantu mu bukan? Terlihat perbedaan ukuran yang cukup mencolok antara tangan mungil gadis itu dengan tangan besar dan kokoh milik Aldrich.   Setelah dirasa gadis itu nyaman, Aldrich menggenggam erat tangan gadis itu lalu membantu nya berdiri. Ia lingkarkan tangan satunya pada tubuh ramping si gadis. Membuat gadis itu agak tersentak dan membuat wajahnya memerah.   "Maaf, jika itu membuatmu tidak nyaman." ucap Aldrich dengan suara datar dan beratnya.   "Ti-tidak apa-apa, aku ... terimakasih!" balas sang gadis dengan senyuman tipis di wajah imutnya.   "Sama-sama, apa kau terluka?"   Aldrich lalu menatap seksama sekujur tubuh gadis itu untuk memeriksa keadaan gadis tersebut tentunya. Namun, bukan pria kalau diam-diam memperhatikan lekat tubuh lawan jenis yang tengah melakukan kontak dengan mereka, setidaknya bukan dalam artian yang kotor. Nampak jelas perbedaan tinggi mereka, gadis itu hanya setinggi leher Aldrich dengan tubuh ramping dan mungil. Hingga Aldrich menyadari luka lecet pada lutut kiri gadis tersebut. Luka tersebut memang tidak begitu serius namun darah yang mengalir harus segera dibersihkan.   "Lututmu terluka, bagaimana kalau kau ikut ke mobilku sebentar biar aku membantumu membersihkan luka tersebut lalu mengantarmu pulang."   Gadis itu terlihat kaget dengan perkataan Aldrich. Diajak ke mobil oleh orang asing cukup mengerikan bagi seorang gadis lugu sepertinya. Ia pun hanya terdiam dengan wajah pucat dan bingung, ia merasakan sakit yang lumayan dari kaki kirinya ia pastikan ia akan sulit berjalan pulang ke rumahnya. Namun apa ia harus mempercayai pria asing yang baru saja membantunya?   Seolah mengerti dengan apa yang gadis itu pikirkan Aldrich tersenyum tipis, "Sepertinya kau ragu? Begini saja, perkenalkan aku Aldrich Williams, aku pria baik yang hanya ingin membantumu, senang bertemu denganmu ...?" Aldrich menggantungkan kalimatnya bermaksud menunggu jawaban dari gadis itu.   "A-aku Lulu! Luvia Summers!" gadis itu menyahuti Aldrich dengan nada yang riang, tidak seperti sebelumnya.   "Baiklah ... Lulu, apa kau mau ikut ke mobilku dan membiarkan aku membantumu?"   "Umm ... kau tidak akan menculik ku, kan?"   "Apa aku terlihat seperti akan menjahatimu?"   Luvia menggeleng pelan dan disambut senyuman lembut dari Aldrich. Ia lalu merendahkan tubuhnya mencoba mensejajarkan pandangannya dengan Luvia.   "Kalau begitu, aku boleh membantumu kan? Aku bukan orang asing lagi bukan? Kau sudah tahu namaku."   Sesaat terdiam Luvia kemudian tersenyum lebar, "Iya! Aldrich, namamu Aldrich! Aku ... akan percaya padamu!"   Hal itu membuat Aldrich lega, setidaknya ia tidak perlu merasa tidak nyaman karena gadis ini berpikir buruk tentangnya. Yang entah sejak kapan Aldrich memedulikan pendapat orang lain tentangnya.   "Apa kau bisa berjalan?"   "Kurasa bisa ..."   "Baiklah, ayo ..." Aldrich lalu menggandeng gadis itu dengan perlahan dan memopohnya menuju mobil nya yang terpakir tak jauh dari tempat mereka berdiri.   "Ugh ..." Luvia meringis setelah melangkah beberapa centi.   "Jangan memaksakan dirimu, pegangan erat pada bahuku."   Dengan sejurus kemudian Aldrich menggendong tubuh gadis mungil itu ala bridal style. Ia memegangi erat-erat tubuh Luvia sementara Luvia memeluk erat tubuh Aldrich yang terasa kokoh. Dalam hening jantung Luvia berpacu cepat dan ia dapat merasakan wajahnya memanas, pasti saat ini wajahnya seperti kepiting rebus. Luvia hanya bisa menggigit bibir mungil nya yang kemerahan berusaha menahan rasa gugup yang menggelitik perutnya.   "Baiklah, kau tunggu sebentar." Aldrich lalu menurunkan tubuh Luvia setelah sampai di depan mobil Ferrari silver miliknya.   Luvia mengangguk pelan, ia lalu mendudukkan dirinya di pundukkan batu yang berada di belakangnya. Dari belakang Luvia menatap tubuh Aldrich yang nampak atletis terbalut kaus putih polos dan celana jeans yang nampak sangat cocok di pria itu. Bahu Aldrich yang terlihat jelas lebar membuat Luvia teringat saat Aldrich menggendongnya ala tuan putri tadi. Ia merasakan jelas betapa kokohnya bahu lebar pria itu.   Sementara Luvia sibuk memandanginya Aldrich meraih kotak P3K miliknya yang berada di jok belakang mobilnya. Ia lantas berbalik dan menghampiri Luvia yang terkejut saat Aldrich berbalik secara tiba-tiba, Wajahnya terasa kembali memanas. Sementara Aldrich nampaknya tak menyadari hal itu, ia santai berjalan ke arah Luvia lalu berlutut di hadapan gadis itu.   "Luka mu tidak begitu serius, kau hanya perlu sedikit alkohol dan plester untuk menutupi luka mu." ujar Aldrich sambil meraih kaki kiri Luvia, ia lalu mengambil botol alkohol dan kapas putih dari dalam kotak tersebut dan mulai membersihkan luka di lutut kiri Luvia.   "Ugh ... mmmm ... p-perih ..." lenguh Luvia seraya meremas ujung dress merah mudanya.   Aldrich yang menangkap ekspresi Luvia itu merasakan sesuatu berdesir di darahnya. Lenguhan manis Luvia berhasil mengalihkan pikirannya sesaat, namun cepat-cepat Aldrich menyadarkan dirinya kembali.   "Sial, aku benar-benar sudah tidak normal." gerutu Aldrich dalam hatinya.   "Agak perih, tapi ini akan membuat mu lebih baik nantinya. Tahan, ya?" Aldrich melemparkan tatapan teduh pada Luvia yang lagi-lagi berhasil membuat Luvia tersipu.   "I-iya ..."   "Baiklah, selesai dan sekarang plester nya."   "Apa kau dokter?"   "Hm? Bukan, apa aku harus jadi dokter dulu untuk mengobati luka kecil begini?"   Luvia menggigit bibir nya pelan saat merasa ia salah bicara. Ia takut Aldrich tersinggung dengan pertanyaannya, Aldrich sudah sangat baik mau menolongnya seperti ini. Ia seharusnya tidak menanyakan hal itu pada orang asing yang menolongnya.   Namun sepertinya Aldrich menangkap hal yang berbeda dengan apa yang Luvia lakukan. Ia menatap bibir ranum gadis itu yang digigit seperti itu. Membuat pria itu mulai merasa gelisah, ia entah mengapa sulit mengontrol pikirannya terhadap gadis ini.   "Aku tidak tersinggung, kau tidak perlu merasa sungkan. Aku hanya bercanda tadi."   "Tapi itu tidak terdengar seperti candaan!"   "Haha, lalu?"   "U-um ... etahlah, itu terdengar sinis ..."   "Nada bicara ku memang begini."   "Lalu kalau bukan dokter kau apa?"   Luvia memiringkan kepalanya membuat helaian rambut nya yang ia selipkan ke belakang telinganya terayun lepas. Ekspresi yang sangat menggemaskan, sungguh Aldrich sangat ingin mencubit kedua pipi gadis itu karena gemas.   "Pilot."   "Apa?"   "Pilot, aku seorang pilot. "   "W-whaaa!" Luvia terdengar kagum, kedua bola mata besar nan indahnya berbinar.   "Kau percaya?" Aldrich menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Luvia yang lugu.   "Tentu saja! Huh? Apa kau berbohong?"   Pria itu terkekeh pelan, "Tidak, aku benar-benar seorang pilot. Yah, aku pikir kau tidak mempercayaiku mengingat kau sangat ragu padaku saat tadi."   "Ehe ... aku hanya takut kalau kau orang jahat yang selalu mama-ku ceritakan. Ia selalu menyuruhku untuk waspada, meskipun aku sudah besar ...." dengus Luvia.   "Kau sudah besar? Kau masih anak-anak bagiku, dan ibumu juga berpikir hal yang sama."   "Tapi aku dua 20! Aku sudah dewasa!" Luvia menggembung kan pipinya sebal, membuatnya terlihat semakin imut.   "20? Kau tidak berbohong kan?" Aldrich menyeringai jahil.   "Kau yang sekarang terlihat tidak percaya padaku! Huh!" Luvia membuang muka, sambil terus memasang wajah cemberut.   "Tunggu, kau benar-benar 20 tahun?"   "Iya!"   Aldrich terdiam sesaat, itu kenapa ia merasakan ketertarikan yang berbeda dari gadis ini. Itu artinya Aldrich masih normal, ia salah mengira bahwa Luvia masih kanak-kanak. Ya tentu, dengan perawakan seperti itu orang-orang akan selalu mengiramu masih anak-anak. Ditambah tingkah laku yang polos dan ceria, benar-benar menggemaskan.   "Kalau begitu maaf, aku sempat mengira kau adalah anak-anak yang tengah bermain dan tersesat, haha." ujar Aldrich seraya tertawa renyah.   "Kau menyebalkan!"   Luvia semakin memajukan bibir mungilnya. Ia kesal karena tidak dianggap wanita dewasa oleh pria ini. Aldrich yang melihat ekspresi kesal Luvia yang menggemaskan lalu mengacak rambut gadis itu pelan.   "Baiklah maaf, aku sudah selesai membalut lukamu. Ayo aku antar kau pulang."   Pria itu lalu bangkit dan mengulurkan tangannya pada gadis itu. Sementara Luvia masih mematung di tempatnya dengan wajah cemberut.   "Kau marah padaku?"   Luvia tak bergeming, ia manatap lurus ke arah kanannya hingga menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah stand kecil penjual permen dan manisan berada beberapa meter dari nya. Dia sangat suka permen lolipop, rasanya ingin segera berlari kesana kalau saja ia tidak ingat bahwa kakinya sedang sakit dan ia tidak membawa uang sepeser pun.   Aldrich yang merasa diabaikan merunduk dan mendekatkan wajahnya pada Luvia, "Aku bilang, apa kau marah padaku nona kecil?" bisik Aldrich dengan suara berat nya yang sexy dan berhasil membuat Luvia tersentak.   Gadis itu menoleh dan mendapati wajah mereka hanya berjarak beberapa centi, membuat Luvia kembali diserang rasa gugup.   "U-uh!! Iya aku marah padamu!"   "Hm? Bahkan setelah aku menolong dan meminta maaf padamu?"   "Itu tidak aku hitung, wle!" Luvia menjulurkan lidahnya pada Aldrich.   "Baiklah-baiklah, sepertinya kau mulai bertingkat bratty, huh? Kau mau aku melakukan apa nona kecil?" Aldrich menarik kembali tubuhnya tegap lalu melipat kedua tangannya di depan d**a bidangnya, ia menatap gadis mungil itu intens.    Luvia yang merasa terintimidasi dan juga merasa semakin gugup menelan ludahnya, "A-aku mau itu!" ujar Luvia seraya menunjuk stand permen yang tadi dilihatnya.    "Hm? Permen?" Aldrich melemparkan tatapannya mengikuti telunjuk Luvia. "Ya! Lolipop! "    "Kau suka lolipop? Kupikir kau wanita dewasa berusia 20 tahun, setidaknya itu yang tadi kau katakan." sindir Aldrich di iringi seringai memikat nya.   "Hmmh, apa orang dewasa tidak boleh makan permen? Lagi pula aku sudah sangat menyukai lolipop sejak aku kecil tahu!" sanggah Luvia yang wajahnya kembali memerah karena digoda Aldrich.   "Baiklah, aku akan membelikannya untukmu setelah itu aku antar kau pulang, mengerti?"    "Aye aye, captain!" seru Luvia sambil mengayunkan tangan kanannya dan melakukan hormat pada Aldrich.   Aldrich hanya tersenyum tipis, dan berlalu menuju stand permen tersebut. Tak lama Aldrich kembali dengan sebuah permen lolipop besar. Ia kembali menghampiri Luvia yang wajahnya sudah sangat berbinar-binar. Gadis itu lalu mengulurkan tangannya meminta Lolipop tersebut dari Aldrich. Namun Aldrich menarik kembali tangannya yang sudah hendak memberikan lolipop itu pada Luvia.   "Aku tidak mendengar sesuatu darimu?"   "Terimakasih!" Luvia tersenyum manis.   Aldrich pun memberikan permen lolipop itu pada Luvia. Dan diterima dengan riang oleh gadis itu. Senyuman lebar yang terpatri di wajah Luvia membuat Aldrich merasa ketenangan. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis ini, sesuatu yang membangkit kan sisi tersembunyi dari dirinya. Sisi yang hanya ia keluarkan disaat hal 'itu' terjadi. Sisi yang juga sudah ia kubur selama setahun lebih. Aldrich menyadari hal itu dan itu justru membuatnya semakin tertarik dengan gadisbdi hadapannya. Cara Luvia menuruti titahnya, cara Luvia merajuk, dan cara gadis itu menatapnya, tatapan yang pernah ditunjukkan seseorang padanya setahun lalu. Ia merasakan menemukan kembali part yang menghilang, yang tidak sembarang orang bisa melengkapinya. Part seorang Dominant. Aldrich akhirnya menemukannya, submissive nya.   "Luvia ..." panggil Aldrich dengan suara lembut.   "Ya?" Luvia menyahut sambil mulai mengulum permen lolipop yang ukurannya hampir sebesar wajah nya.   "Mulai hari ini kau akan terikat denganku."   "Apa itu sebuah ramalan? Atau perintah? Atau ajakan?" Luvia menatap Aldrich polos.   "Mungkin saja ketiganya." tangan besar Aldrich lalu mengusap pucuk kepala Luvia membelai nya dengan lembut.   Mereka pun saling beradu tatap, hazel indah itu bertemu degan mata kelabu yang tajam. Yang seolah memancarkan kilat yang belum pernah gadis itu lihat dari orang lain. Aldrich yang lembut dan tenang seolah menyimpan sesuatu yang membuat Luvia penasaran, yang membuatnya ingin mengetahui apa hal tersembunyi itu.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD