Pertemuan Singkat.

1391 Words
Pagi hari, di koridor sekolah. "Hei! Kalau jalan lihat-lihat dong! Punya mata enggak, sih?!" pekik seseorang setelah dirinya bertabrakan denganku. Kami sama-sama terjatuh dan mendadak saling bertemu mata. Ketika sadar, aku langsung bergegas meminta maaf padanya. "Maaf Pak, saya tidak sengaja. Sekali lagi maafkan saya," ujarku sopan. Saking sopannya aku ulurkan tanganku untuk membantunya berdiri. Bukannya berterima kasih, ia malah menepis tanganku yang terulur dan lelaki itu malah menatapku dengan tatapan mata yang tajam. "Enggak perlu! Saya bisa sendiri." Ia pun berlalu meninggalkan aku tanpa basa-basi. Aku terpaku melihat sikapnya yang dingin seperti itu. Sungguh baru kali ini aku bertemu dengan karakter yang sangat gila. Ya, meskipun tampangnya itu mirip aktor Korea ternama, tetapi ... sudahlah mungkin sudah menjadi karakternya sejak kecil. *** Pria yang tadi bertabrakan denganku, ia adalah guru bahasa Indonesia. Sikapnya cuek dan juga ketus. Tak pernah berbicara dengan siapa pun yang ada di sekitarnya. Bahkan saat diajak mengobrol pun ia sering kali tidak pernah mau menatap pada lawan bicara. Namanya Elang Dwi Saputra. Pria tampan tetapi sangat tertutup. Dia mampu menggaet semua wanita baik itu siswi di sekolah maupun guru wanita. Namun sayangnya, tak ada satu pun dari mereka yang berhasil menaklukkan hatinya. Entahlah terbuat dari apa makhluk Tuhan yang satu itu. Aku pun sampai bergidik bila bertatapan langsung dengan Pak Elang. Hari ini guru bahasa sastra tidak hadir di sekolah. Semua murid bersorak riang ketika guru yang ditunggu tak kunjung datang lalu mendapatkan laporan bahwa guru bahasa sastra izin mengajar di kelasku. Sontak saja semuanya berubah seperti tempat di kebun binatang. Tiga puluh menit berlalu. Siswa di kelasku masih saja membuat keributan. Ada yang memukul meja, ada yang bermain petik gitar, dan ada juga yang berteriak kencang mirip binatang hutan yang senangnya bergelantungan. Pagi itu kebetulan Pak Elang selesai mengajar di kelas 3 IPA 2 yang jarak kelasnya hanya lima langkah dari kelasku. Dia menghentikan langkahnya tepat di depan kelasku. Seisi kelas yang tadinya berisik, mendadak hening. Teman-temanku tahu jika yang di hadapan mereka ini adalah guru yang tidak suka akan kebisingan. Pria berambut cepak itu masuk dan melangkah ke arah meja guru, meletakkan buku panduan yang ada di tangannya dan memandang satu per satu siswa di kelasku. Kelas mendadak hening, dan hanya terdengar suara embusan napas dari tiga puluh orang anak didik di kelas 3 bahasa. "Pelajaran apa sekarang, Anak-anak?" Pak Elang bertanya tanpa ada senyuman ramah di wajahnya. Hening. Sekali lagi teman-temanku tidak ada yang berani menjawabnya. Kulihat dia mengembuskan napasnya dengan kasar. Mungkin di dalam hatinya kesal karena kami tidak menjawab pertanyaannya. "Kenapa semuanya diam? Saya tanya sekali lagi, pelajaran apa sekarang?" tanyanya lagi dengan raut wajah kesal. Lagi-lagi tak ada yang menjawabnya. "Kalau tidak ada yang mau jawab, semuanya saya hukum berlari di lapangan basket sampai sepuluh kali putaran!" katanya dengan nada ancaman. Seluruh murid kelas 3 bahasa saling berpandangan satu sama lain. Bukan, bukan mereka tak mau menjawab pertanyaannya. Teman-teman hanya tidak ingin pelajaran Bahasa Sastra yang seharusnya diajarkan oleh Ibu Desy, hari ini Pak Elang yang akan mengajarkan pada kami. Tentulah sangat-sangat membosankan. Ya, walaupun tampangnya tidak pernah bosan untuk dilihat, tetapi tetap saja belajar dengan guru pendiam seperti Pak Elang, pasti membuat kami bosan. "Baiklah kalau begitu, kalian semua ikut saya ke lapangan! Saya akan mengajarkan pelajaran Olahraga hari ini." Begitulah ultimatum darinya. Inilah yang tidak aku suka dari pak Elang. Semena-mena. "Hari ini pelajaran bahasa sastra, Pak," celetukku tiba-tiba. Pak Elang menoleh ke arahku. Kulihat ada segaris senyum manis di wajahnya. "Kenapa tidak dari tadi saja menjawabnya?" tanyanya dengan melipat kedua tangan di atas dadanya. "Saya menunggu jawaban teman-teman, Pak. Saya kira teman-teman sudi menjawab. Tak tahunya malah diam semua," ujarku dengan gaya bicara yang nyeleneh. "Lalu, kenapa kamu jawab kalau mereka saja tidak mau menjawab?" Pak Elang bertanya. Dia lalu berjalan mendekatiku. Kemudian berdiri tepat sejajar dengan mejaku. "Nama kamu Nayanika, kan?" Sekali lagi dia bertanya. Aku mengangguk cepat. "Ikut saya!" perintahnya. Kali ini tamatlah sudah. Pasti aku dapat hukuman dari guru yang luar biasa menyebalkan. "Cepat berdiri!" Pak Elang menggebrak mejaku dan membuat semua murid tersentak. "Kamu yang akan menggantikan teman-temanmu berlari di lapangan basket. Yang lainnya buka buku LKS bahasa sastra. Kerjakan soal halaman empat puluh. Setelah itu, kalian kumpulkan di meja Bu Desy. Paham!" "Paham, Pak." Akhirnya mereka berbicara juga setelah melihatku dihukum oleh Pak Elang yang sangat menyebalkan. Aku yang dihukum olehnya sebagai pengganti teman-temanku yang berisik saat dia sedang mengajar di kelas 3 IPA 2. Suara teriakan indah dari anak laki-laki di kelas 3 bahasa Terdengar mengalun merdu hingga ke kelas tetangga. Pintar sekali Pak Elang memberikan hukuman dengan alasan seperti itu. Sialnya aku yang terkena akibat dari kegaduhan itu. "Kamu sanggup berlari berapa putaran?" tanya Pak Elang yang masih berdiri di hadapanku. "Berapa pun Bapak kasih, saya lakukan," balasku menantang. Aku hanya ingin tahu saja, apakah dia berani menerima tantanganku. I don't not! Lagi-lagi, dia mengulum senyumnya. Senyum mengejek karena berani menantang dirinya. "Tiga puluh kali putaran. Kamu sanggup?" cebiknya. Aku tersentak. Mau menolak, tetapi sudah terlanjur menantangnya. Terus kalau aku tolak, pasti Pak Elang bakalan menyindir. Jadi serba salah. "Tidak sanggup?" Dia malah balik bertanya. "Sanggup Pak. Hukuman seperti itu, sih, kecil banget, Pak. Saya dulu pernah dihukum push up seratus kali sama Kak Juna di grup pencinta alam," tukasku dengan nada sombong. "Hem, berarti kalau begitu ... silakan lari putari lapangan sebanyak tiga puluh. Lanjut lagi push up sebanyak seratus kali. Dimulai dari sekarang!" Aduh! Mampus! Kenapa bisa aku berkata seperti itu sama Pak guru sengklek macam Pak Elang? Bisa-bisa nyawaku habis kalau tenagaku dikuras. Bayangkan saja, lari memutari lapangan sebanyak itu, belum lagi ditambah push up. Sungguh amat menyebalkan. Lihat saja Pak, aku akan balas perbuatanmu padaku nanti. Berlari di tengah teriknya panas matahari membuatku semangat. Aku sudah terbiasa berlari mengitari lapangan basket saat pelajaran olahraga tiba. Alasannya simpel banget, aku ketua tim-nya, jadi kalau tim kalah pastinya ketua tim yang dapat hukuman. Pak Elang masih terus menatapku tanpa berkedip. Sementara itu dari berbagai arah, sudah banyak siswa berkumpul di dekat lapangan. Mungkin mereka takjub melihatku berlari sebanyak itu. "Apa kamu masih kuat, Nayanika?" Pak Guru bermata tajam itu mendekat saat aku sedang melanjutkan hukuman selanjutnya ... push-up. "Kuat dong, Pak. Apalagi kalau Bapak minta aku untuk mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera. Atau Bapak meminta Naya berpetualang ke benua Eropa bersama bapak tentunya ... masih kuat kok, Pak," jawabku lantang sambil sesekali menggoda Pak Elang. Kulirik dia yang sedang memutar bola matanya. Begitulah dia jika ada yang berusaha untuk merayunya dengan kalimat yang aku katakan tadi padanya. Dia seakan tidak mempan untuk dirayu. "Mau saya tambahin lagi hukumannya?" tanyanya lagi mempertegas. "Oh, mau dong, Pak. Dengan senang hati apalagi kalau diberi bunga sama Bapak. Bunga Mawar atau bunga Bank." Aku terkekeh telah berhasil menggodanya lagi. Pak Elang menarik tanganku sesaat setelah aku ingin melakukan gerakan push-up. Lalu dia menyentil keningku dengan satu kali hentakkan jemari tangannya. Pletak! Aku meringis menahan sakit sambil mengusap keningku yang berdenyut meminta dielus. "Lain kali kalau bicara sama guru itu disaring dulu, Nayanika!" "Ya, kali aku disamakan sama kelapa parut yang harus disaring dulu," celetukku dan itu nyaris membuat Pak Elang ingin sekali lagi menjitak keningku. Secepat kilat aku menghindar. Kudengar dia mendengkus. Mungkin kesal karena daritadi aku merayunya terus-menerus. Biar saja, biar dia terbiasa mendengar rayuan maut dariku. Sebenarnya dia ingin membalasku, namun saat dia hendak mendekatiku, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada panggilan masuk di benda pipih berwarna silver itu. Pak Elang segera menerima panggilan masuk di ponselnya. Lalu berbicara menjauh dariku hingga aku tidak dapat mendengar percakapannya. Lima belas menit kemudian. "Hukuman kamu saya beri keringanan. Silakan kamu masuk ke kelas dan langsung kerjakan soal latihan di LKS!" Akhirnya guru menyebalkan itu membebaskan aku dari hukuman yang dia buat sendiri. Sebagai murid yang baik, aku langsung mengucapkan terima kasih padanya. "Terima kasih Pak, karena bapak sudah mau meluangkan sedikit waktu sama Naya. Ya, anggap saja ini bukan hukuman tetapi ... aku anggap ini adalah kencan buta dari bapak." Astaghfirullah! Ini mulut kenapa bisa lancar begini kalau merayu? Aduh! Bisa kena hukum lagi kalau begini. Kulihat dia mengangkat tangannya serasa ingin meremas leherku mungkin saking kesalnya. Sebelum Pak Elang memberikan hukuman lagi, aku langsung bergegas pergi dengan berlari secepat kilat dari hadapannya. "Naya, tunggu! Saya belum selesai menghukum kamu!" Pak Elang berteriak kencang padaku saat berlari. "Nanti kita sambung lagi, Pak!" sahutku sambil melambaikan tangan padanya. Uh, menyebalkan! []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD