BUKTI CINTA

2172 Words
Cemara memalingkan muka. Persetan dengan Jati yang menorehkan luka dalam bahtera rumah tangga mereka. Cemara tidak peduli, sekalipun pria itu lenyap. Itu lebih baik. Tidak ada kata maaf untuk seorang pendusta sekalipun Cemara mencintai pria itu. "Ara …." Jati masih berharap, istrinya menghentikannya. Menahan dan membuka lebar hatinya. Kembali pada dua hari yang lalu saat semua baik-baik saja. Harmonis dan mesra. "Aku tunggu bukti cintamu, Jati." Cemara beranjak dari sofa berniat naik ke kamarnya, melewati Jati tanpa melihat sedikitpun Jati. Langkahnya tertahan oleh Jati. Sebuah lengan melingkari perutnya. Pelukan itu rasanya berbeda. Tidak lagi senyaman dua hari yang lalu. "Aku minta maaf, aku akan jelaskan semua Ara. Semuanya tanpa bohong." "Tidak. Aku tidak butuh penjelasan. Aku menginginkan bukti cintamu. Hanya itu. Cukup." Cemara melepas jalinan Jati di perutnya. Berjalan dengan langkah yakin tanpa menoleh, saat di anak tangga pertama ia berhenti. "Jati." Sejak menikah Cemara tidak pernah memanggil nama itu. Dia selalu menaruh hormat pada lelakinya ini. Panggilan Mas begitu lembut keluar dari mulutnya dan ketika bermanja panggilan itu akan berganti menjadi sayang. "Tinggalkan mobilku juga isi dompetmu. Aku tidak ingin terbebani saat kau mati." Kalimat itu terucap begitu ringan. Seolah nyawa Jati tidak berarti apa-apa. Cemara melanjutkan langkah, menaiki satu persatu anak tangga dengan langkah tenang menuju kamarnya. Jati menelan kuat saliva rasanya pahit sepahit empedu. Istrinya berubah begitu kejam. Dia bukan Cemara. Bukan. Cemara itu lembut, hangat, dan manja. Bukan wanita dingin yang memasang wajah datar dan menatapnya penuh kebencian. Hatinya hancur. Melihat punggung Cemara semakin mengecil dan menghilang pasti dari pandangannya. Jati membawa langkahnya keluar rumah. Duduk di jok sedan keluaran negara paman Sam. Mengemudikannya keluar halaman rumah bergaya eropa klasik itu. Rumah impiannya bersama Cemara. Cemara mengintip dari tirai kamarnya. Seringai sinis terbit di bibirnya. Cih, tidak mungkin seorang Jati yang telah mulus menipunya sanggup memberikan hidupnya untuknya. Lihatlah, Jati bahkan membawa mobilnya tanpa mendengar apa yang Cemara katakan. Pria itu sudah pasti kembali pada wanita itu. Istri Jati yang ...entahlah. Cemara menutup tirai dengan gerakan kesal. Melihat seluruh ruang kamarnya yang berantakan. Pecahan foto pernikahannya dengan Jati masih bersepah-sepah di lantai. Cemara melangkah hati-hati untuk bisa menggapai ranjangnya. Membaringkan tubuhnya yang lemah serta hatinya yang hancur berkeping-keping. Cemara memeluk guling yang selama ini terabaikan. Berapa lama ia tidak memeluk guling ini. Satu tahun, dua tahun? Oh, selama pernikahannya. Jati kerap melempar bantal itu kala Cemara merajuk dan lebih memilih memeluk guling ketimbang dirinya. Jati si pria hitam manis selalu berhasil meluluhkan hatinya setiap kali mereka bertengkar. Pertengkaran mereka tidak pernah sengit. Hanya masalah sepele, seperti Jati meletakkan celana dalamnya di wastafel kamar mandi atau Jati meletakkan handuk basah di atas ranjang. Cemara akan memberunggut, menekuk muka sampai pria itu menyadari kesalahannya sendiri lantas Jati mencoba merayu, meluluhkan hati Cemara sampai lumer seperti madu. Oh, selain dua masalah itu. Mereka pernah bertengkar cukup serius. Jati lupa menjemput istrinya di kampus karena keasikan bercengkrama dengan teman-teman kerjanya. Cemara menghukum Jati tidur di ruang tamu dan itu berlangsung hanya empat jam setelah itu Cemara sendiri yang menghampiri dan menawarkan dirinya jadi guling pria itu. Uhh, pernikahan mereka selama ini sangat manis. Cemara selalu merasa kalau dirinya wanita yang paling beruntung. Dicintai pria semanis Jati. Sebaik Jati dan … tentu setampan Jati. Sampai kejadian dua hari yang lalu. Kenyataan yang menyakitkan Cemara terima bahwa dia dinikahi pria bersuami. Bahwa dirinya ditipu dengan baik. Bahwa dirinya seorang wanita bodoh. Lagi-lagi Cemara menitikkan air mata, andai saja mitos duyung terjadi padanya. Mungkin kamar itu sudah dipenuhi mutiara. Cemara semakin mengeratkan tangan pada guling. Membayangkan Jati pulang ke rumah istrinya semakin melukai hatinya. …. BRAK!! Katakan Jati tak waras. Ya, dalam sekejap kewarasannya hilang hanya untuk membuktikan cintanya pada Cemara. Mobilnya menabrak pembatas jalan hingga tubuhnya yang tidak mengenakan sabuk pengaman membanting stir. Jati membuktikan cintanya tidak menipu Cemara. Dia benar-benar mencintai wanita itu. Tidak tahu jelasnya kapan cinta itu muncul tapi, tepat tiga tahun yang lalu mereka memiliki kisah yang indah. Tiga tahun lalu ... "Keterlaluan kau Ara. Astaga Tuhan. Kau membuat Papa malu. Aku bekerja untuk rakyat dan disorot media. Bagaimana kalau sampai wartawan tahu putri seorang Menteri mengemudi dalam keadaan mabuk di usia muda." Lamtora ayah dari Cemara meremas rambutnya ke belakang. Menekan jemari di kepala melihat putrinya berdiri menunduk dengan wajah polos. "Kau juga!" Bentak Lamtoro mengejutkan istrinya yang berdiri sejajar dengannya. Rasamala menunjuk diri sendiri lalu melihat suaminya. Sejak kapan pria ini berani membentaknya. Semua orang tahu kalau Lamtoro suami mangut. "Kenapa memberinya izin menyetir?" Gertak Lamtoro mendelik pada Istrinya. Rasamala menelan ludahnya, lalu melihat Cemara yang masih menunduk dalam. "Ara. Kau dapat dari mana minuman sampai kau mabuk begitu?" tanya Rasamala. Mendekati putrinya. Cemara mengangkat kepala dan bertemu tatap dengan Lamtoro lalu menunduk lagi. "Di pesta ulang tahun Monica, Ma." "Pesta miras?" Rasamala memiringkan kepalanya, penasaran dan terkejut. "Ikut tantangan." lirih Cemara. "Besok jangan sampai Papa lihat kau bergaul dengan mereka!" Hardik Lamtoro pada Cemara. "Hubungi orang tua yang buat pesta. Suruh mendidik anaknya dengan benar." Perintah Lamtoro pada istrinya. Lamtoro meninggalkan kamar putrinya. Dia terkejut, beberapa jam lalu polisi meneleponnya, memberi kabar kalau Cemara menabrak warung kecil di pinggir jalan dalam keadaan mabuk. Lamtoro segera meminta polisi membawa Cemara menjauh dari tempat kejadian. Jangan sampai ada awak media mengambil gambar Cemara dan memasukkan Cemara ke pemberitaan. Dia putri seorang Menteri. Dimana nama Lamtoro kerap disorot media karena kinerjanya bagus. Setelah Cemara menandatangani surat perjanjian. Lamtoro menebus Cemara pada dini hari dan membawanya pulang. Anak gadisnya itu masih sanggup terkekeh-kekeh di dalam mobil. Sementara Lamtoro yang sudah naik pitam. "Maafin Ara, Ma." lirih Cemara begitu Lamtoro meninggalkan mereka. Rasamala menarik napas panjang, "Tidurlah. Kita bicara setelah sarapan nanti." Rasamala meninggalkan Cemara di kamar dan menyusul suaminya di kamar. …. Kali ini ada yang berbeda di meja makan Lamtoro. Tidak lagi hangat seperti pagi-pagi sebelumnya. Rasamala tidak berhasil meluluhkan hati suaminya hingga kemarahan dini hari berlangsung ke meja makan. Sarapan kali ini terasa mencekam. Lamtoro meletakkan peralatan makannya sedikit keras di atas piring keramik itu. Melonggarkan dasi yang mengikat di lehernya. Rasamala mengembuskan napas lelah, "Ara, kau tidak ingin mengatakan sesuatu pada Papa?" Cemara mengangkat wajah melihat kedua orang tuanya bergantian. "Maafin Ara, Pa. Ara janji nggak akan mengulangi kesalahan itu." Lirih Cemara, takut-takut melihat Lamtoro. Cemara anak tunggal. Semua kebutuhan Cemara terpenuhi. Gadis itu tidak pernah mengalami hidup susah. Sangat di manja tapi, saat seperti ini. Lamtoro ingin membuang putrinya ke gunung Everest. Sialnya, Lamtoro tidak sanggup melakukan itu. "Papa janji, saat kau mengulangi kejadian semalam. Papa akan membuangmu ke laut sana." Cemara cepat mengangguk. Ara janji nggak akan mengulanginya lagi." Lirihnya meyakinkan Lamtoro. "Nggak usah ikut-ikutan, Ra. Kalau teman buat pesta begituan." "Iya, Ma." "Rumi tidak ikut disana?" tanya Lamtoro. Menanyakan keberadaan kekasih Cemara. "Orangnya sudah mati." ujar Cemara dengan raut wajah malas. Cemara mabuk karena pria itu. Saat mereka bermain Truth or Dare. Si empunya pesta memilih Truth dan mengatakan kalau ia pernah ciuman dengan Rumi. Semua undangan Monica terkejut, karena mereka tahu Rumi kekasih Cemara. Giliran Rumi yang bermain. "Truth or Dare?" "Dare." Jawab Rumi sembari melihat ke arah Cemara. "Putuskan hubunganmu dengan Cemara." ucap Monica. Cemara menelan ludah saat tanpa beban Rumi berdiri dan berujar. "Aku mencintai Monica dan tentu kau tahu apa yang kuinginkan. Kita putus." Cemara mengangguk, "Yah, kau bisa bersamanya baji'ngan. Aku tidak peduli." ujar Cemara. Ia melihat pelayan dan meminta minuman alko'hol yang sejak tadi ia coba hindari. Cemara meneguk minuman itu dan merasakan sensasi membakar di lidahnya lalu menjalar ke lambungnya. Mencoba lagi,dan lagi sambil menatap dua manusia sialan di hadapannya. "Kalian serasi." Cemara tertawa. "Pasangan manis." Cemara merasa pusing. "Ambil saja sampahku, Monica." ujar Cemara mengejutkan semua orang. Begitu juga dengan Rumi. Hanya dalam sekejap Rumi menyesal putus dari Cemara. Gadis itu tiba-tiba menggemaskan saat nakal begitu. "Ara …." Rasamala mengernyit melihat putrinya mengacak-acak nasi goreng di atas piringnya. "Aku berangkat sekolah, Ma." Cemara beranjak tempat duduknya. "Habiskan sarapanmu, Ara." Lamtoro menghentikan langkah Cemara yang berniat meninggalkan meja makan. Cemara menghela napas panjang, patuh. Duduk dan melanjutkan makan. "Mama sudah dapat pengganti Kasmin?" tanya Lamtoro pada istrinya. "Sudah, Ayah." Bunyi bel mencuri perhatian mereka. pembantu seusia Cemara berlari kecil membuka pintu dan tidak lama kemudian menghampiri majikannya di meja makan. "Tuan, Nyonya. Sopir baru Nona sudah datang." ujar Yanti. "Iya, aku kesana." Rasamala meninggalkan ruang makan untuk melakukan interview sopir pengganti Mang Kasmin sopir lama mereka yang sudah tua. Seorang pemuda berparas hitam duduk menunduk di ruang tamu. Mengenakan kemeja putih lengan pendek dan lusuh. Saat melihat Rasamala ia langsung berdiri dengan hormat. "Jati Grandis?" Rasamala menyebut namanya. Pria itu mengangguk cepat. Rasamala duduk di sofa tunggal miliknya. Menilai penampilan Jati dari atas hingga bawah. Tinggi 186 cm, kulit lebih gelap sudah pasti pria ini bekerja di terik matahari. "Duduklah." Rasamala menunjuk lewat dagu ke arah sofa. Jati segera duduk di tempatnya semula. "Sebelumnya bekerja dimana?" "Supir angkutan, Nyonya." Rasamala mengangguk. "Kami menerimamu, karena rekomendasi Mang Kasmin. Kita coba dalam sebulan ini kinerjamu. Kalau cocok kita tanda tangan kontrak kerja. Bagaimana?" "Baik Nyonya." Balas Jati. "Pekerjaanmu bukan cuma mengantar jemput Tuan. Tapi, kamu juga akan bekerja delapan belas jam untuk Nona muda di rumah ini. Dia sedikit menyebalkan, kau harus sabar menghadapinya." ujar Rasamala. "Saya akan coba memberi yang terbaik Nyonya." "Peraturan di rumah ini tolong patuhi. Salah satunya. Apapun yang terjadi di rumah ini jangan menyebarluaskan ke luar sana. Apapun itu." Tegas Rasamala. "Baik, Nyonya." "Kau bisa bekerja dari sekarang." Rasamala memanggil Yanti dan meminta dibawakan kunci mobil. Gadis lampung itu segera datang bersama kunci mobil di tangan. "Ini kunci mobilnya, Nyonya." "Berikan padanya." Yanti segera membawa langkahnya menuju pria itu dan menyerahkan kunci mobil pada Jati. Jati memberi senyum kecil saat tatapan mereka bertemu. "Siapkan mobil. Tuan akan berangkat kerja." Rasamala mengambil map lamaran kerja Jati dan tanpa membaca membawanya ke ruang kerja Lamtoro yang ada di ruangan itu. …. "Dia pacaran dan menyentuh minuman keras. Perhatikan putrimu lebih selidik. Kau tidak perlu bersosialisasi kalau putrimu rusak di luar sana." ujar Lamtoro mengingatkan istrinya. "Setiap putrimu melakukan kesalahan. Akulah yang salah." Rasamala mengeluh seraya merapikan dasi suaminya yang sudah dihancurkan saat sarapan tadi. "Aku akan berusaha, Ayah. Jangan cemaskan Ara." Tambahnya, mengibaskan jas suaminya. "Sudah rapi, hati-hati di jalan." Mengecup pipi suaminya. Sejak semalam pria ini bermuka masam oleh kelakuan putrinya. "Mmm, aku sayang kamu." Mengecup balik Rasamala kemudian meninggalkan rumah. Cemara keluar rumah menghampiri Jati. Pria itu membuka pintu mobil untuknya. Cemara melempar tas miliknya dan segera ditangkap Jati. Rasamala menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya dari pintu. "Ara …." tegur Lamtoro. "Iya maaf." Cemara meleletkan lidahnya ke arah Jati. Masuk ke dalam mobil. "Ini tas nya, Nona." Jati meletakkan tas di bangku kosong. Jati menggelengkan kepala kecil saat tatapannya menangkap rok sekolah Cemara terangkat tinggi hingga memamerkan dua paha putih. Cemara mengabaikan Jati dan sibuk dengan ponselnya. Jati segera menuju bangku kemudi dan mulai mengemudikan mobil. "Papa," Panggil Cemara setelah mereka terdiam lama di dalam mobil itu. "Mmm." "Sopir Ara bau. Aku nggak suka." Deg! Jati menelan ludah. Nona sialan itu menghakimi bau tubuhnya. Raut wajah Jati merah bak kepiting rebus. Jati sadar dia belum mandi. Satu malam perjalanan dari palembang dan langsung bekerja. Tentu saja bau. Lamtoro memijat pangkal hidungnya. Dia juga menyadari itu tapi, entah kenapa mulut putrinya tidak punya tata krama. "Maaf Nona, saya belum sempat mandi." ujar Jati, sedikit mencuri pandang Cemara dari kasa spion. "Kau dengar, Ara?" tanya Lamtoro. "Setidaknya semprotkan parfum mengganggu hidung saja." Sahut Cemara dengan wajah judes. Lamtoro berdecak, putrinya kelewatan. "Ara ...." "Aku capek menahan nafas, Papa." "Astaga anak ini." Lamtoro menoleh kebelakang. Putrinya tepat di belakang joknya sehingga dia tidak bisa melihat Cemara. "Maaf tuan, Nona muda benar. Aku janji tidak akan mengulangi ini." ujar Jati. "Minta sama Nyonya pakaian baru. Jangan kenakan kemeja itu. Mulai besok tolong rapi." Lamtoro melihat sekejap Jati yang menyetir mengikuti peta di layar ponselnya. "Iya, Tuan." "Aku suka cara kerjamu. Kau mahir dan pintar membaca peta di ponselmu." Puji Lamtoro, mencoba mengobati hati Jati yang sempat mengecil karena Cemara. "Terima kasih, Tuan." Jati menginjak rem pelan setelah memasuki area kantor Lamtoro lalu pria itu keluar membuka pintu untuk Lamtoro. "Antar Nona ke sekolahnya. Jangan telat jemput dan langsung ke rumah." "Papa ke toko buku bisa? Aku mau kesana." Sahut Cemara dari jendela mobil. "Dengan satu syarat." "Apa?" "Dia harus dibelakangmu." Lamtoro segera meninggalkan mobil tidak mengizinkan Cemara protes. Cemara menggeram dan melihat Jati kembali ke tempat duduknya. Menatap kesal dengan kedua lengan melipat di d**a. "Kau nggak boleh ikut!" "Maaf Nona. Tapi, ini perintah langsung dari tuan." "Memangnya Papa tahu." Bentak Cemara. Jati diam dan mengemudikan mobil setelah mengganti peta di layar ponselnya menuju sekolah Cemara. Selama perjalanan mereka tidak bicara. Cemara sibuk dengan ponselnya sementara Jati fokus menyetir dan sesekali melihat Nonanya di belakang lewat spion. Begitu tiba di gerbang sekolah bergengsi itu. Jati hendak keluar membuka pintu untuk Cemara. "Jangan keluar! Aku nggak mau teman-teman Ara tahu. Aku punya supir kucel dan bau kayak kamu!" Cemara membuka pintu mobil sendiri dan meninggalkan Jati tersenyum pahit menelan kata-kata majikannya. Memperhatikan penampilannya yang kusut, lalu meniup napas pelan. . . . Thank you ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD