Prahara 2

1750 Words
Kerjaan kami semua akhirnya selesai, kami semua lalu berkumpul di ruang rapat untuk menunggu kehadiran CEO yang katanya tampan dan bijaksana. Aku penasaran melihat CEO yang mereka puji sejak tadi, apalagi aku baru 2 tahun bekerja di sini jadi sosok itu belum aku lihat. Aku sungguh penasaran karena mereka mengagungkan CEO yang katanya tampan itu, semoga saja sesuai apa yang mereka katakan. Tidak lama kemudian semua orang berdiri menyambut CEO yang baru saja tiba, karena aku baru menyadari kedatangan CEO itu, aku pun ikut berdiri sembari menoleh ke arah CEO dan aku terkejut bukan main, kepalaku seperti tertimpa beton yang sangat berat karena melihat CEO yang di tunggu adalah seseorang yang aku kenal di masa lalu namanya adalah Arnold. Pria tampan yang memiliki sikap dingin dan baik hatinya. Arnold lalu melihat kami semua, aku pun menunduk agar dia tak melihatku, namun Bu Renata memberikan kode agar ku tegakkan kepalaku, dengan terpaksa aku pun mengangkat kepalaku dan melihat ke arah Arnold yang juga terkejut melihatku, ekspresi wajahnya begitu memerah itu menandakan dia tak suka melihatku. Aku harus bagaimana? Kenapa ia harus hadir di saat aku sudah menjalani hidupku dengan baik selama ini? CEO itu Arnold? Sejak kapan Arnold jadi CEO dan setahu aku dia tidak memiliki pekerjaan dulu, apalagi memiliki harta terpendam seperti perusahaan ini, banyak hal yang tak aku sangka terjadi hari ini, Arnold yang tak pernah ku temui setelah enam tahun sekarang berdiri tepat di hadapanku, ya allah apakah ini pertanda darimu, kenapa luka itu harus datang kembali? Apakah memang waktunya aku kembali mengenang luka itu? Setelah pertemuan selesai aku langsung duduk di di kursi kerjaku, tepat di hadapan meja kerjaku, aku sesekali melihat ke arah ruangannya dan melihat dirinya sedang serius bekerja, dia semakin tampan dan semakin sukses jika ku lihat lagi, tapi apakah dia mengenalku atau tidak mungkin itu yang terbaik baginya. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh tak mampu untuk mendekat apalagi menanyakan kabarnya, aku memang harus siap menghadapi semuanya. Semua rekan kerjaku banyak yang sedang mendobol bedak, lipstik dan memakai parfum agar wangi. Rasanya aku tidak sanggup melihat mereka berusaha terlihat cantik di depan pria sedingin Arnold, pria yang dulunya mencintaiku, masa laluku akhirnya kembali. Tujuan mereka memang hanya satu mengambil perhatian Arnold yang tidak akan pernah mau mendongak menatap kecantikan mereka, jadi buang waktu saja, aku lebih tahu Arnold bagaimana dan seperti apa sikapnya. Bagaimana cara menghadapi Arnold yang sekantor denganku, aku saat ini sedang mengalami dilema, apalagi aku baru saja bertemu muka dengan Arnold. Dulu ketika kami berhubungan selama satu tahun, aku merasa dunia lengkap dengan kehadirannya. Dia melengkapi diriku, dan sebaliknya. Tiada hari tanpa bunga, semua terlihat indah dan dia menyemangati diriku. Sampai suatu hari kami berdua terpaksa berpisah, entah sebuah hubungan berakhir karena menyadari ketidakcocokan satu sama lain, atau karena salah satu dari mereka saling menyakiti diri masing-masing. Namun, kami berdua berbeda, sejak itu hubungan kami memburuk. Aku menghapus nomor telponnya dari ponsel pintar milikku, dan aku tidak mau lagi berhubungan dengannya. Akan tetapi takdir berkata lain, kami berdua harus bertemu tidak sengaja dan aku sekantor dengannya. Apa yang harus ku lakukan di situasi semacam ini? Canggung? Itu pasti. Namun apakah dia pernah berpikir untuk tetap menjalin pertemanan denganku? Parahnya lagi, situasi makin tidak mengenakkan untukku. Karena ternyata dia baru saja tiba dan menjabat sebagai CEO di perusahaan tempatku bekerja. Bisakah aku tetap bersikap profesional di depan Arnold? Semoga saja aku bisa. Aku tahu, rasa sakit yang ia alami karenaku pasti tidak akan membuatnya mau melihatku, dia terlalu baik untukku, sehingga aku meninggalkannya, namun aku memiliki alasan dan aku tidak ingin kesalahpahaman itu menjadi akar didalam hatinya. Kulihat dirinya dengan wajah yang terurus, pakaian yang luar biasa dan hidup yang sepertinya jauh dari kata layak, dia pasti baik-baik saja selama ini. **** Sampai di kostsan aku dengan gelisah antara duduk atau pun berdiri menunggu kepulangan Resta yang entah sekarang sudah bekerja atau sedang keluar. Yang pasti aku harus menceritakannya kepada Resta tentang Arnold yang sudah menjadi CEO di tempatku bekerja, aku juga tidak sabar melihat ekspresi wajah Resta. Tidak lama kemudian aku mendengar suaranya mengucapkan salam tanpa menjawab aku langsung menarik tangannya di depan pintu dan menyuruhnya duduk di sampingku diapun keheranan dengan sikapku. Aku memang tidak boleh melewatkan momen ini agar bisa bercerita kepada si centil ini. "Apaan sih, Fel? Aku kepengen minum dulu, haus nih, aku baru tiba, namun kamu sudah gak sabar pengen cerita, biarin aku istirahat dulu, ya, cerita ‘kan bisa nanti," katanya sembari memegang lehernya. Aku memang tidak bisa menyimpan cerita tentang Arnold yang kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai CEO di perusahaan. "Kamu harus dengar ceritaku dulu, haus kamu tuh bakal hilang kalau denger ceritaku ini, aku yakin deh," kataku meyakinkannya. "Emang ada apa? Kamu di tembak cowok? Atau kamu naik Jabatan? Kamu di lamar ? Atau kamu di pecat?" tanya Resta menebak-nebak. Aku menggeleng dan tidak membenarkan tebakan Resta. "Tak satu pun, Resta, makanya kamu denger dulu, apa pun yang kamu katakan itu tak akan lebih terkejut dengan ceritaku ini," kataku, sejenak menghela napas. "Terus apaan donk, yang bakal ngilangin haus dan ngilangin lapar aku itu hanya empat berita itu gak ada yang lain, jadi gak usah bilang mengejutkan kalau ceritamu tidak mengejutkan seperti empat berita itu," katanya. Resta menggeleng hendak melangkah meninggalkanku, namun aku kembali menariknya agar mau kembali duduk. "Dengerr dulu lah, Res, tadi aku ketemu sama Arnold," kataku, menyebut namanya saja membuat jantungku berdetak kencang, sungguh perasaan yang lama yang sudah  berusaha ku tanam ini harus kembali lagi. "Arnold siapa juga, sih, aku gak kenal Arnold ataupun Ronald..” Resta menggeleng. “APA??? ARNOLD?? KAMU KETEMU ARNOLD DI MANA, FEL? ARNOLD yang itu? Ah kamu jangan ngada-ngada, Fel," Resta berteriak setelah mengingat Arnold yang aku maksud. Itu memang mengejutkan, sama sepertiku ketika mendengar suara dan melihat wajah tampannya. "Dia adalah CEO di kantorku, Res, nah ketemu dia di sana, aku juga terkejut bukan main, secara kami sudah tidak bertemu selama enam tahun, namun takdir membawaku kembali melihatnya," kataku sedikit melemah. "Kok bisa jadi CEO? Bukannya dia dulu gak ada kerjaan tetap, ya, lalu seperti yang aku denger dari kamu juga, dia udah gak tinggal di Jakarta lagi, ‘kan? Kok bisa tiba-tiba dia di Jakarta?" tanya Resta. Hal itu juga membuatku bingung , namun aku hanya bisa menebak dan tidak bisa bertanya. "Nah itu yang buat aku juga keheranan, tapi itu gak penting, Dia baru tiba pagi ini di Jakarta dan selama lima tahun ini ternyata dia tinggal di Eropa, itu yang ku dengar dari teman-teman kerjaku, aku menjelaskan sesuai apa yang aku dengar dari mereka. Mereka yang sudah jadi senior di perusahaan, yang bertemu langsung dan mengetahui tentang kehidupannya yang dulu,” aku menjelaskan kepada Resta yang menganga dan membulatkan matanya penuh. "Trus apa katanya setelah melihat kamu? Ekspresinya? Apa dia terkejut atau langsung meluk kamu? Atau gimana?" tanya Resta lagi. Sahabatku ini pasti penasaran, melihatku saja Arnold enggan apalagi harus bertegur sapa. "Itu lagi yang buat aku keheranan dari tadi, dia gak negur aku atau nyapa aku, dia gak mengenalku atau emang udah lupa sama aku, kamu ‘kan tahu permasalahan kami, aku yang meninggalkan atau dia yang meninggalkanku, dia sempat terkejut melihatku ada di salah satu karyawannya tapi gak berlangsung lama dia langsung buang muka. Dan, pertanyaanmu. Meluk?? Jangan gila, Res, kamu ‘kan tau dia benci banget sama aku, jadi pertemuan kami gak ada yang istimewa kok," kataku seraya menggeleng mendengar pertanyaan Resta yang tidak masuk akal. "Lantas rencana kamu selanjutnya apaan? Kamu tahan sekantor dengan dia? Pasti masa lalu kembali membayangi kamu," tanya Resta seraya merangkul bahuku. "Aku bakal pikirin apa yang harus aku lakuin selanjutnya, karena aku juga gak akan nyaman dia ada di kantor dan ruangannya terletak tepat di depanku, kemungkinan juga dia bakal memecatku dari perusahaannya, aku akan terima aja apa yang menjadi keputusannya, karena aku memahami perasaannya," jawabku sok tegar, meski aku juga tidak bisa kehilangan semuanya meski Arnold kembali. "Kalian ‘kan mantan suami istri, gak mungkin ‘kan kalian saling jauh atau saling benci kayak gini, semua itu ‘kan bagian masa lalu aja, kalau Arnold punya pikiran mateng dan dewasa, dia gak mungkin mecat kamu seenaknya setelah mengabdi dua tahun di perusahaannya, rasanya gak bakal adil jika dia ngelakuin itu," kata Resta yang masih merangkul bahuku dan aku hanya bisa diam saja tanpa mengatakan apa pun lagi. "Yang terpenting kamu harus sabar, apa pun keputusan kamu, aku bakal ngedukung banget kok, tapi aku penasaran akan satu hal nih, apa kamu masih ada perasaan sama dia? Apa hatimu sebenarnya bahagia melihatnya lagi setelah sekian lama?” tanya Resta, membuatku sejenak berpikir. "Kalau masalah perasaan, sih, tanpa aku jelasin dan tanpa aku katakan kamu juga sudah pasti tahu jawabannya, aku gak perlu menjawabnya," jawabku. Aku meraih ponselku ketika mendengarnya berdering, aku mensilent ponselku dan memilih mengabaikannya. “Dari siapa? Kenapa gak angkat?” tanya Resta. “Dari Bimo,” jawabku. “Bimo? Dia masih menghubungi kamu?” Resta menautkan alisnya. “Masih. Dia lebih sering melakukannya malahan, aku terkadang menonaktifkan ponselku agar tidak mendapatkan telponnya,” jawabku, menjelaskan. Aku beranjak dari dudukku dan menuju dapur, mengambil dua gelas jus jeruk yang ada di kulkas dan kembali membawanya ke hadapan Resta. “Ini minum dulu,” kataku menyodorkan segelas jus jeruk untuknya. “Dari tadi kek, kamu lama amat nyiapinnya, aku sudah haus gini, sampai harus menahan keterkejutanku pasal Arnold kembali,” kata Resta, terkekeh setelahnya. “Minum dulu aja, kita lanjutkan pembicaraan kita,” kataku. “Aku gak tahu ya mau mengatakan apa, namun rasanya aneh ketika Arnold kembali ke Jakarta, apa dia datang untuk menyelesaikan permasalahan kalian?” tanya Resta, mengada-ngada. “Jangan mengada-ngada, Resta, dia belum tentu kembali hanya untuk menyelesaikan permasalahan kami, kami sudah selesai dan gak ada yang harus di bicarakan antara kami,” kataku, menjelaskan, lalu menggelengkan kepala. “Aku sih hanya menebak, ya, setelah sekian lama dia kembali, aku hanya meyakinkan diri bahwa sebenarnya semua ini bukan kebetulan.” Resta sejenak berpikir, aku pun terbawa suasana karena perkataannya. “Gak usah di bahas, aku udah gak mau mendengar tentang dia lagi, terserah dia mau kembali untuk apa dan bertujuan seperti apa, yang pasti aku hanya bagian dari masa lalunya,” kataku, sebenarnya aku juga ingin menyelesaikan permasalahan di antara kami, setelah berjuang untuk bersama, begitu mudah perpisahan itu di antara kami. "Ya udah … kamu mandi gih gak usah sedih-sedih gitu, aku tau banget kok gimana perasaan kamu," kata Resta sembari menarikku dari dudukku. "Iya. Aku bakal mandi sekarang, menjernihkan otakku dan melupakan kejutan yang di buat Arnold hari ini," kataku sembari menuju kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD