Jika ada seseorang yang bertanya padaku arti dari kata "cinta", maka aku tidak akan bisa menjawabnya.
Aku tidak mengerti arti dari kata itu, bahkan penempatannya dalam kalimat yang benar saja aku tidak tahu.
'Apa itu cinta? Dan cinta itu apa?'
Apakah di antara kedua hal itu terdapat perbedaan?
Kau tidak mengetahuinya, bukan? Karena pikiranmu berkata bahwa kedua hal ini hanya berbeda penempatannya tapi tidak dengan artinya.
Arti dari sebuah kata tidak akan berubah, selama tidak ada kata tambahan lain untuk kata-kata tersebut.
Misalnya saja, 'Cinta antara pasangan', arti dari cinta dalam konteks ini akan berbeda dari arti kata tersebut secara umum.
Aku pernah membaca dalam sebuah buku, bahwa cinta adalah
Aku mengerti bahwa cinta tidak akan bisa dirasakan hanya melalui konteks umum yang ada.
Hal tersebut didapatkan berdasarkan pengalaman bersama orang lain.
Dan pastinya, Ibu adalah hal yang tepat untuk mengekspreksikan cinta tersebut.
Tapi, sejak lahir aku tidak pernah melihat Ibuku sendiri, jadi bagaimana caraku mengetahuinya?
Apakah berdasarkan kekuarga-keluargaku yang ada saat ini? Ataukah aku dapat mendapatkannya dari orang lain?
Tidak tau, aku benar-benar tidak mengerti.
Hah, tetapi membahas ini malah membuatku tidak nyaman.
Seolah-olah diriku ini sudah muak dengan perasaan ini.
Dan aaah, rintih hujan ini membuatku merasa nyaman kembali.
Hujan ini pasti dikirimkan hanya untuk mengatasi suatu kekosongan dalam diriku.
Ngomong-ngomong, apa kekosongan itu, apakah rasa sepi?
Tidak, mungkinkah itu bukan rasa sepi, melainkan perasaan takut?
Aku memiliki beberapa keluarga dan orang-orang didekatku, jadi perasaan sepi itu tidak mungkin.
Ataukah itu memang mungkin? Rasa kesepian akan tangan hangat dari seorang Ibu yang dikabarkan oleh orang-orang.
Dan juga perasaan takut seharusnya tidak termasuk ke dalam kekosongan.
Hmm, mungkin itu memang masuk.
Perasaan takut itu berupa kehilangan orang-orang disekitarku.
Ketakutan lainnya yang mungkin saja aku yang akan membunuh manusia lain lagi.
Aku menatap kosong ke arah langit.
Rintih hujan itu terus menimpaku dengan keras.
Tanpa kusadari tatapan itu juga kuarahkan ke orang lain.
Eh, itu dinamakan dengan kesadaran ya?
Ah, itu ternyata salah ya.
Itu yang dinamakan kesadaran ternyata.
Tapi aku tidak peduli.
Nyawa manusia... apakah memang ada artinya?
'Untuk apa orang itu hidup?'
Diriku ini tidak dapat memutuskannya.
Ah, kepalaku sakit.
Perasaan sakit tiba-tiba menjulur ke seluruh tubuhku.
Aku bukannya tidak dapat memutuskannya, tetapi keputusanku sejak awal sudah jelas.
Apapun alasan mereka, lebih baik dibunuh.
Kenapa aku bisa memiliki perasaan ini?
Bukankah hal itu salah?
"Aku harus membunuhnya", putusku sepihak seolah hidup orang lain adalah milikku.
Ya benar, dan oh, mungkin saja itu memang milikku?
Orang yang membahayakan keluargaku haruslah dimusnahkan.
Aku tidak tau mengapa bisa aku memiliki perasaan ini bahkan sejak diriku masih kanak-kanak.
"Pembunuhan" yang siapapun tahu adalah hal buruk.
Tetapi aku tidak peduli.
Nyawa adalah hal yang sia-sia dimataku.
Oh ya, nyawa itu apa?
Mengapa meskipun aku mengetahui arti dari kata itu, kekosongan didalamku tidak ingin menyimpan informasi itu.
Tidak ada teks yang memberitahukan ini dan mengajarkannya.
Ajaran untuk membuang kemanusiaanmu dan menjadi pembunuh berdarah dingin.
Hanya latihan semata tidak membuat kau menemukan perasaan seperti itu.
Seolah perasaan haus darah ini adalah perasaan milikku yang sebenarnya.
Hah lupakanlah itu, bagaimanapun kau memikirkannya kau tidak bisa memutuskannya.
Karena aku adalah manusia.
Manusia yang selalu berbuat dosa, sama seperti manusia lain yang kau ambil nyawanya.
Hmm, aku tersenyum?
Pada saat ini aku justru mengingat dekapan saudara-saudaraku yang hangat.
Mungkinkah milik Ibuku melebihi itu?
Ah, pikiranku berubah lagi.
Kenapa semua hal yang kulihat dari cerminan mataku sendiri terlihat biasa?
Seperti semua hal itu sudah pernah kulalui.
Tidak, apakah aku benar-benar peduli dengan itu?
Semua hal di dunia ini hanyalah kesia-siaan di mataku.
Hmm, entah kenapa bibirku terangkat lagi.
Aku pikir ekpresiku sudah kembali tadi.
Aku tersenyum?
Untuk apa?
Apakah karena suasana ini?
Suara mereka dibelakang terdengar sangat jelas.
Aku sendirian didepan makam ini dan aku melakukan tidakan itu.
Ocehan tidak berguna yang mereka tujukan semua.
Ini bukan sindiran, tetapi sudah pada tahapan hinaan.
Wajah orang-orang bodoh itu sangat mengesalkan.
Mereka hanya bisa melontarkan dugaan-dugaan buruk dan tidak peduli dengan perasaan orang lain.
Karena itulah aku berpikir, untuk apa sebenarnya mereka hidup?
Apakah mereka benar-benar penting? Kenapa Tuhan menciptakan makhluk egois seperti mereka?
Ah, aku lupa.
Manusia memanglah makhluk egois.
Orang-orang ini hanyalah penjilat.
Haah, bahkan helaan nafasku terdengar jelas.
Dan tatapan kosongku tidak berubah.
Tetesan hujan ini menjelaskannya kepadaku.
Kemudian aku kembali melihat foto Ibuku ditengah-tengah hujan yang semakin deras ini.
Rambut hitamnya itu sangat indah bahkan ditengah kegelapan seperti ini.
Dan wajahnya itu menyenangkan hatiku.
Benar, mungkin itulah obat yang kubutuhkan.
"Tuan muda, saatnya pergi!"
Ya, mungkin saja.