Gelisah

1246 Words
The third POV Nayya berjalan cepat meninggalkan tempat itu, entah kenapa ia sangat ketakutan melihat pria yang baru saja ia temui itu. Ia terus berjalan masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. JAntungnya bergemuruh, ia benar-benar merasa tidak nyaman dengan keberadaan pria itu. “Siapa pria itu? sepertinya tidak asing, aku pernah melihatnya di mana, ya?” guman Nayya sembari berjalan ke sana ke mari dengan gelisah. Sementara itu Riftan hanya bisa menatap kepergian Nayya dengan helaan nafas berat. “Ah, Tuan, saya minta maaf atas sikap kurang sopan Nayya. Dia tidak biasa seperti itu sebelumnya,” ucap wanita yang ada di hadapan Riftan. Riftan tersenyum, meskipun hatinya sedikit kecewa atas sikap Nayya yang terlihat sangat ketakutan, ia sadar jika sikap Nayya itu wajar. “Tidak apa-apa, lagi pula aku hanya ingin melihatnya saja. Tapi Nura, waktuku tidak banyak. Tubuhku sangat membutuhkannya. Kekuatanku tidak akan bisa kembali sempurna jika belum meminum darah murninya.” Riftan menatap wanita itu dengan serius. Wanita itu membalas tatapan Riftan dengan kening berkerut. “Tuan, apakah dengan meminum darahnya Tuan bisa kembali sempurna?” tanya Nura. “Iya, aku sangat membutuhkan darahnya. Apa kau bisa meyakinkan dia untuk aku gigit?” tanya Riftan penuh harap. Mendengar itu Nura menggeleng. “Tidak bisa secepat itu mendapatkan kepercayaannya, Tuan Riftan. Tapi saya ada cara lain untuk mendapatkan darahnya,” ucap Nura sambil tersenyum penuh keyakinan. “Apa kau yakin aku bisa mendapatkan darahnya?” “Iya, tentu saja. Aku ibunya dan Nayya sangat percaya padaku,” jawab Nura. “Baiklah, aku tunggu kabarmu secepatnya.” “Tentu saja, Tuan.” “Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku akan kembali seminggu lagi, dan aku harap, hari itu darahnya sudah siap,” ucap Riftan. Nura hanya membungkuk tanda penghormatan sebelum Riftan berjalan keluar dari tempat itu. *** Keesokan harinya, Nayya bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap ke kampus. Gadis itu terlihat sangat cantik memakai tank top dan jeans dengan sneaker. Nayya terlihat cantik dan seksi, di raihnya blazer biru tua dan tas Selempang cantik, ia keluar dari kamar dan turun menuju meja makan. Tidak seperti biasanya. Meja makan kali ini sepi. Ia pun mencari keberadaan adik-adiknya tapi tidak melihat mereka. Sang ibu muncul dari arah belakang dengan senyum di wajahnya. “kemana yang lain, Ma? kok gak kelihatan?” tanya Nayya sambil mengunyah roti yang ada di hadapannya. “Adik-adikmu di kebun belakang. Ini Mama baru mau ambil air untuk mereka minum. Mau berangkat pagi-pagi, sayang?” tanya Nura. “Iya, ada tugas seminar pagi ini. jadi aku harus cepat-cepat sampai kampus mempersiapkan semuanya bersama tim sebelum dosen masuk,” jawab Nayya lalu meminum segelas s**u. “Iya, tapi pulangnya jangan malam-lama ya, sayang. Oh ya, besok ada waktu kan?” tanya Nura. “Hmm, sebenarnya aku ada kuliah sore sih, Ma. Emang kenapa?” “Mama mau ngajak kamu ke rumah sakit.” ucap sang ibu. “Rumah sakit? kenapa? Ada yang sakit atau Mama yang sakit?” Nayya mulai cemas. “Bukan sayang, Mama ingin kau ikut kegiatan donor darah di sana. Kau mau kan?” tanya sang Ibu. “Donor darah? Sejak kapan Mama peduli dengan hal seperti itu? aku pikir Mama tidak akan pernah mau menginjakkan kaki ke rumah sakit lagi sejak peristiwa itu. apalagi melihat darah. Mama bahkan akan mengurungku di dalam kamar jika aku kedapatan berdonor darah? tanya Nayya, ia merasa sikap ibunya tiba-tiba sedikit aneh. “Mama… Mama memutuskan untuk mencoba berpikir terbuka. Jadi sekarang kau bisa bebas mendonorkan darahmu, sayang. Mama akan menemanimu besok untuk donor darah,” jelas Nura. Nayya mengangguk. “Oke, tidak masalah, Ma. syukurlah kalau hanya itu alasannya, aku sudah mulai curiga aja tadi.” Celoteh Nayya. “Ih kau ini, suka curigaan sama Mama.” Nayya nyengir mendengar bantahan Ibunya. “Ya kali mama memang ada maunya. Oya ma, pria kemarin itu siapa? Kok aku merasa pernah kenal dia, ya. Tapi kok aku merasa ketakutan.” Wajah Nura tiba-tiba tegang, tapi ia berusaha untuk menyembunyikannya. “Ah, dia hanya kenalan Mama. Dia itu orang yang sangat penting sayang. Seperti yang Mama bilang, Tuan Riftan adalah Dermawan yang sangat baik hati. Dia yang menghibahkan tanahnya untuk pembangunan panti ini, sehingga cita-cita almarhum papa tetap Mama jalankan sampai saat ini. Jadi, Mama minta, lain kali jaga sikapmu padanya, ya. Mama rasa kau sudah dewasa untuk mengambil sikap yang lebih bijak terhadap orang yang telah berjasa kepada keluarga kita. Jangan buat dia tersinggung seperti kemarin.” Nura menjelaskan dengan serius. Nayya hanya mengangguk pelan dan tersenyum. “Oke Mama, jangan khawatir. Lain kali aku tidak akan membuat Mama malu di hadapan pria itu lagi. Kalau begitu, aku pergi dulu, d**a Mama sayang…!” ucapnya lalu melangkah meninggalkan Nura yang menatap kepergian putrinya dengan menghela nafas panjang. “Aku harap kau tidak akan pernah curiga dengan apa yang akan terjadi padamu di kemudian hari sayang,” gumannya lalu mengisi air minum ke dalam botol dan membawanya ke belakang. Nayya turun dari bus dan melanjutkan naik angkot ke arah kampusnya yang masih berjarak 10 kilo meter lagi dari stasiun bus. Ia melihat pergelangan tangannya, dan menatap ke arah Jendela. Tapi tiba-tiba matanya tertuju pada seorang pria berpakaian serba hitam lengkap dengan kacamata dan topi hitam yang ia kenakan. Bulu kudu Nayya meremang, pria itu menatapnya bahkan di saat mobil yang ia tumpangi sudah melaju melewatinya. Perasaan Nayya kembali cemas, rasa takut itu muncul lagi. rasa yang sama ketiak ia bertemu dengan pria itu tempo hari. Apakah pria yang barusan ia lihat adalah pria yang sama? Tapi tidak mungkin, kenapa ia muncul di tengah jalan seperti itu? Buru-buru Nayya membuang pikiran negatifnya dan menatap ke arah depan. Angkot berhenti tepat di depan kampusnya. Nayya segera turun dan berjalan masuk. Ia menoleh kebelakang memastikan pria yang ia lihat tadi tidak mengikutinya. Setelah merasa yakin tidak ada seorang pun yang mengikutinya, ia pun berjalan menuju kelas. “Hai Nayya, sebelah sini…!” seru salah seseorang. Melihat sahabatnya melambaikan tangan ke arahnya, Nayya tersenyum dan berjalan menghampirinya. “Aku pikir kau akan datang terlambat, nih, makalah kemarin, belum lengkap. Aku pikir kita harus mengganti tema pembahasan kita. Jangan tentang mahluk mitologi menyeramkan deh, aku agak takut. kau tahu tidak, menurut informasi yang beredar, sekarang itu adalah tahun panas, di mana waktu itu semua makhluk mitologi akan keluar dari pembaringannya dan mencari mangsa. Kita bukannya menghindar, malah akan membahasnya. Gak mau ah, ngeri.” protes sahabatnya sambil tergidik. “Kau ini bagaimana sih, gak ada waktunya lagi buat mengganti subjek baru. Lagian ni, ya, kita hanya perlu mencari sumber dari perpustakaan, kita masih punya beberapa minggu hingga giliran kita presentasi. Kita akan mencari tahu kehidupan para mahluk penghisap darah itu. Aku ada tempat cocok buat menggali informasi tentang mereka, jangan khawatir,” ucap Nayya dengan yakin. “Terserah kau saja, deh. Tapi kalau ada apa-apa, kau yang tanggung jawab, ya?!” tuntut sahabatnya. “Loh, kok malah aku yang harus tanggung semua sih, bukan hanya aku tapi kita. Kita berdua, sayang yang akan menanggung resikonya.” Nayya mendekatkan wajahnya ke arah sahabat itu dengan senyum seringai. “Ih… enggak! Kau aja!” “Iya,,iya aku. tapi datangnya sama-sama, ya. he..he..” Sahabatnya itu hanya mencubit lengan Nayya dengan wajah cemberut. Tidak berapa lama, semua mahasiswa sudah memenuhi kelas dan akhirnya dosen memasuki ruangan. “Selamat pagi” sapanya . “Pagi, Pak..! balas semua mahasiswa. “Hari ini seharusnya seminar di mulai ya? tapi khusus untuk hari ini kita delay dulu karena saya akan memperkenalkan dosen baru pengganti saya,” ucap sang dosen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD