menggapai Asa

1996 Words
Jaka Anak Kedelapan (serial 1) Jaka, anak kedelapan dari delapan bersaudara, tumbuh dalam keluarga sederhana namun hangat. Rumah mereka, meski tak besar, selalu dipenuhi gelak tawa dan aroma masakan Ibu. Hari-harinya dipenuhi permainan bersama teman-teman sebaya di sekitar kampung. Sawah menghijau, sungai mengalir deras, menjadi latar bermain mereka yang penuh petualangan. Kehidupan sederhana ini membentuk Jaka menjadi anak yang ramah, ceria, dan mudah bergaul. Ayah, seorang yang pendiam, lebih banyak bekerja keras di sawah. Keringat dan lelah tergambar jelas di wajahnya setiap sore. Jaka, meski menyayangi Ayah, lebih dekat dengan Ibu. Ibu, dengan tangannya yang lembut dan hatinya yang hangat, selalu ada untuk Jaka. Ia bercerita, menyanyikan lagu pengantar tidur, dan selalu memberikan semangat. Ibu adalah pelabuhan hati Jaka, tempat ia bercerita tentang suka dan dukanya. Kehidupan dengan tujuh saudara kandungnya tak pernah membosankan. Ada pertengkaran kecil, rebutan mainan, dan berbagi makanan. Namun, di balik itu semua, terjalin ikatan persaudaraan yang kuat. Mereka saling membantu, saling melindungi, dan selalu ada satu sama lain dalam suka dan duka. Jaka, sebagai anak bungsu, seringkali menjadi pusat perhatian dan manja pada saudara-saudaranya. Namun, ia juga belajar bertanggung jawab dan berbagi 2. Tahun-tahun berlalu, Jaka tumbuh menjadi pemuda yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayang. Ia selalu mengingat masa kecilnya yang sederhana namun penuh makna. Kenangan bermain bersama teman-teman, kehangatan keluarga, dan kasih sayang Ibu dan Ayah, menjadi bekal berharga dalam hidupnya. Jaka menyadari bahwa kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan sebuah anugerah yang telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang kuat dan penuh empati. Ia selalu bersyukur atas keluarga dan kehidupan yang telah diberikan kepadanya. 3 Jaka dan Hari-hari Tanpa Jajanan Jaka melangkah perlahan memasuki gerbang sekolah dasar untuk pertama kalinya. Tangan kecilnya menggenggam erat jari ibunya, sementara matanya menyapu halaman sekolah yang penuh dengan anak-anak. Ada yang berlarian, ada yang menangis memeluk orang tuanya, ada juga yang tampak gembira bertemu teman baru. Tapi Jaka? Ia hanya diam, mengamati. Sejak kecil, Jaka bukan anak yang menonjol. Ia bukan yang paling berani, bukan pula yang paling pintar berbicara. Ia lebih sering mendengar daripada bicara, lebih suka duduk di sudut dan memperhatikan daripada ikut bermain di tengah keramaian. Di kelas, Jaka duduk di bangku tengah, tidak di depan bersama anak-anak yang rajin mengangkat tangan, dan tidak di belakang bersama mereka yang suka bercanda saat guru menjelaskan. Ia mendengarkan pelajaran dengan baik, mengerjakan tugas dengan rapi, tapi tidak pernah menjadi pusat perhatian. Saat istirahat tiba, anak-anak berhamburan ke luar kelas. Mereka berlari menuju kantin, berbaris membeli jajanan, atau membuka bekal yang dibawa dari rumah. Beberapa temannya membeli gorengan yang masih mengepul panas, ada yang membawa permen warna-warni, dan ada juga yang membanggakan es krim berbentuk lucu. Tapi Jaka hanya duduk di bangkunya, memperhatikan mereka sambil menelan ludah. Bukan karena ia tidak ingin ikut membeli, tapi karena di rumah, ibunya sudah memberi tahu, "Jaka, kita makan di rumah saja ya. Tidak usah jajan di sekolah." Jaka mengangguk saat itu, meski hatinya sedikit sedih. Ia tahu ibunya tidak ingin membebani pengeluaran keluarga untuk hal-hal yang tidak perlu. Ayahnya bekerja keras setiap hari, dan ibunya selalu berusaha menyiapkan makanan yang cukup di rumah. Jadi, meski ia ingin sekali merasakan gorengan hangat atau es krim warna-warni seperti teman-temannya, ia menahan diri. Hari demi hari berlalu. Jaka mulai terbiasa. Setiap istirahat, ia tetap duduk di kelas atau berjalan-jalan di sekitar lapangan. Kadang-kadang, ia membawa bekal sendiri, sekadar roti isi atau buah potong yang ibunya siapkan. Tapi tetap saja, rasanya berbeda dari jajanan di kantin. Namun, meski tanpa jajanan, Jaka tetap menikmati sekolah. Ia punya satu-dua teman yang selalu berbagi cerita, ia menyukai pelajaran menggambar, dan sesekali, ada teman yang menawarkan sepotong jajanan dengan senyum lebar, "Mau coba, Jaka?" Jaka selalu menolak dengan sopan, meskipun dalam hati ingin. Baginya, menerima pemberian dari teman berarti harus membalas di lain waktu, dan ia tidak yakin bisa melakukannya. Hingga suatu hari, saat hujan deras mengguyur sekolah, kantin penuh sesak oleh anak-anak yang berdesakan membeli makanan. Jaka duduk di pojok kelas, menunggu bel masuk. Lalu, seorang teman, Budi, datang dengan dua potong gorengan di tangannya. "Ini buat kamu," kata Budi sambil menyodorkan satu potong. Jaka terdiam. "Aku nggak bawa uang buat gantian beli nanti," katanya pelan. Budi tertawa. "Nggak usah. Aku beli dua karena aku pengin makan sama kamu." Jaka ragu sejenak, tapi akhirnya menerimanya. Saat gigitan pertama menyentuh lidahnya, ada rasa hangat yang menjalar—bukan hanya dari gorengan itu, tapi dari kebaikan seorang teman. Hari itu, Jaka belajar satu hal: kadang, sesuatu yang sederhana bisa terasa begitu istimewa, bukan karena benda itu sendiri, tapi karena seseorang yang memberikannya 4 Jaka dan Perasaan yang Tak Terduga Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, Jaka kini sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ia bersekolah di SMA swasta, sekolah yang tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Sama seperti dulu, Jaka bukan anak yang menonjol. Ia bukan ketua OSIS, bukan bintang kelas, dan bukan pula anak yang selalu jadi pusat perhatian. Ia hanya menjalani hari-hari sekolahnya dengan tenang, belajar secukupnya, berteman sewajarnya, dan menikmati hidup tanpa banyak drama. Di sekolah, Jaka punya beberapa teman dekat, salah satunya adalah seorang gadis bernama Rina. Mereka sering satu kelompok dalam tugas, duduk berdekatan di kelas, dan sesekali pulang bersama jika arah mereka sama. Rina bukan gadis yang terlalu menonjol, tapi dia selalu punya cara untuk membuat suasana lebih ringan. Ia murah senyum, suka bercanda, dan entah bagaimana, selalu tahu cara membuat orang lain nyaman di dekatnya. Tapi bagi Jaka, Rina hanyalah teman. Tidak lebih, tidak kurang. Hingga waktu berlalu, dan mereka memasuki kelas tiga. Saat itu, semuanya mulai terasa berbeda. Kelas tiga bukan lagi tentang bersenang-senang atau sekadar belajar, tapi tentang masa depan. Ujian semakin dekat, tugas semakin menumpuk, dan semua orang mulai sibuk dengan persiapan masuk perguruan tinggi. Jaka pun ikut larut dalam kesibukan itu. Suatu sore sepulang sekolah, hujan turun dengan deras. Jaka sedang berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu hujan sedikit reda, ketika tiba-tiba Rina datang, berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan tas. "Jaka! Belum pulang?" tanyanya sambil tersenyum. Jaka menggeleng. "Lagi nunggu hujan reda." Rina menghela napas dan berdiri di sampingnya. "Aku juga. Padahal nggak bawa payung. Mau nekat pulang, tapi takut kebasahan." Mereka tertawa kecil. Saat itulah Jaka memperhatikan sesuatu yang selama ini mungkin tidak pernah benar-benar ia sadari. Caranya tersenyum, cara matanya berbinar saat berbicara, cara dia menggigit bibirnya saat berpikir—hal-hal kecil yang sebelumnya tampak biasa, kini terasa berbeda. Ada sesuatu yang aneh di dadanya, sesuatu yang hangat, yang membuatnya ingin terus berdiri di situ, meskipun hujan tak kunjung reda. Dan saat Rina menoleh ke arahnya dan berkata, "Eh, aku baru sadar, ini tahun terakhir kita bareng di sekolah ya?", sesuatu dalam hati Jaka bergeming. Tahun terakhir. Tahun terakhir duduk bersebelahan. Tahun terakhir pulang bersama. Tahun terakhir mendengar tawanya setiap hari. Saat itulah Jaka menyadari satu hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya—bahwa Rina bukan sekadar teman biasa. Tidak lagi. 5 Judul: Cinta yang Tak Terduga Sejak hari itu, Jaka dan Rina semakin sering pulang bersama. Kadang mereka berjalan santai, membahas tugas sekolah, mimpi masa depan, atau sekadar hal-hal kecil yang mereka temui di sepanjang jalan. Jaka mulai terbiasa dengan kehadiran Rina—senyumnya, caranya berbicara, dan kehangatan yang selalu ia bawa. Namun, Jaka masih menyimpan perasaannya sendiri. Ia tidak pernah mengatakannya, tidak pernah berusaha menunjukkan bahwa ia mulai melihat Rina dengan cara yang berbeda. Baginya, persahabatan mereka terlalu berharga untuk dipertaruhkan. Hingga suatu hari, sesuatu terjadi. Saat pulang sekolah seperti biasa, Rina mengajaknya mampir ke rumahnya. "Jaka, ikut ke rumahku sebentar, yuk. Aku mau ngenalin seseorang." Jaka mengangkat alis, heran. "Siapa?" "Adik sepupuku. Dia baru pindah ke rumahku, nanti juga bakal sekolah di sini." Tanpa berpikir panjang, Jaka setuju. Ini bukan pertama kalinya ia main ke rumah Rina. Lagipula, ia penasaran juga siapa adik sepupu yang dimaksud Rina. Setibanya di rumah Rina, mereka disambut seorang gadis yang berdiri di teras. Saat pertama kali melihatnya, Jaka merasa ada sesuatu yang berbeda. Adik sepupu Rina bernama Anisa. Rambutnya panjang terurai, matanya lembut, dan senyumnya begitu menenangkan. Saat Rina mengenalkan mereka, Anisa menyapanya dengan suara lembut, "Halo, Jaka. Rina sering cerita tentang kamu." Jaka tersenyum kecil, "Masa? Cerita apa?" Rina menimpali dengan tawa, "Rahasia! Udah, kalian ngobrol aja, aku mau ambil minum dulu." Dan begitulah, dalam hitungan menit, Jaka dan Anisa mulai mengobrol. Awalnya biasa saja, tapi semakin lama, Jaka menyadari sesuatu—Anisa berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Jaka merasa nyaman, seolah ia sudah mengenalnya sejak lama. Sejak hari itu, setiap kali Jaka pulang bersama Rina, ia jadi lebih sering bertemu Anisa. Kadang mereka hanya bertukar sapa, kadang berbicara lebih lama. Dan perlahan, tanpa Jaka sadari, hatinya mulai berbelok ke arah yang tak pernah ia duga. Jaka jatuh cinta. Bukan pada Rina, seperti yang ia kira selama ini, tapi pada Anisa—gadis yang baru saja masuk ke dalam hidupnya. 6 Judul: Ombak, Senja, dan Rasa yang Tak Terungkap Hari-hari berlalu, dan perasaan Jaka pada Anisa semakin tumbuh. Mereka semakin sering bertemu, berbincang, dan tertawa bersama. Kadang hanya di rumah Rina, kadang saat Anisa menunggu jemputan sepulang sekolah. Semua terasa mengalir begitu saja, tanpa perlu banyak kata-kata manis atau janji-janji yang berlebihan. Namun, tanpa Jaka sadari, ada satu hati yang diam-diam terluka. Rina. Ia melihat semuanya—cara Jaka menatap Anisa, bagaimana ia selalu tersenyum lebih lebar saat bersama gadis itu, bagaimana suaranya terdengar lebih hangat. Sesuatu di dalam dirinya terasa nyeri, tapi ia menahannya. Ia tahu sejak awal bahwa Jaka tidak pernah melihatnya lebih dari seorang teman. Jadi, Rina memilih menyembunyikan perasaannya. Hingga suatu hari, Jaka mengajak Anisa pergi jalan-jalan ke pantai. "Mau ikut, Rin?" tanyanya santai saat mereka bertiga sedang duduk di teras rumah Rina. Rina terkejut. "Hah? Aku?" "Iya. Biar lebih seru, kan?" kata Jaka dengan senyum tanpa beban. Anisa mengangguk kecil. "Iya, Kak Rina ikut aja. Aku juga lebih nyaman kalau ada Kak Rina." Rina terdiam sejenak. Dalam hatinya, ia ingin menolak. Ingin mencari alasan agar tidak perlu melihat mereka berdua semakin dekat di depannya. Tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin menjauh dari Jaka. Akhirnya, ia tersenyum dan mengangguk. "Oke, aku ikut." Mereka bertiga pergi ke pantai pada sore hari. Langit berwarna jingga keemasan, ombak bergulung-gulung lembut, dan angin laut berhembus sejuk. Jaka dan Anisa berjalan di depan, berbicara tentang hal-hal kecil, tertawa sesekali. Rina berjalan sedikit di belakang mereka, memperhatikan pemandangan sambil menahan gejolak dalam dadanya. Di tepi pantai, mereka duduk di atas pasir, menatap laut yang luas. Jaka dan Anisa berbincang tentang masa depan—tentang universitas yang ingin mereka tuju, tentang mimpi-mimpi mereka. Rina hanya mendengarkan, sesekali tersenyum, tapi hatinya terasa semakin berat. Saat senja mulai turun, Anisa berdiri dan berjalan ke tepi air, membiarkan ombak menyentuh kakinya. Jaka memandangnya dengan senyum kecil sebelum akhirnya menoleh ke Rina. "Rin, kamu kenapa diam aja?" tanyanya. Rina tersentak dari lamunannya. Ia menatap Jaka dan menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Aku cuma menikmati suasana aja." Jaka menatapnya sesaat, lalu tersenyum. "Bagus ya, pantainya." Rina mengangguk pelan, tapi dalam hati ia bergumam, Iya, bagus. Tapi mungkin ini terakhir kalinya aku ke sini bareng kamu, Jaka… 7 Lanjutan 2 Tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa orang yang paling ingin ia lihat—Anisa—tidak pernah datang. Awalnya, Jaka berpikir mungkin Anisa sibuk. Mungkin dia takut melihatnya dalam keadaan seperti ini. Tapi setelah berminggu-minggu berlalu, setelah enam bulan ia terbaring tanpa kabar sedikit pun dari Anisa, Jaka mulai mengerti. Anisa tidak akan datang. Ia tidak tahu apakah Anisa memang tidak peduli atau hanya tidak ingin berurusan dengan seseorang yang kini tak lagi "sempurna". Yang ia tahu, hatinya benar-benar hancur. Jaka merasa ditinggalkan, dikhianati oleh harapan yang ia bangun sendiri. Ia mulai bertanya-tanya—apakah selama ini perasaannya hanya sebuah ilusi? Apakah Anisa benar-benar peduli padanya, atau ia hanya menganggapnya angin lalu? Dan saat Jaka duduk di kursi roda, menatap ke luar jendela dengan mata kosong, ia menyadari sesuatu: hari kecelakaan itu bukan hanya hari ia kehilangan kesehatannya. Hari itu adalah awal dari kegagalannya. Hari itu adalah hari di mana ia kehilangan segalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD