BAB 1

1037 Words
Zio melirik jam mewah yang melingkar dipergelangan tangannya, sudah hampir satu jam sejak gadis itu pingsan dan sampai sekarang belum juga sadar. Kata dokter, dia hanya kelelahan dan telat makan. Karena gadis ini, Zio bahkan sampai membatalkan meeting-nya pagi ini. Padahal Zio bisa saja meninggalkannya setelah membawanya ke rumah sakit, tapi anehnya Zio merasa enggan untuk meninggalkan gadis ini. "Air..." Zio menoleh, gadis itu bergerak gelisah seraya menyebut air. Dengan sigap Zio memberinya minum. "Kamu nggak pa-pa?" tanya Zio. "Ini dimana?" tanya gadis itu dengan suara masih terdengar lemah. "Kamu di rumah sakit. Tadi kamu pingsan karena saya hampir nabrak kamu, atau memang sudah kena?" Gadis itu mengerjap, lalu berusaha untuk bangun dan Zio segera membantunya. "Om siapa?" Zio menaikkan sebelah alisnya, ia membuka mulut hendak bersuara namun gadis itu tiba- tiba memekik. "Ya ampun! Hari ini ada ulangan matematika, kalo aku nggak ikutan bisa mati ini!" Zio menatapnya tidak mengerti. Gadis itu buru-buru turun dari ranjang, mengabaikan suara perutnya yang berbunyi meminta diisi. "Kamu masih lemah, istirahat saja," ucap Zio sambil menahan tangan gadis itu. Gadis berambut hitam itu menggeleng. "Nggak bisa, Om. Aku harus ke sekolah, aku ada ulangan. Kalo aku nggak ikut, beasiswa aku bisa dicabut dan ibu pasti nggak bakalan mau biayain uang sekolah aku," ujarnya terdengar panik. Zio meraih bahu gadis itu lalu menyuruhnya tetap duduk di tepi ranjang. "Kamu tenang dulu. Nanti saya akan bicara sama pihak sekolah kamu dan saya yakin mereka akan mengerti." "Tapi—" "Nama?" Gadis itu terdiam sesaat sebelum menyebutkan namanya. "Britania Raya." "Sekolah?" "SMA Pelita Jaya." Zio menoleh, menaikkan satu alisnya. "Kelas?" "11 IPA 2." Zio mengetikkan semua yang diberitahukan gadis bernama Britania Raya itu dan mengirimnya kepada seseorang. "Sudah. Sekarang kamu istirahat saja. Saya harus panggil kamu apa? Brita? Nggak mungkin, itu kayak berita. Tania? Raya?"  "Raya." "Oke, Raya, kamu istirahat saja." Raya menggeleng. "Kenapa?" Raya menyentuh perutnya dan Zio langsung mengerti. Pria itu menyunggingkan senyumnya, lalu menoleh dan memanggil suster. "Bawakan sekarang." Suster itu mengangguk dan segera pergi. Tak lama kemudian suster berbeda datang membawa beberapa macam makanan. "Makan. Kata dokter kamu belum makan. Kapan terakhir kamu makan?" tanya Zio.  Lama Raya tidak menjawab pertanyaan Zio dan hanya fokus pada makanannnya. "Kemarin siang." "What?" Raya menoleh. "Kenapa?" "Harusnya saya yang nanya sama kamu, kenapa kamu nggak makan? Raya, ini bisa jadi penyakit serius jika kamu nggak makan!" ujar Zio. Lipatan di kening Raya menjelaskan bahwa Raya sedang bingung. Bingung kenapa sikap pria di depannya ini berlebihan, memarahinya hanya karena Raya belum makan. Zio mengerjap. "Maaf, saya nggak bermaksud memarahi kamu. Saya cuma—" "Makasih Om udah baik bawa aku ke sini dan kasih makan aku. Nama Om siapa, biar aku nanti gampang ngembaliin uang yang Om pake buat biaya rumah sakit ini," ujar Raya lalu mengunyah makanannya. Zio tersenyum, tangannya terulur lalu mengusap puncak kepala Raya. "Nggak perlu. Cukup kamu selalu baik-baik saja, itu sudah saya anggap sebagai balasan. Saya Zio dan jangan panggil saya Om, saya belum setua itu buat dipanggil demikian. Dan, saya minta maaf tadi udah hampir nabrak kamu." Raya terkekeh pelan. "Nggak pa-pa. Aku juga salah karena jalan nggak hati-hati. Tadi aku buru-buru karena udah telah ke sekolah." Oh tidak, itu sinyal bahaya bagi Zio. Senyum itu sangat menyihirnya, membuatnya lupa bahwa ia sedang berada di dunia. "Tapi Om lebih tua dari aku," kata gadis itu lagi. Zio mengerjapkan matanya. "Umur saya masih berada diantara 20 sampai 30. Belum setua itu kan dipanggil Om?" Zio menaikkan sebelah alisnya. "Ya, terserah Om aja." "Rumah kamu di mana, biar saya antarkan. Kamu cukup baik-baik aja dan tidak perlu dirawat," ujar Zio. Raya menjatuhkan sendok yang dipegangnya secara tiba-tiba. Gadis itu tampak panik menoleh ke arah Zio. "Aku nggak bisa pulang sekarang. Kalo aku pulang dan ibu tau aku nggak sekolah, ibu pasti marah banget," ujar Raya. "Ibu kamu nggak bakalan marah kalo tau kamu nggak sekolah karena sakit." Raya menggeleng. "Om nggak ngerti. Ibu itu, ibu—" Zio tidak mengerti kenapa gadis itu begitu panik hanya karena ia tidak berangkat sekolah. Dan memangnya kenapa dengan ibunya? Mengapa ibu gadis itu harus marah? Bukannya jika Raya mengatakan bahwa ia sakit, maka ibunya tidak akan marah dan masalah selesai? Zio memeluk gadis itu agar gadis itu tenang. "Ibu pasti marah," ucap Raya lagi. "Tenang Raya." Aneh, mengapa perasaan Zio tidak karuan melihat gadis itu panik dan ketakutan. "Kamu mau ikut saya sampai sekolah bubar?" tanya Zio. Raya mengurai pelukannya. "Ikut Om?" Zio tersenyum lalu mengangguk. "Kamu mungkin nggak bisa diem di sini sampai sore, dan saja juga nggak bisa nemenin kamu karena saya ada kerjaan." Raya menggeleng. "Nggak usah, Om, aku nggak mau ngerepotin Om lagi." "It's oke. Kamu bisa diem di apartemen saya dan kamu bisa pulang saat waktunya sekolah kamu bubar." Raya diam tidak menjawab. Bingung antara iya dan tidak. Raya butuh tempat untuk ia diam sampai sekolah bubar pukul tiga sore, tapi Raya ragu karena pria itu notabenenya baru dikenalnya. Raya takut jika pria di depannya ini adalah orang jahat walau wajahnya sama sekali tidak menunjukan jika pria itu jahat. "Saya nggak akan macam-macam, Raya. Setelah mengantarmu, saya akan langsung ke kantor," ujar Zio menyadarkan Raya dari lamunannya. Raya menghela napas lalu mengangguk, membuat Zio tersenyum. Raya juga tersenyum. Senyum yang kata ayah dan bundanya manis dan mampu membuat setiap orang yang melihatnya tidak mampu mengalihkan pandangan mereka dari senyum Raya. Mungkin, Zio juga seperti itu. Lihatlah sekarang, pria itu diam dan menatap Raya. "Om?" Zio masih diam. "Om?" Raya melambaikan tangannya di depan wajah Zio. Pria itu mengerjapkan matanya, lalu menggeleng. "Ah iya, Maaf. Ya sudah, mari saya antar kamu." *** "Ini kartu aksesnya. Maaf saya nggak bisa nemenin kamu di sini." Raya menerima sebuah kartu berwarna putih dari Zio. "Nggak pa-pa, Om. Makasih udah mau ngizinin aku diem di sini sebentar." Zio mengangguk. "Ini kartu nama saya. Di sini nggak ada makanan ataupun bahan makanan, jadi kamu kalo laper bisa bilang ke saya nanti saya kirim ke sini," ujar Zio seraya mengulurkan kartu nama pria itu. Raya tersenyum. "Iya, Om." "Jangan panggil saya Om, Raya." "Maaf." Raya nyengir. "Ya sudah, saya tinggal dulu. Jangan pergi sebelum saya jemput," ucap Zio. "Aku bakalan pergi pas jadwal pulang sekolah." "Saya datang sebelum jam pulang sekolah kamu." Raya mengangguk kaku. Setelah itu, Zio benar-benar pergi. "Kok dia baik ya?" Raya bertanya pada dirinya sendiri. Setelah masuk, gadis itu lalu duduk dan membuka ponselnya. "Dia nggak jahat, ‘kan?" Selanjutnya, Raya mulai berasumsi yang aneh-aneh dalan pikirannya. Mulai dari kenapa Zio baik kepadanya sampai apakah Zio menyukainya. Oke, opsi kedua sangat tidak mungkin. Tapi, Raya benar-benar penasaran kenapa pria itu justru memberikan kartu akses apartemennya pada Raya. Apartemen ini bahkan mewah dan luas, apa pria itu tidak takut jika Raya akan mencuri barangnya walau Raya sendiri tidak mungkin melakukan itu. Raya berhutang budi pada pria bernama Zio itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD