Bab 2: Sadar Dari Koma 2

1386 Words
# Saat Axel tiba di rumah, Zio sudah berada di dalam kamarnya. "Zio ingin tidur dengan papa?" tanya Axel begitu melihat raut wajah putranya yang menggemaskan. Memang putranya terbiasa tidur dengan pengasuh atau dengan dirinya jadi tidak heran kalau kali ini bocah itu menunggunya. Di luar dugaan putranya malah menggeleng pelan dan Axel baru menyadari tatapan sedih dan khawatir yang tidak seharusnya ada di wajah anak sekecil itu. "Ada apa?" Tanya Axel saat melihat raut sedih di wajah putranya tersebut. Raut sedih yang mirip dengan raut yang ditunjukkan oleh Helena tadi di Rumah Sakit kali ini terlihat jelas di wajah Zio. Tidak heran karena Zio memang lebih mirip dengan Helena secara fisik dibandingkan dengan Axel. Terutama wajah dan warna kulit Zio. Sesaat kemudian Axel kembali pada logikanya sendiri. Zio memang sangat mirip dengan Helena, baik itu mata, dagu, hidung, mulut, bahkan hingga bulu mata lentik yang menghiasi matanya, kecuali tentu saja jenis kelaminnya. Tapi Axel sama sekali tidak menyesali hal itu. Helena sangat cantik, menurunkan gennya pada Zio memberi jaminan kalau Zio akan tumbuh menjadi pria dengan fitur wajah yang tampan dan seiring waktu dia akan terlihat maskulin dengan sendirinya. Untuk sekarang, Zio terlihat cukup menggemaskan dengan gen ibunya. "Papa, apa mama sudah meninggal?" tanya Zio akhirnya dengan mata berkaca-kaca dan nada suara bergetar. Dia sedang berusaha keras untuk tidak menangis. Axel terkejut dengan pertanyaan Zio. Bagaimana mungkin anak sekecil ini menanyakan hal yang bahkan belum bisa dimengerti di usianya yang masih terlalu belia. Bagaimana anak empat tahun bisa memiliki pemahaman yang jelas tentang kehidupan dan kematian? Dia pasti mendengar ini dari seseorang. Axel meraih putranya dan mengacak rambut anak itu pelan. "Mama sedang berlibur seperti biasanya. Dia akan kembali dalam beberapa hari lagi. Siapa yang mengatakan hal seperti kepadamu?" Tanya Axel. Zio menggeleng pelan. Dia menolak dan tampak tidak ingin mengatakan kepada ayahnya kalau dia sesungguhnya tanpa sengaja mendengar guru dan teman-teman di sekolahnya berbicara tentang kecelakaan yang menimpa ibunya. Salah satu anak bahkan ada yang mengatakan kalau ibunya mungkin sudah meninggal. "Baiklah kalau kau tidak ingin bicara. Sekarang biar papa yang bertanya. Apa kau merindukan Mama?" tanya Axel. Selama ini Helena tidak pernah menunjukkan perhatian yang berarti pada Zio. Axel bisa melihat kalau Helena bahkan menganggap Zio menyebalkan atau mengganggu. Sebuah keajaiban di mata Axel ketika melihat betapa kuat ikatan batin yang dirasakan putranya pada istrinya tersebut. Zio diam sejenak. Dia tidak tahu pasti harus menjawab bagaimana karena meski masih kecil, dia tahu kalau dirinya dan ibunya tidaklah sedekat anak-anak lain dengan ibu mereka. Zio bahkan tidak ingat kalau ibunya pernah menggendong atau menciumnya, tapi tetap saja dia tidak ingin kehilangan ibunya. Hanya dengan memikirkan kemungkinan ibunya meninggal saja sudah membuatnya merasa sangat kesepian, dan dia tidak suka dengan perasaan seperti ini. Akhirnya Zio menatap ayahnya dengan tatapan sungguh-sungguh. "Aku mungkin sangat merindukan Mama. Papa, aku rindu pada Mama," ucapnya terus terang. Axel sedikit merasa bersalah pada putranya karena jika saja kecelakaan ini tidak terjadi, dirinya dan Helena pasti sudah bercerai. Sedangkan Helena sudah pasti akan terbebas dari kewajiban untuk mengurus Zio. Axel bisa menduga kalau Helena tidak akan mau repot-repot menengok Zio nantinya tapi Axel tidak pernah sampai berpikir kalau akan menjadi sesuatu yang sulit bagi seorang anak untuk kehilangan salah satu orang tuanya meskipun mereka sama sekali tidak dekat. "Bukankah mama selalu meninggalkanmu? Apa bedanya dengan sekarang? Kenapa kau harus sangat merindukan Mama sekarang?" tanya Axel hati-hati agar jangan sampai rasa ingin tahunya malah melukai perasaan anaknya yang masih kecil itu. Zio tampak berpikir sejenak. "Aku rasa, itu karena mama tidak suka dengan anak kecil. Saat aku jadi dewasa nanti mama akan menyukaiku begitu saja karena kata kakek dan nenek, aku mirip mama. Karena Mama sangat suka dengan diri Mama sendiri, maka Mama pasti akan suka padaku yang mirip dengan Mama kan? Sekarang, tidak apa-apa Mama selalu meninggalkanku. Yang penting kan Mama selalu pulang. Tidak peduli berapa lama Mama pergi, Mama selalu akan pulang. Aku hanya menjadi sangat merindukan Mama karena aku takut kali ini Mama tidak akan pernah pulang lagi," ucap Zio. Axel memeluk Zio. "Mama bilang padamu kalau dia tidak suka anak kecil?" tanya Axel. Dia tidak ingin menyalahkan Helena. Tapi bagaimanapun juga dia tidak pernah menyangka kalau Helena bisa mengatakan tentang dirinya yang tidak suka anak kecil kepada anak kandungnya sendiri. Hal tersebut terlalu berlebihan menurut Axel. Namun, Zio menggeleng. "Aku mendengar Mama bicara di video call dengan teman Mama. Mama bilang kalau mama tidak suka anak kecil yang merepotkan. Aku rasa kalau aku berlatih menjadi anak kecil yang tidak merepotkan, Mama akan lebih menyukaiku. Teman-teman di TK semua menyukaiku. Guru-guru juga," ucap Zio polos. Siapa yang tidak akan menyukai Zio dengan wajah seperti itu? Bukan sekali dua kali Axel dihampiri agen pencari bakat saat membawa putranya makan di luar atau bahkan ke taman bermain di waktu senggangnya. Tampaknya, lebih mudah bagi putranya untuk meraih perhatian orang lain dibandingkan meraih perhatian ibu kandungnya sendiri. Axel mengusap pelan punggung Zio dalam dekapannya. Puteranya Zio adalah buah hatinya serta satu-satunya hal berharga dan yang terpenting untuknya kini. Dia kemudian teringat kata-kata ayah mertuanya saat di rumah sakit tadi. “Anggap saja kali ini semuanya demi Zio, anak kalian.” Suatu saat nanti, jika ingatan Helena kembali dan dia ingin melanjutkan proses perceraian mereka maka dia akan menyetujuinya selama Helene berjanji untuk sesekali mengunjungi Zio. Tapi sekarang, saat ada kesempatan bagi putranya untuk bisa bersama dengan ibu kandungnya lebih lama, sebagai seorang ayah, yang bisa dia lakukan hanyalah mengabulkan hal itu. Setidaknya, dia akan punya lebih banyak waktu mempersiapkan Zio ketika perceraian mereka terjadi di masa depan setelah ingatan Helena kembali. Dengan begini Zio tidak akan terlalu terluka. "Papa berjanjilah kepadaku kalau mama akan kembali seperti sebelum-sebelumnya?" tanya Zio. Axel mengangguk sambil mencium dahi puterannya. "Tentu saja. Papa berjanji Mamamu kali ini akan kembali pulang. Sama seperti yang seharusnya," ucap Axel. # Helena menatap iba ibunya yang tertidur lelap. Untunglah ruangan ini adalah ruang VIP sehingga kedua orang tuanya diberi tempat untuk beristirahat. Dia tidak bisa membayangkan kalau misalnya ini bukan ruang VIP. Kedua orang tuanya pasti hanya bisa tidur di lantai dengan beralas tikar atau selimut dan dia tidak akan tega jika hal itu sampai terjadi. Besok Helena akan mulai menjalani terapi untuk mengembalikan otot-otot tubuhnya yang melemah selama dirinya koma. Namun, satu-satunya hal yang membuatnya bersemangat adalah bertemu dengan putranya. Kalau boleh jujur, dia tidak paham mengapa ada dorongan yang begitu besar dalam dirinya untuk bertemu Zio, putranya. Padahal dia bahkan tidak tahu kalau dirinya akan memiliki perasaan yang berarti untuk anak itu. Semua terasa begitu cepat bagi Helena. Dia terbangun tanpa mengingat apa-apa bahkan namanya sendiri, namun kemudian kedua nama itu muncul di otaknya begitu saja. Axel dan Zio Kedua nama itu berputar-putar di otaknya dari saat ketika dia pertama kali membuka mata. Namun saat bertemu Axel untuk pertama kalinya tadi siang, Helena tidak menyangka kalau dia malah merasakan seperti ada jarak yang begitu jauh antara pria itu dan dirinya. Apakah ini wajar? Bukankah mereka berdua adalah suami istri? Seakan-akan ada jurang tak kasat mata di antara dirinya dan Axel. Bagaimana dengan putranya? Akankah dirinya merasakan perasaan asing dan canggung seperti seperti ketika dia bertemu Axel? Helena menarik napas berat. Dia menatap foto seorang anak laki-laki yang menjadi wallpaper ponsel milik ibunya. Ponselnya sendiri hancur saat kecelakaan, jadi sekarang ibunya meminjamkannya ponsel agar dia bisa sering-sering melihat foto Zio dan juga Axel. Sebenarnya Helena tidak meminta. Lebih seperti ibunya memaksa dirinya untuk terus-menerus melihat foto keluarga kecilnya itu. Helena mengusap foto anak lelaki berusia sekitar empat tahun di layar ponsel ibunya. Dibandingkan dengan Axel, Zio ternyata lebih mirip dengan dirinya. Mengejutkan sekali. Jika tidak, dia mungkin bisa saja membuat penyangkalan dalam hati kalau anak itu bukan anaknya. Meski begitu, Helena tetap merasa khawatir. Bagaimana, jika andai saja Axel salah? Bagaimana jika andai saja Zio membencinya? Karena sepertinya dia bukan ibu yang baik di masa lalu. Helena meletakkan ponsel ibunya di atas nakas. Dia kemudian menatap lurus ke arah cermin yang memantulkan bayangan wajahnya dan tiba-tiba dia bahkan merasa asing dengan bayangannya sendiri. "Sebenarnya, apa yang sudah terjadi di masa lalu? Apa aku orang jahat? Atau orang baik? Apa aku menyakiti orang-orang yang kusayangi? Mengapa aku tidak bisa mengingat apa pun?" ucapnya pada dirinya sendiri. Helena benci merasa tidak nyaman. Dan keadaannya sekarang membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Jadi dia memutuskan untuk mencoba yang terbaik besok, sampai terapinya selesai nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD