Waktu itu...
Hansika sudah menyiasati sebaik mungkin untuk hari ini, melirik mesin waktu yang melingkar di pergelangan tangan. Akhirnya ia kembali ke Jakarta setelah hampir tiga minggu berada di luar kota, selain keluarga... tentu ada waktu berkualitas yang ia ingin habiskan dengan kekasihnya.
“Satya tahunya aku selesai masih setengah jam,” gumamnya dan tersenyum.
Ia merapikan penampilannya, menyemprotkan parfum dititik-titik favorit leher dan pergelangan tangannya lalu ia memastikan make up sederhananya. Tepat suara dering ponsel menarik atensinya.
Hansika cepat meraihnya dari atas meja sambil menarik tasnya, bibirnya kian tersenyum dapati Nando menelepon.
“Kamu sudah sampai rumah sakit lagi? Dipercepat ya, walau aku sudah bohong ke Satya... dia suka sulit ditebak dan kayak hantu, tahu-tahu muncul!”
“Ini aku sudah memasuki area rumah sakit, Babe. Kamu keluar, tunggu depan lobi saja... kita langsung cabut.”
“Oke, bagus! Aku ke sana.”
“Ini sudah pasti peliharaan Papi-mu percaya, kalau kamu ada lembur?”
“Harusnya sih,” kata Hansika penuh harap.
Peliharaan Papi yang dimaksud Nando bukan simpanan berupa gadis muda yang jadi sugar baby-nya. Sebutan untuk pengawal setianya yang mengawasi Hansika dengan ketat, terlalu setia sampai coba negosiasi halus sampai pakai uang pun tidak pernah tergoda. Sebutan untuknya terdengar kasar, itu juga karena Satya sendiri dianggap setia seperti peliharaan.
Hansika selalu berpakaian rapi terkhusus bila sedang jadwal praktik di rumah sakit. Seperti sekarang, ia memakai atasan lengan panjang garis-garis berwarna biru dan celana putih. Rambutnya yang panjang bergelombang jatuh dengan rapi, tebal dan wangi, yang ketika ia melangkah, ujungnya ikut bergerak lembut.
“Rencananya kita ke mana, habis makan malam?”
“Hanya makan malam, Papi kamu masih kasih aturan jam malam.” Nando mengingatkan, “kita sedang berusaha mendapatkan restunya, jadi aku enggak mau mengecewakan lalu bikin daftar hitam untuk jadi alasan ditolaknya.”
Hansika menghela napas dalam-dalam, menipu Satya malam ini pun sebenarnya bisa jadi masalah dengan Papi, “maaf ya, aku juga sudah berusaha negosiasi Papi mengenai jam malam.”
“It’s oke, Babe... sudah bisa makan malam sama kamu saja, tanpa gangguan si Doggy Papi kamu yang setia itu, melegakan. Kita hampir tidak pernah bisa leluasa pergi berdua.”
Sebenarnya Nando bekerja untuk rumah sakit RMC juga, bagian konsultan keuangan perusahaan. Dia hari ini sudah pulang sejak sore, kembali untuk menjemputnya.
Hansika lega saat kakinya terus melangkah meninggalkan ruang praktik, lalu berjalan terus dengan tenang karena tak ada tanda Satya. Kemungkinan besar mengelabuinya hari ini, akan berhasil.
“Malam dok, sudah mau pulang? Hati-hati di jalan...” ucap staf rumah sakit, baik perawat atau staf lainnya saat berpapasan dengannya.
Ya, dia sangat disegani. Selain dokter di sana, Hansika juga putri dari penerus, sekaligus presdir utama rumah sakit. Hansika sebagai anak pertama, akan meneruskannya di masa depan nanti. Itu juga jadi tujuannya, selain menjadi dokter pun ingin bisa mencapai kesuksesan karier dan pendidikan seperti Maminya.
“Aku naik lift ya, kamu di lobi saja.” Ucap Hansika. Setelah Nando mengiyakan, telepon berakhir dan Hansika masuk ke lift yang terbuka lebih dulu dari lima lift berjajar di sana.
RMC salah satu rumah sakit besar di Jakarta, bertingkat-tingkat dan luas dengan banyak pekerja tenaga medis, staf lain yang bergabung. Jadi incaran utama dokter muda untuk koas. Dengan dokter-dokter terbaik, bahkan menjalin kerja sama dengan rumah sakit lintas negara seperti Singapura. Semua tidak luput dari kerja keras kedua kakeknya dulu, Prof. Putra Rajata dan Prof. Kaflin Lais. Opapu sudah lama tiada, bahkan dari Hansika masih remaja, sementara Eyang Kaflin masih diberkati umur panjang meski tubuhnya sudah semakin menua.
Hansika menunduk, membuka pesan dan membalas pesan di grup keluarga. Saat itulah, jepitan rambutnya jatuh. Hansika berjongkok, mengambilnya tepat pintu lift terbuka.
Dia menegakkan tubuhnya, masih melihat ponsel sampai tiba di lobi, pintu lift terbuka tampak lamban, lalu melangkah dan dapati seseorang berdiri tepat depan pintu lift sambil memberi anggukan kaku tanpa senyum. Wajah tegas, terlalu dingin yang buatnya membeku. Diam di tempat.
Bukan Nando, tapi Satya.
“Selamat malam, Nona... Rupanya, hari ini tidak jadi pulang terlambat? Bagus saya, berinisiatif tetap menjemput di waktu yang tepat.”
Garis wajah Hansika langsung tegang, ia bersedekap “kuyakin kamu memang sengaja! Enggak usah berbohong dengan pasang wajah sok cool-mu itu!”
“Nona yang berbohong, bukan saya.” ucapnya.
"Beraninya kamu! Astaga!" Decak Hansika.
Hansika menatap sekitar, menahan diri dari rasa ingin mengamuk dan mencakar wajah pria di hadapannya, saat ia ingat sudah di lobi rumah sakit yang tetap banyak pengunjung atau staf. Dia harus menjaga identitas dan citra yang akan diperhitungkan sebagai calon penerus RMC.
Keparat sekali, kamu Satya! Lihat saja nanti! Batin Hansika.
Satya tetap berdiri, lalu mundur untuk mengambil posisi di belakang Hansika bagai bayangan seperti biasa.
“Saya tahu Nona kesal, lain kali cari alasan lebih masuk akal. Jelas-jelas saya punya banyak mata, untuk dapat informasi jadwal ter-agenda atau mendadak Nona di rumah sakit.”
Hansika mengepalkan tangan, tanpa melirik... dia menjawab “awas kamu, Satya. Suatu hari nanti, saya pasti berhasil mengelabui kamu!” janjinya.
Satya tidak menjawab, wajah masam juga ditunjukkan oleh Nando yang terpaksa membuka pintu mobilnya. Tatapannya dan Hansika bertemu, langsung tahu bila Satya seperti biasa.
Hansika sudah masuk, pintu ditutup dan menurunkan kaca saat mendapati Satya menghalangi Nando.
“Satya, kamu apaan lagi sih?”
“Saya akan ikut mobil yang sama, jika Pak Nando tidak izinkan Nona pergi dengan mobil pribadi Nona.”
Hansika mendengus, “masuk!”
Satya mengangguk, Nando berdecak.
“Kita di rumah sakit, dan Satya enggak akan menyerah. Aku sudah lapar, yang penting kita bertemu kan?” Hansika memberi penjelasan begitu Nando duduk di belakang kemudi. Dia juga kecewa, tapi mau bagaimana lagi?
Sementara Satya di belakang Hansika.
Hansika menoleh ke belakang, dapati Satya duduk tegap dan tetap seolah penuh waspada dalam diamnya. Ia menatap Nando, tangannya terulur menyentuh lengan kekasihnya. Memberi usapan lembut coba meredakan kesal sang kekasih.
“Aku juga kesal, tapi kan kamu sendiri yang bilang... kita lagi dalam misi dapati restu Papi. Satya bisa ngadu, dan itu akan menyulitkan kita berdua.”
“Ya, dia memang tukang mengadu. Pekerjaannya memang harus menurut sama majikannya.” Kata Nando dengan sarkasme.
Satya hanya diam, Hansika menghela napas dalam. Tatapan Satya tertuju pada tangan mereka yang saling menggenggam lalu Nando mencium punggung tangan Hansika.
"Anggap saja dia tidak terlihat," ucap Hansika, walau nyatanya sulit. Dia tidak suka cara Satya mengawasi dengan tatapan tajamnya.
Rsanya tidak nyaman untuk Hansika dan Nando, kencan tapi ada sang bodyguard yang mengawasinya tanpa kelonggaran sedikit pun.
***
Masa Sekarang...
“Babe, kamu dengar aku bicara?” tanya Nando, menyentuh tangan Hansika yang menarik kesadaran dari kejadian ingatan masa lalu. Sebelum dapat restu dan bertunangan. “Kamu melamun?”
Hansika mengerjap pelan, menyadari jika kini ia duduk di meja yang ada di resto tidak jauh dari RMC. Makan siang bersama, tapi bukan hanya dengan Nando. Melainkan ada teman dekatnya sesama dokter, Nayla Thalina yang ikut dan duduk tepat di hadapan Nando, lainnya Satya duduk di meja lain, tetapi matanya mengawasi.
“Sori, tadi kamu ngomong apa?”
Mereka sudah selesai makan, tetapi masih belum beranjak dari sana.
Nando meraih tangannya yang terdapat cincin pertunangan, Hansika menatap tautan jari mereka dan rasanya ia ingin menariknya lepas walau berakhir pasrah.
Nando melirik Satya, “Papimu serius ternyata masih menempatkan Doggy—“
“Satya, namanya Satya.” Entah mengapa Hansika langsung ingin menghentikan Nando untuk berhenti memanggil Satya begitu, yang rasanya dulu ia biarkan tapi kini dia tidak suka merendahkan pengawalnya lagi.
Keterkejutan muncul di wajah Nando, sampai ia menatap lekat dengan kernyit di dahi seolah tengah menemukan sesuatu yang berbeda sejak hari pertunangannya pada diri Hansika.
“Kenapa tiba-tiba? Kamu sendiri yang bilang saking dia setianya dengan Papimu... seperti peliharaan.”
Hansika menarik tangannya lepas dari sang tunangan, menurunkan ke atas pangkuan. Sementara Nayla tetap duduk meski memainkan ponsel, Hansika merasa tak nyaman ada keberadaannya. Padahal dulu, sebelum-sebelumnya ia biarkan Nayla pergi bersamanya dan Nando.
“Ya, aku salah... tidak seharusnya kita menyebutnya begitu. Dia manusia, dia bekerja untuk Papi jadi wajar bila dia setia. Bagus, itu pasti yang buat Papi sangat percaya dan tidak menggantikannya dengan siapa pun. Jadi aku minta, kamu jangan menyebutnya seperti itu lagi.”
Nando berdecak tidak percaya, menggeleng pelan.
Hansika menoleh, saat kekasihnya kembali menilai...
“Aku ngerasa kamu berubah, Hansika. Entah apa, tapi kamu enggak konsisten sama yang sudah dibicarakan dulu.”
“Bagian mana enggak konsistennya diriku?”
“Pertama, kamu janji bakal minta Papi bagaimana pun caranya untuk membuat Satya tidak terlalu mengawasi terutama saat kita berdua. Aku tunangan kamu sekarang, kita akan menikah. Tapi, pas membahasnya... kamu kelihatan tidak mau upaya sesuai omongan sebelumnya.”
“Kita sudah bahas ini, Papi enggak akan kasih. Malah akan mempertanyakannya, kamu aku minta yang bilang ke Papi juga, enggak beranikan?” Hansika tidak tahu sedang mengatakan yang sebenarnya, atau mencari pembenaran karena ia merasa setuju untuk tetap Satya menjaganya.
“Oke, ini aku sudah enggak mau debat sama kamu. Tapi, paling tidak... pas aku mau berdua sama kamu, sekedar makan siang... kenapa kamu tadi sempat menawarkan Satya duduk di sini, satu meja dengan kita? Aku ingin bisa berduaan sama tunanganku, apa salah?”
Hansika langsung menatap Nayla yang tertangkap tengah memerhatikan ke arah mereka, “nyatanya, kita enggak makan berdua. Nayla juga di sini...” ia hanya menjawab begitu.
Lalu memerhatikan ekspresi Nando sekilas, sebelum ia mengambil gelas dan minum dengan tenang. Nayla jelas terkejut juga. Sama saja Hansika baru menunjukkan sikap berbeda termasuk pada sahabatnya.
“Jam makan siang akan segera berakhir, kamu nanti langsung balik ke rumah sakit saja. Aku pulang sama Satya.” Putusnya, Hansika tidak ada jadwal atau agenda lain di rumah sakit hari ini.
Dari mejanya, Satya yang memiliki pendengaran tajam bisa menangkap perdebatan antara Nonanya dengan sang tunangan. Dia tetap menikmati kopinya, duduk tegap dan membaca situasi sekitar. Padahal jelas, ia masuk dalam alasan perdebatan mereka meski tidak melakukan apa-apa, selain patuh.