PART 7 - BERITA MENGEJUTKAN.

1431 Words
Dalam sekejap jalan tol itu ramai oleh pengemudi mobil yang menghentikan mobilnya karena tabrakan beruntun yang tak bisa dikendalikan. Kejadian itu terlalu cepat terjadi. Beberapa mobil tampak ringsek, sementara beberapa lagi tampak mengeluarkan asap dari kap depan. Penumpang kecelakaan ada yang berhasil keluar dari mobilnya, ada pula yang sudah tak berdaya dan kehilangan kesadaran. Begitu juga dengan seorang lelaki bernama Restu yang sesaat mendapati kesadarannya lalu membuka mata. Ia menoleh ke samping. Terlihat kepala calon istrinya yang bernama Murni lunglai dangan wajah bersimbah darah. "Mur-Murni?" lirihnya. Ia mencoba menggapai wajah calon istrinya. Tapi Murni tak bersuara. "Hallo Restu? Kalian kenapa? Restu?" Suara dari ponsel yang tak jauh dari Restu masih terdengar. Itu suara Mama. Batinnya. Masih dengan kepala pusing dan darah yang mengalir di kepala, Restu berusaha meraih ponsel yang masih terhubung. "Ma," desisnya menahan sakit teramat sangat. Dengan tertatih, bisa juga ia mendekatkan ponselnya ke telinga dengan menahan rasa sakit pada sekujur tubuh dan kepala. Sebelah kanan memegang ponsel dan sebelah kiri mengusap pipi Murni, masih berusaha membangunkan gadis itu. "Restu! Ya Tuhan, kalian tidak apa-apa?" "Aku kecelakaan, Ma. Mur-Murni gak gerak Ma." "Ya Tuhan Restu, kamu kasih tahu Mama kamu dimana?" "Sa-sakit Ma," rintihnya. Kegelapan menjemput lelaki tampan seiring dengan lunglainya tangan yang membuat ponsel itu kembali lepas dari tangannya. "Restu! Restu!" Sekeras apapun suara dari dalam ponsel, lelaki itu tak lagi kuasa untuk menjawabnya. "Hey, ini ada korban juga!" Teriakan dari luar mobil mengakibatkan beberapa orang mencoba mendobrak mobil dan mengeluarkan Restu juga calon istrinya. Sementara di sebuah rumah di daerah ibu kota. "Bagaimana Ma?" Seorang lelaki tampak khawatir sekali melihat istrinya yang kini bersimbah air mata. "Gak ada suara pa, anak kita kecelakaan. Kita susul sekarang ke sana ya pa." Elsi,ibu kandung dari Restu semakin terisak. Sejak tadi ia berusaha menghubungi putranya tapi tiba-tiba suara anaknya lenyap begitu saja. Jantungnya seakan lepas dari raga membayangkan kondisi putra satu-satunya itu. "Ayo Ma, kita ke sana sekarang. Semoga Restu baik-baik saja." Subrata bergegas menghubungi anak buahnya untuk segera menyiapkan keberangkatan mereka ke daerah Banten. Malam terus merayap jauh, ketika Elang sampai di depan rumahnya. Sebuah rumah yang bisa dibilang sederhana sekali. Rumah peninggalan mendiang ayahnya. Yah, Elang sudah lima tahun ditinggal pergi sang Ayah karena sakit. Saat itu ia sudah hampir lulus kuliah dan kini ia sudah bekerja menggantikan ibunya yang semula bekerja menggantikan sang ayah. Mereka hanya memiliki sebuah rumah dan beberapa kotak sawah untuk menunjang hidup keduanya. Tapi saat Elang akhirnya bekerja, ekonomi mereka mulai sedikit membaik. Elang yakin ibunya sudah tertidur. Ia memasukkan anak kunci ke lubang pintu. Sengaja ia bawa agar tidak mengganggu tidur Ibunya. Senyumnya masih terlihat di sudut bibir, ketika ia masuk ke dalam ruang tamu. Teringat perkataan Nilam sebelum mereka berpisah. "Jaga mata kamu di kota sana. Jaga hati kamu, jangan kepicut sama orang kota." Mereka saling berpandangan. Itu yang mereka lakukan sesaat sebelum berpisah. Terlihat sekali sang kekasih berat melepas kepergiannya kali ini. Tapi kalau mau jujur, setiap mereka pisah karena Elang harus ke kota, pasti Nilam berkata seperti itu. Biasanya Elang akan pulang seminggu sekali, tapi belakangan tugasnya menumpuk jadi ia pulang dua atau tiga minggu sekali. Tentu saja Nilam melancarkan protes, karena harus menahan rindu. Padahal Elang pun sama, harus kuat-kuat menahan rindu di sana. "Sekalipun kamu belah hati aku, cuma nama kamu yang ada di sini. Terukir indah dengan tinta emas. Cuma ada nama Nilam Cahya." Wajah Nilam mendadak murung. "Kalau aku belah, nanti kamu mati. Terus aku sama siapa nanti?" Bibirnya merengut kesal dan itu sangat menggemaskan sekali. Tak tahan, Elang mengacak rambut milik kekasihnya. "Sudah sana masuk, sudah malam. Nanti malah kena tegur Paman." Sekalipun hubungan mereka sudah mendapat restu dari walinya Nilam. Tapi Elang menjaga sekali kekasihnya. Tak ada sentuhan dekat yang mereka lakukan selama ini. Elang ingin mendapatkan Nilam utuh setelah mereka menikah nanti. "Kamu besok berangkat ke kota, hati-hati ya. Kabari kalau ada apa-apa." Elang mengangguk. "Kamu juga jangan lupa tengok calon ibu mertua ya," goda Elang. Nilam mengangguk. Ia memang sering berkunjung ke rumah ibunya Elang, Ibu Rokayah. Seorang janda yang hanya memiliki satu putra saja. Bersama Rokayah membuat Nilam merasa memiliki seorang ibu. Rokayah menyayangi dirinya, seperti anak sendiri. Itulah sebabnya Nilam pun tidak sabar ingin segera menikah dengan Elang. Sayang, tahun depan semua baru terlaksana. Dan selanjutnya mereka berpisah. Elang mungkin akan kembali bulan depan. Ia harus fokus pada pekerjaan barunya di kantor yang baru. Ia piawai meloby customer di kantor cabang, hingga mendapat kesempatan berkarir di kantor pusat. Tiga tahun mengabdi, akhirnya kesempatan berkarir itu muncul. Tentu Elang tidak akan biarkan kesempatan itu hilang. Ia harus mengumpulkan pundi-pundi rupiah guna mewujudkan mimpinya bersama Nilam. Yah, mereka memiliki impian hidup bersama. Walau tidak megah dan mewah, Elang ingin suatu hari nanti bisa melamar Nilam dengan pesta yang kecil-kecilan. Ingin menjadi yang berarti di dalam hidup gadis cantik nan ayu itu. Lama berteman dan kemudian berubah menjadi sepasang kekasih, tak membuat keduanya ragu untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Apalagi mereka sama berasal dari kalangan bawah. Mimpi mereka tidak terlalu berlebihan seperti pasangan pada umumnya yang melihat kemewahan semata dalam sebuah acara pernikahan. Elang bersyukur Nilam memiliki hati selembut sutra, tutur katanya pun baik dan sangat menyayangi ibu kandungnya. "Hmmm." Deheman dari arah dalam membuat Elang menoleh. Ia melihat sang Ibu berdiri di ambang kamar depan. Sementara kamar belakang milik Elang. "Baru pulang?" Rokayah, satu-satunya wanita yang Elang miliki sekarang. Nanti akan menjadi dua, wanita yang berarti dalam hidupnya setelah ia menikah dengan Nilam. "Tadi antar Nilam dulu bu, habis pulang dari pasar malam." Elang duduk di kursi diikuti Rokayah. Ia tak menyangka ibunya masih terjaga, padahal malam sudah sedemikian larut. "Ibu kenapa belum tidur?" Rokayah menghela napas. "Mana bisa ibu tidur kalau anak bujang belum kembali." "Aku bukan anak kecil lagi bu." "Tetap saja kamu anak ibu, Elang. Rasa khawatir ibu tidak akan berubah. Nanti kalau kamu sudah menikah dengan Nilam, kekhawatiran ibu sedikit berkurang." "Kok begitu? Memang ibu gak sayang lagi sama aku?" "Bukan gak sayang, tapi ada istrimu yang selanjutnya akan lebih cerewet mengurusmu. Jadi ibu gak mau ikutan pusing. Kamu malas makan, susah tidur pasti istrimu yang akan menegur. Tugas ibu sudah selesai." Elang meraih telapak tangan keriput milik Rokayah. "Terima kasih ibu sudah mau menerima Nilam." "Dia gadis baik, ibu pasti senang memiliki menantu seperti Nilam. Sudah cantik, suaranya merdu, sopan pula. Kalau dia menikah sama kamu, cucu ibu pasti cantik dan tampan." Kembali Elang terkekeh. "Ibu, menikah saja masih belum pasti. Masa sudah bicara cucu." "Ibu mau cucu yang banyak. Rumah sepi karena cuma kamu saja di sini. Jadi kalau bisa cucu ibu itu harus banyak." Beberapa detik berlalu begitu saja. Rokayah tidak menyangka putranya sudah sebesar ini, dan akan menjadi kepala rumah tangga. Waktu berlalu begitu cepat ternyata. "Bekerja yang benar biar bisa kumpul uang. Biar ibu bangga bisa melamar Nilam. Masa bawa uang sedikit, malu sama Bu Nining." Begitu pesan Rokayah pada putranya. Terkekeh sudah Elang jadinya. "Ibu bantu doa ya, biar pekerjaan Elang lancar di kota." "Ibu pasti doakan kamu, supaya bisa meraih semua cita-cita kamu dan Nilam. Semua doa-doa yang baik untuk kamu pasti ibu panjatkan setiap hari. Sekarang kamu tidur, ibu sudah siapkan tas yang akan kamu bawa besok. Besok berangkat pagi kan? Pakai motor pula. Sana tidur." Elang melangkah ke kamar kedua. Merebahkan tubuhnya di sana. Kembali mengingat wajah sang kekasih sebelum menutup mata. "Selamat tidur Nilam. Selamat mimpi indah." Rokayah pun ikutan masuk kembali ke dalam kamarnya. Besok jam lima subuh putranya harus berangkat ke kota. Harus lebih dahulu mencari tempat kost-kostan sebelum bekerja di hari senin. Hari minggu biasanya Nilam bangun agak siang. Tapi kali ini ketukan di pintu membuatnya membuka mata dengan sangat terpaksa. Matanya masih sangat berat, menandakan ini belum waktunya ia bangkit dari pembaringan. Atau bisa jadi karena semalam ia pulang terlalu larut diantar kekasih? Perpisahannya yang kali ini sepertinya akan lama dengan Elang, itu sebabnya ia lebih lama menghabiskan waktu di pasar malam, andai tak ingat Elang yang terus mendesaknya pulang. Khawatir dimarahi Paman dan bibiknya di rumah. "Nilam! Nilam! Buka pintu!" Kembali ketukan yang lebih mirip gedoran terdengar. "Iya, sebentar." Nilam menyibak selimut. Merapikan rambutnya yang terlihat berantakan sekali. Ciri khas orang baru bangun tidur. Matanya melirik jam, masih jam lima lewat lima belas menit. Masih pagi? Ada apa sih? Apa kak Murni datang? Semalam ditunggu-tunggu gak datang. Dengan masih mengusap wajahnya, Nilam membuka pintu. Terlihat Pamannya berdiri menatap dengan nada cemas. "Nilam, segera kamu ikut Paman ke rumah sakit sekarang." Nilam mengerjap. Gak salah? "A-apa Paman? Rumah sakit? Si-siapa yang sakit?" Sepertinya Nilam belum seutuhnya menginjak bumi, sehingga kepalanya masih sedikit pusing. "Murni, kakakmu Murni dan calon suaminya kecelakaan semalam."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD