06. Bertemu Hantu Ghibah

1160 Words
Sekali kayuh dua pulau terlampaui. Si Manis begitu bersemangat ingin menghajar lelaki yang dipanggil Paman Apokat oleh Inul. Bukan hanya karena pria itu telah m*****i Inul, tapi juga karena Paman Apokat-nya Inul sudah menyabotase manusia yang seharusnya ditakuti oleh Si Manis Jembatan Ancol. “Manis, Manis, jangan ....” Inul berusaha mencegahnya dengan menahan kaki Si Manis. Namun hantu centil itu sudah bagai arwah kerasukan terus mendekati mangsanya, sambil menyeret tubuh Inul yang menahan kakinya sampai tengkurap di tanah. “Minggir, Inul! Saya harus memberinya pelajaran supaya dia ndak m*****i kamu terus-terusan. Matanya harus dibukakan dengan siapa dia berhadapan!” “Ndak boleh! Inul ndak akan mengizinkan Manis melakukannya!” teriak Inul bersikeras. “Lalu, kamu mau si apokat itu menodaimu berkali-kali toh?” sarkas Manis. Inul tertegun. Mendadak terbayangkan olehnya, Paman Apokat menciumnya berulang-ulang ... mirip adegan kaset video yang rusak. Tak sadar bibir Inul mengerucut ke depan seakan tengah menanti ciuman yang diharapkannya. Cup! Cup! Cup! Cup! Cup! Cup! Cuuup! Adegan itu berhenti ketika Manis menendang Inul gemas. “Apa yang kau lakukan? Kamu mencium kaki saya! Geli sekali! Saya masih normal, Inul. Jangan menggoda saya!” Astaga, apa yang dilakukannya? Saking hebohnya berfantasi, Inul tak sengaja menciumi kaki Manis, tapi tak mungkin dia mau mengakui aibnya, kan? “Ngawur wae. Inul tadi itu berkhayal. Saking lapar, kaki Manis jadi mirip sate,” ucap Inul sambil menyengir kuda. Pletak! Si Manis menjitak kepala Inul dengan gemas. Bagaimana mungkin kakinya yang ramping disamakan dengan buntalan sate berlemak? Cih, ini pelecehan sekali! Inul masih mengusap kepalanya yang tadi dijitak Manis saat hantu ganjen itu melesat mendekati obyek yang mereka perdebatkan. “Tidaak!” Inul segera melesat mengejarnya. Kedua hantu wanita itu tiba di depan beberapa pria yang masih belum menyadari kehadiran mereka. Dan masih saja hantu-hantu wanita itu sibuk berdebat. “Mengapa kamu mencegah saya, Nul? Kamu gila toh sama dia? Habis dinodai kamu jadi pengin diutik-utik terus? Sinting, apa kamu berniat menggeser saya sebagai hantu paling ternoda toh?” “Ndak begitu, Manis. Inul ndak minta diutik-utik. Inul cuma mau hidup damai. Eh, ngomong-ngomong masa hidup kita wes expired toh. Jadi bagaimana ngomongnya? Apa kita tanya Hantu Togel? Dia tahu semua istilah togel. Inul mesti ngomong bagaimana? Inul cuma mau menjalani masa kadaluarsa hidup kita ... eh, menjalanin masa kematian kita dengan tenang. Eh, ndak cocok juga. Lah, terus piye toh?” Inul menggaruk-garuk rambut keritingnya yang memang gatal karena kutunya gerah dipaksa ikut mikir. “Inul, ndak usah berbelit-belit kayak benang kusut! Saya ndak peduli yang kamu rasakan. Pokoknya saya harus mengerjai lelaki itu! Dia sudah merebut korban saya!” “Tapi dia ndak salah, Manis. Mana Paman Apokat tahu si gendut itu adalah calon korbanmu? Emang dia dukun bisa menebak apa maumu? Eh, ngomong-ngomong soal dukun ... Bos Dukun sama si b**o seraman yang mana toh?” Mata si Manis melotot karena geram. Apa Inul telah menjelma menjadi hantu edan karena kebanyakan ghibah? Bicaranya ngalor-ngidul tak tahu sikon dan waktu! “Astaga, Inul! Sempat-sempatnya kamu ghibah saat saya akan menghajar ....” “DIAAAM!” Kedua hantu wanita itu sontak terpaku mendengar bentakan menggelegar itu. Mereka menoleh pada manusia yang mengeluarkan suara menyeramkan itu. Lah mereka itu yang hantu, mengapa malah merinding disko toh? Terbukti, kadangkala manusia lebih mengerikan dibandingkan hantu. “Paman Apokat,” bisik Inul memberitahu Si Manis siapa yang membentak tadi. “Wes tahu, diam kamu! Dia mengawasi kita kayak singa mau memangsa buruannya,” desis Manis gemas. Sepertinya si Inul otaknya ada di dengkul. Bisa-bisanya dia mengajak bisik-bisikan di situasi tegang begini. Inul terkekeh geli. “Ndak mungkin, toh. Dia itu manusia, kita hantu. Dia ndak bisa melihat kita.” Si Manis mendengkus kasar. “Sok tahu kamu, Nul!” “Ndak percaya?” Mata Inul menggerling nakal. “Inul akan membuktikannya. Biar kamu tahu kalau Inul ndak cuma bisa ghibah.” Inul berjingkat-jingkat mendekati Alfonzo, di depan pria dingin itu dia melambaikan tangannya. Alfonzo tetap fokus menatap ke depan, seakan dia tak melihat sesuatu yang aneh. Inul melirik penuh kemenangan pada Si Manis. Pandangannya seolah mengatakan ... nah, apa Inul bilang? Sayang, Manis tak memahami arti pandangan Inul. Dia mengernyitkan dahinya bingung. Terpaksa Inul berteriak padanya. “Apa Inul bilang? Dia ndak bisa melihat kita!” “DIAAAM!” Bukan Manis, tapi pria itu yang bersuara begitu kerasnya hingga Inul berjengkit kaget. Namun dia tetap yakin Alfonzo tak bisa melihatnya. “Jangan khawatir. Bukan cuma ndak bisa melihat, dia juga ndak bisa mendengar kita!” seru Inul lagi. “Saya tidak buta dan b***k,” celetuk Alfonzo. “Benar, dia seperti buta dan b***k ... eh?” Mata Inul membola besar begitu menyadari pria yang dipikirnya tak bisa melihatnya justru menanggapi ucapannya. Dia mendekati Alfonzo dan menatapnya dengan penasaran. “Paman bisa melihat saya?” Alfonzo memutar bola matanya malas. “Badan kamu sebesar gentong, mengapa saya tak bisa melihatmu? Minggir! Kamu menghalangi pandangan saya.” Inul terhuyung saat Alfonzo mendorongnya ke samping. Dia terhenyak kaget. Ternyata manusia ini bisa melihat dan menyentuhnya walau dia tak menampakkan diri! “Manis ....” Inul menoleh ke tempat Si Manis tadi, ternyata temannya telah pergi. Haiiish! Siapa yang tadi ngotot mau membantai orang? Giliran saatnya beraksi, dia malah pergi. Inul mendecih sebal, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Alfonzo. “Hei, Paman. Apa Paman tak mengingat saya?” “Apa saya harus mengingatmu?” “Yaowoh, masa Paman tak mengingat saya? Padahal Paman sudah mencium saya!” Perkataan Inul berhasil menarik perhatian Alfonzo. Pria itu mengamatinya seolah dia orang gila. Inul mengenali arti pandangan itu. “Paman, Inul tidak gila!” sembur Inul kesal. “Inul?” Mengapa nama itu terasa tak asing baginya? “Iya, ini Inul! Paman Ganteng, ingat? Inul memanggilmu begitu?” Dahi Alfonzo berkerut semakin dalam. Mana mungkin dia lupa kejadian itu? Menik bangun untuk sesaat dan mengaku sebagai Inul, Juga memanggilnya Paman Ganteng. Bagaimana gadis berambut keriting ini mengetahuinya? “Siapa kamu?!” bentak Alfonzo. “Inul! Masa Paman lupa? Kita sudah berciuman. Itu sebabnya Manis marah sama Inul karena membiarkan Paman m*****i Inul. Kata Manis nanti Inul bisa ketagihan, minta dinodai terus. Jadi itu sebabnya kami harus ....” “Diam! Kamu pasti cenayang. Atau indigo?” “Inul bukan cenayang, Paman. Inul itu ... hantu.” “Hantu?” Mendadak Alfonzo tertawa terbahak-bahak. Dia mengira Inul bercanda. Dan candaannya sangat jayus. Namun entah mengapa Alfonzo merasa sangat terhibur mendengarnya. Padahal dia tak mudah disenangkan. “Tuan, mengapa Anda tertawa dan berbicara sendiri?” Tangan kanan Alfonzo, Beno bertanya sembari menatap heran pada tuannya. Alfonzo menuding ke depan. “Apa kamu tak melihat ....?” Matanya membelalak saat melihat Inul telah menghilang. Bagaimana mungkin dia secepat itu lenyap? “Tuan?” “Apa kamu tak melihat tadi saya berbicara dengan seorang gadis berambut keriting?” Alfonzo merubah pertanyaannya. “Saya tak melihat siapapun di dekat Tuan sedari tadi,” sahut Beno datar. Alfonzo terdiam seketika, pikirannya langsung kusut. Jadi siapa yang tadi mengajaknya bicara? Apa betul dia hantu? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD