1. Bayangan

1613 Words
Jakarta, 2018 "Jadi, apa rencana kamu setelah ini?" Kian menghentikan aktivitas sarapannya dan menatap Dirga—Sang Ayah—yang juga tengah menatapnya serius. Pertanyaan yang dilontarkan Dirga amat ringan, tetapi terlalu berat untuk Kian jawab. "Mungkin Kian akan kerja di kantor kakaknya Fabian sebagai permulaan," balas Kian akhirnya, setelah jeda selama beberapa detik untuk berpikir. Sebenarnya Kian ingin sekali menjawab, bahwa ia sangat bercita-cita melamar di salah satu agensi dan menjadi model atau penyanyi terkenal. Tapi ia yakin, ayahnya hanya akan mengamuk apabila Kian mengatakan itu. Ya, Kiandra sudah pernah mengatakan cita-citanya tersebut setahun yang lalu. Dan reaksi Dirga ternyata di luar ekspektasi Kian. Dirga amat marah dan bilang, Kian harus menjadi pemimpin di perusahaan seperti Krystal, kakaknya. Pekerjaan sampah seperti itu tidak layak untuk keluarga Bagaskara. Selalu seperti itu. Ah, ya. Krystal. Kian tahu betul, ia sudah biasa. Sejak kecil, sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah keluarga Dirga Bagaskara, Kian selalu diwanti-wanti untuk menjadi seperti Krystal; anggun, cerdas, berwibawa, dan selalu menjadi yang pertama. Ketika umur Kian menginjak lima belas tahun, tubuh Kian menggemuk karena Kian akui Kian menyukai makanan manis dan sering kali malas berolahraga. Mama Tania dan Ayah Dirga marah besar. Katanya, Kian tidak boleh gendut. Kian harus ramping dan cantik, seperti Krystal. Selama berbulan-bulan, porsi makan Kian diatur, bahkan hanya makan sekali dalam sehari. Memang tubuh Kian setelahnya kembali kurus, tetapi bagaimana dengan perasaan Kian? Dengan penderitaan Kian yang mati-matian olahraga tanpa asupan makanan yang cukup? Mereka tak peduli. Yang mereka pedulikan hanyalah, Kian harus seperti Krystal. Pernah suatu ketika, peringkat Kian di kelas menurun. Padahal, Kian hanya tidak bisa di posisi satu dengan selisih nilai sedikit. Tapi Ayah Dirga marah bukan kepalang. Katanya, menjadi keluarga Bagaskara tidak boleh bodoh. Menjadi keluarga Bagaskara harus selalu menjadi yang pertama, seperti Krystal. Yang paling menyakitkan adalah ketika Kian gagal di ujian masuk Universitas Stanford. Katanya, Kian bodoh. Krystal bisa masuk Universitas Harvard, tetapi Kian? Untuk masuk Universitas Stanford saja Kian tidak bisa. Kian sangat memalukan, kata Ayah Dirga. Kian tidak pantas ada di keluarga Bagaskara. Tapi anehnya, tetap saja Ayah Dirga memungut Kian. Lucu, bukan? "Kenapa nggak kerja di kantor Ayah saja?" tanya Dirga, menghentikan lamunan panjang Kian tentang hidupnya yang menyedihkan. "Kian ingin memulai dari 'bukan siapa-siapa' dulu, Ayah," balas Kian, lekas berdiri dari duduknya karena mulai tak nyaman dengan topik pembicaraan. "Mama harap, jangan membuat malu keluarga Bagaskara. Krystal melakukan yang terbaik untuk reputasi keluarga Bagaskara. Kamu juga harus melakukan hal yang sama," komentar Tania yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraan Kian dan Dirga. Kian hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. Lantas perempuan berusia 23 tahun itu pamit untuk kembali ke kamarnya. Tatapan Kian tertuju pada figura besar yang bertengger di kamarnya. Sebuah foto keluarga yang seharusnya nampak hangat ketika ditatap, tetapi malah terasa begitu dingin bagi Kian. Ada momen menyakitkan di balik senyuman lebar yang Kian tunjukkan hari itu. Senyuman palsu yang membentuk Kian menjadi pribadinya saat ini.   ***   Kiandra Bi, sibuk gak? Keluar, yuk. Jenuh di rumah. Fabian Free. Aku tunggu di kafenya Bara. Kiandra Gak mau jemput? Males naik taksi:( Fabian Makanya belajar nyetir, cantik! Yaudah, tungguin di depan. Aku otw sekarang. Kiandra Hehe, iya. Jangan lama. Kian bergegas mengganti pakaian dan memoles sedikit liptint di bibir ranumnya. Bagi Kian, obat satu-satunya di kala ia depresi adalah dengan keluar rumah dan berkumpul dengan teman-temannya. Meski Kian tak banyak bicara, tetapi mendengarkan ocehan unfaedah teman-temannya terasa sangat menyenangkan. Setidaknya Kian merasa, bahwa dia tidak sendirian saat bersama mereka. Kian keluar dari kamar mengenakan overall jeans sesenti di atas lutut. Rambut cokelatnya ia untun rapi. Senyuman Kian yang merekah membuat pipi bulatnya menyembul ke atas dengan mata yang mengkerut. Kian sangat cantik saat tersenyum, siapa pun pasti setuju. "Cepet banget, Bi?" gumam Kian ketika mendapati Fabian sudah berdiri di depan rumahnya. Padahal belum lima menit sejak Kian minta jemput. "Abis dari rumah Arlita tadi. Rumahnya deket sini," balas Fabian—lelaki berperawakan tinggi dengan paras menawan di hadapan Kian—dengan senyuman tipisnya. Kian berjalan mendekat. "Siapa lagi Arlita?" tanya Kian, menatap Fabian menelisik. "Pacar baru lagi?" Fabian hanya menjawab dengan cengiran lebarnya, dan Kian sudah tahu arti dari cengiran itu. Bertahun-tahun bersamanya membuat Kian hafal setiap ekspresi yang dia tunjukkan. "Kamu, tuh, Bi. Kapan tobatnya, sih?" Kian geleng-geleng kepala, menatap Fabian seraya sedikit mendongak karena tinggi badannya. "Sampai nemuin orang yang bener-bener cocok aku jadiin istri." Fabian terkekeh, mengacak poni tipis Kian. Kian merengut, menyingkirkan tangan Fabian dari wajahnya. "Awas, nanti kena karma loh, Bi. Mending tobat dari sekarang." Kian masuk ke dalam mobil Fabian, menghiraukan kicauan Fabian yang isinya selalu saja seperti—mumpung masih muda, Ki. Masih laku. Kalau udah tua, kan, boro-boro bisa pacaran sana-sini. Urusan karma mah belakangan. Ya, selalu seperti itu. Kian sampai hafal kalimat per kalimatnya. Tapi tetap saja selalu menyuruh Fabian tobat meski tahu jawabannya. *** "Bi, soal kakak sepupu kamu yang nanti mau jadi atasan aku itu... dia gimana?" tanya Kian sesaat setelah tiba di Kafe Bara. Bara-nya sendiri masih sibuk karena kafe lumayan ramai. "Ah, Kak Keenan? Dia ganteng, meski masih gantengan aku, sih." Fabian terkekeh karena ucapannya sendiri. Terkadang memang Fabian itu narsis. Ya, kalau tidak narsis mana mungkin dia dengan sangat percaya dirinya seminggu dua kali ganti pacar. Kian berdecak sebal. "Bukan itu maksud aku, Bi! Maksudnya, tuh, apa aja yang dia suka dan nggak sukai? Biar aku kerjanya bisa hati-hati," jawab Kian sedikit menggerutu di akhir. Fabian tergelak, padahal apanya yang lucu? "Yah, Kak Keenan suka perempuan, tapi nggak suka pacaran." "Kebalikan sama kamu," gumam Kian yang hanya direspon cengiran lebar Fabian. "Dia gak suka asap rokok, apalagi minuman keras. Yang terpenting, dia gak suka kalau ruangannya kotor. Dia bakalan bersih-bersih seharian sampai ruangannya benar-benar kinclong kalau sampai itu terjadi." Kian menyimak seraya berusaha mengingat dan menghafal di kepalanya apa yang Fabian ucapkan. Tak lupa, Kian juga berusaha berkonsentrasi penuh agar raut wajah Fabian tidak mengganggunya. "Dia biasa minum kopi americcano, yang sering dia beli di sini." "Apa?" Kali ini Kian menyahut. "Jauh banget beli kopinya di sini?" tanya Kian, mengingat jarak dari kafe Bara ke kantor lumayan jauh, bisa menghabiskan waktu sepuluh menit. Kalau bulak-balik? Dua puluh menit hanya untuk di jalan saja! Belum lagi antre mengingat kafe Bara jika memasuki jam makan siang selalu ramai. "Ya, itulah Keenan Putra Adinata. Orangnya gak ribet, tapi kadang ngeribetin." Fabian terkekeh, senang sekali sepertinya meledek sepupu sendiri. "Tapi biasanya dia minun kopi di kantor cuma pagi doang. Siangnya ya sekalian makan di sini." Kian mengangguk-angguk kecil. Padahal hatinya sudah harap-harap cemas sedari tadi. Bahkan dari kemarin! Entahlah, Kian memiliki sedikit gangguan panik sebenarnya. Setiap kali menghadapi hal baru, pasti membuatnya gugup dan cemas. Ketika ia dinyatakan gagal lulus ujian masuk Universitas Stanford pun, butuh waktu berjam-jam bagi Kian untuk menyiapkan diri memberitahukan hal itu pada orang tuanya. Berkali-kali Kian menepuk dadanya keras-keras karena napasnya tersendat luar biasa. Suhu tubuhnya mendingin, tetapi keringat mengalir di wajahnya. Itu adalah gangguan panik terparah yang pernah Kian alami. "Kian! Kian! Kian!" Suara itu membuat Kian menoleh, tersenyum seraya menggeleng pelan. Bara datang dan menatap Kian dengan tatapan mata kucingnya. Kian terkekeh, tapi tidak dengan Fabian yang segera menghadiahi Bara jitakan kerasnya. "Kebiasaan amat, Kadal Buntung!" Fabian berkata tajam. "Apaan, Bujank?" Bara berdecih menatap Fabian. Kian tertawa pelan. Fabian dan Bara kalau sudah ketemu pasti kayak kucing dan anjing. Bara yang slengekan dan Fabian yang sarkas. Mereka serasi untuk menciptakan Perang Dunia ke-3. "Jangan gangguin Kian-nya gue, ya!" desis Fabian, dan respon Bara hanya tersenyum samar sambil menaik-turunkan alisnya menyebalkan. "Hiyahiya, Kian-nya Bian...," Bara menekankan kata-kata itu, "tapi gak pernah taken!" lanjutnya. Bara tergelak, kemudian beralih pada Kian. "Ki, gak capek apa diem di posisi friendzone mulu? Mending sama gue, dah. Bacot-bacot gini gue setia, gak kayak orang di sebelah gue." Dan Bara mendapatkan tempelengan keras di kepalanya oleh Fabian. "Denger Ki, ya. Aku setuju-setuju aja kamu pacaran sama cowok mana pun, asal jangan sama si Baracot ini. Kamu juga tau, kan, bacotnya dia segede apa? Bisa-bisa budeg usia dini entar," ujar Fabian sarkastis seraya menatap Bara nyalang. Yang ditatap malah ngakak disindir temannya sendiri. Sedangkan Kian hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah kekanakan keduanya. Sudah berteman dari masih embrio, tetap saja hobinya berantem. Untung Kian sudah maklum, sudah kebal dengar perdebatan unfaedah mereka. "Yang penting gue setia, gak kayak lo yang seminggu bisa dua bahkan tiga kali ganti pacar. Buktinya, udah tiga tahun gue jomlo." Bara memberikan kedipan manja pada Kian. Kemudian berusaha menahan kekehannya saat Fabian melotot tajam. "Ya itu, sih, derita lo yang gagal move-on!" balas Fabian datar. "Hei, Dude! Jomlo bukan berarti gagal move-on. Kami hanya berusaha hati-hati agar tidak salah memilih lagi." "Bahasamu! Padahal bilang aja kagak laku lagi. Gue, sih, masih best seller, makanya ganti tiap minggu." Fabian menyandarkan punggungnya santai. Bara, sih, cuma tergelak. Sama sekali tak pernah memasukkan perkataan Fabian ke dalam hati karena memang gaya becandaan mereka selalu seperti itu. "Ya udah ah, berisik. Lo jadi ketularan bacot gini." Bara mengalihkan pembicaraan mereka yang mulai ngaler-ngidul. "Neng Kian belum pesan makan?" Tapi, LAGI, Bara malah menggoda Kian, membuat Fabian hanya bisa mendesah keras dibuatnya. "Belum. Ngeliat kalian berantem aja aku udah kenyang, sih." Kian terkekeh kecil sampai matanya tenggelam. Bara tersenyum, benar-benar tersenyum karena terpesona dengan eye-smile Kian yang cantik. Kian, dengan wajah cantik, rambut indah, otak cerdas, dan kepribadiannya yang lembut selalu dengan mudahnya memikat pria mana pun. Hanya Fabian yang Bara pertanyakan, bagaimana bisa ia terus berada di sisi Kian tanpa perasaan yang lebih dari sekadar teman? "Ya udah, kalau gitu gue masak menu terenak yang khusus gue masakin buat lo. Gue sendiri nih ya, yang masak. Tunggu di sini. Setelah jadi, lo pasti laper dan ngiler." Bara mengedipkan matanya dan berlalu menuju belakang dengan cengiran lebarnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD