Sebuah mobil hitam memasuki sebuah mansion yang sangat megah. Mobil itu berhenti di halaman depan mansion tersebut.
Grisellia turun dari mobil itu dan berdiri melihat mansion di hadapannya. Mansion itu adalah rumahnya. Ia menatap lama rumahnya itu. Sella berjalan menuju pintu utama rumahnya. Ia memasuki rumahnya dan di sambut oleh kepala pelayan laki-laki yang berdiri di depannya.
“Selamat datang nona, bagaimana perjalanan anda?” sapa pelayan itu
“Biasa saja. Dimana mama?” Tanya Sella
“Nyonya berada di halaman belakang. Nona ingin saya antar?” Tanya pelayan itu.
“Tak perlu Sam. Aku bisa sendiri. Lagipula aku tidak lupa dengan rumahku.”
“Baiklah nona. Kalau begitu selamat menikmati waktu anda dengan nyonya.”
Pelayan itu pergi meninggalkan Sella. Sella berjalan menuju taman belakang rumahnya dan menemukan sang ibu tengah duduk bersantai di sofa. Sella menghampiri ibunya dan lansung duduk di samping ibunya.
Sang ibu yang memejamkan mata merasakan pergerakan di sapingnya. Wanita tua itu membuka matanya dan menemukan anaknya yang tengah duduk disampingnya.
“Kau datang” kata sang ibu.
“Hmmm” jawab Sella
“Ada apa kau kemari?” Tanya ibunya
“Kau tak mau menanyakan kabarku terlebih dahulu?”
“Kau masih utuh. Itu berarti kau baik-baik saja.” Sella mendengus jengah dengan ibunya.
“Aku hanya ingin protes pada mama.” Kata Sella
“Sudah kuduga. Apakah ini tentang Diana?” Tanya ibunya
“Tentu saja. Kau terlalu memberinya banyak pekerjaan, aku jadi kesepian di rumah.” Protes Sella
“Bagaimana kabarnya? Apa dia tidak mengacau lagi kali ini?” Tanya ibunya mengalihkan percakapan.
“Mama pikir anakku itu berandal apa. Dia nakal itu wajar, dia masih remaja.”
“Terus saja bela anakmu itu. Semakin kau memanjakannya, dia semakin berulah.”
“Mama, wajar jika aku memanjakannya. Dia anakku.”
“Terserah dirimu. Yang jelas, suruh dia untuk tak berulah lagi di sekolah barunya. Kepalaku ingin pecah saja rasanya melihat kelakuannya.”
“Salah siapa memberinya didikan keras sejak kecil. Dia jadi seperti itu kan sekarang.”
“Kau menyalahkan didikanku pada anakmu?”
“Tentu saja. Aku saja dulu tak pernah seperti itu. Kenapa anakku harus melalui masa kecilnya dengan keras.”
“Itu karena aku tak ingin dia menjadi seperti dirimu. Aku menyesal dulu tak mendidikmu sama seperti Diana. hasilnya kau malah bodoh seperti ini.”
“Mama! Aku tak bodoh!”
“Katakan itu pada masa lalumu.”
Sella bersedekap d**a. Ia kesal dengan ibunya yang mengatai dirinya bodoh. Niatnya ia ingin protes pada ibunya mengenai Diana, tetapi dirinya malah dibuat kesal begini.
“Tak adakah hal lain yang ingin kau katakan selain protesan tiada ujung yang selalu berkaitan dengan Diana?” Tanya ibunya
“Tidak ada” kata Sella ketus
Ibunya mendengus mendengar jawaban Sella. Dirinya sudah pusing dengan semua kelakuan di luar batas Diana, di tambah lagi dengan anaknya yang selalu menyalahkan dirinya. Sepertinya, dirinya itu tidak pernah melakukan hal yang benar di mata anaknya.
“Ku dengar Diana memiliki suatu perkumpulan. Kau tau sesuatu mengenai itu?” Tanya ibunya.
“Tidak tau.” Ibunya menghela nafas mendengar nada yang sama dari anaknya.
“Baiklah, mama akan mengurangi pekerjaannya di perusahaan. Kau bisa memiliki banyak waktu luang dengan Diana.” kata ibunya.
Seketika Sella menoleh dan tersenyum cerah ke arah ibunya itu.
“Mama tidak bercanda kan? Mama harus membuktikan perkataan mama. Jika tidak, aku akan datang kemari lagi dan terus merecoki mama.” Kata Sella
“Ya ya ya, terserahmu lah. Jadi, kau tau perkumpulan yang dibuat Diana?” Tanya Sella
“Perkumpulan? Perkumpulan seperti apa?” Tanya balik Sella
“Lihat, aku tidak salah mengataimu bodoh. Bukannya di jawab, malah balik bertanya. Jika mama tau, mama tidak akan bertanya padamu.” Ibunya itu memutar matanya malas
Sella mempoutkan bibirnya. “Ya kan aku memang tidak tau apa yang dilakukan Diana. mungkin saja Diana membuat perkumpulan diantara anak-anak popular yang biasa terjadi di sekolah.” Kata Sella
“Kau itu ibunya. Seharusnya kau tau apa yang anakmu lakukan baik itu di rumah maupun di luar rumah.”
“Mama,” Sella menghadap ke arah ibunya, “Aku itu bukan tipe ibu yang mengekang anaknya. Sudah cukup ia tertekan dengan didikanmu, aku tak ingin membuatnya semakin tertekan dan memberikan kebebasan padanya.”
“Maksudmu membiarkan dia memberontak untuk melawanku begitu?”
Sella mengernyitkan dahinya, “Maksud mama?”
“Dia membuat kelompok yang tak ku ketahui apa yang di lakukan oleh kelompok itu. Bisa saja dia menusukku dari belakang.”
“Mama ini bicara apa sih? Diana tidak akan melakukan hal itu. Lagi pula, hanya dia pewaris satu-satunya Heliene. Jika dia menghianati mama, itu artinya dia tidak menginginkan Heliene. Tapi sampai sekarang, Diana tidak menunjukkan bahwa dia akan menghianati mama.”
Sang ibu bersikap tak peduli dengan apa yang di katakan oleh Sella.
“Oke, aku akui bahwa Diana selalu membuat kenakalan selama ini. Dan aku tau mama juga lelah dengan kelakuan Diana. tetapi semua itu masih diatas wajar. Ia melakukan kenakalan biasa seperti remaja pada umumnya. Lalu sekarang, ia memiliki suatu perkumpulan yang mama tidak tau perkumpulan apa itu, lalu mama menuduh Diana menghianati mama? Tidakkah mama sudah terlalu keterlaluan?”
“Bagian mana dari diriku yang keterlaluan pada anakmu? Wajar aku mencurigainya karena ia membentuk perkumpulan itu tanpa sepengetahuanku. Dengar, sampai ia bisa bersikap dewasa, aku tidak akan pernah memberikan Heliene padanya.”
“Mama!! Itu tidak adil!! Diana selama ini sudah bekerja keras untuk perusahaan dan untuk Heliene. Lalu mama tidak akan menyerahkan semuanya pada Diana hanya karena dia melakukan kenakalan remaja? Itu sama sekali tidak sebanding dengan apa yang telah ia lalui selama ini.”
“Itu sebanding dengan kelakuannya selama ini. Seharusnya ia memikirkan konsekuensi dari tindakannya. Jika dia memang ingin memegang perusahaan dan Heliene, ia harus mengikuti aturan yang ku tetapkan disini. Jika dia melanggarnya, maka ia tidak akan mendapatkan sepeserpun dari ku.”
Sella menatap ibunya marah. Ia menahan diri untuk tak berteriak marah di depan ibunya. Sella bangkit dari duduknya dan berjalan pergi meninggalkan ibunya. Tapi, sebelum ia benar pergi, ia berbalik dan menatap ibunya yang tetap tak peduli dengan dirinya.
“Kalau begitu, berusahalah sekeras mungkin untuk menyingkirkan anakku. Maka, kau akan berhadapan denganku. Kau jangan lupa, bahwa aku juga memiliki hakku untuk mengambil alih.”
Setelahnya, Sella benar-benar pergi meninggalkan ibunya. Sang ibu hanya menghela nafas melihat kepergian anaknya. Entah harus dengan cara apa ia meyakinkan Sella bahwa dia benar akan semua hal yang ia curigai terkait Diana.
Kepala pelayan Sam menghampiri Rossalia, ibu Grisellia. Pelayan Sam membungkuk sopan pada Rossalia.
“Nyonya,” panggil kepala pelayan Sam
Rossalia melirik sebentar pada Samuel, Kepala pelayan di rumahnya. “Katakan,”
“Nona Diana baru saja melumpuhkan 2 teman sekolahnya.”
“Sang korban?”
“Tak ditemukan, Nyonya.”
“Apa maksudmu?”
“Kemungkinan, nona Diana telah membersihkan mereka.”
“Baiklah,”
Kepala pelayan Sam undur diri setelah memberikan informasi yang ia dapat dari informannya.
Rossalia memandang taman bunganya lekat, “Sejak dulu, aku sudah tak mempercayai anak itu.”
*
*
*
Revan membuka matanya perlahan. Ia mengumpulkan kesadarannya dan melihat kesekitar ruangan yang saat ini tempati. Bau obat-obat an yang menyengat, seluruh ruangan yang bercat putih, serta selang infus yang terhubung di punggung tangannya. Dirinya berada di rumah sakit.
Ia mengingat-ngingat kembali kejadia sebelumnya sehingga ia bisa berakhir di ranjang rumah sakit ini. Perlahan pikirannya berputar pada kejadian dimana ia yang mencoba untuk melukai Diana, tetapi berujung dirinya yang terluka di area leher.
Revan meraba-raba lehernya. Terdapat perban yang melilit lehernya. Ia mencoba membuka mulutnya dan bersuara.
“A..a..a”
Revan mengernyit. Ia merasakan sakit di kerongkongannya. Mungkin saja ini efek dari luka yang ia dapat di area lehernya. Setidaknya, ia masih bisa berbicara walaupun masih terasa sakit.
Revan mengingat kembali kejadian awal dirinya yang berniat melukai Diana.
-Flashback-
Revan berjalan menuju halaman belakang sekolah. Ia berniat untuk merokok, itulah mengapa ia melewatkan jam pelajaran siang ini. Terlebih lagi, ia merasa kesal jika harus melihat wajah Diana.
Di tengah perjalanannya, sebuah suara menghentikannya.
“Ku dengar kau di permalukan oleh Diana.”
Raven menoleh kesamping kananya dan menemukan Eve dan teman-temannya yang sedang bersandar di dinding sambil bersedekap d**a.
“Bukan urusanmu.” Kata Revan
Revan hendak melanjutkan jalannya, namun Eve mengcegatnya.
“Tak kusangka, orang yang selama ini di takuti oleh seluruh siswa bisa kalah oleh seorang wanita. Jika aku menjadi dirimu, aku akan lebih baik menyembunyikan wajahku dari public.” Kata Eve diikuti tawa teman-temannya.
“Apa masalahmu? Kau ingin wajah kotor yang selalu kau sombongkan itu menerima tinjuku?”
“Santai saja bung. Aku sedang tak ingin membuat masalah denganmu. Aku hanya ingin menawarkan sesuatu untukmu.” Kata Eve
“Terimakasih atas tawarannya, tetapi aku tidak tertarik.” Revan pergi meninggalkan Eve dan teman-temannya.
“Perusahaan ayahmu, kudengar sedang mengalami penurunan.”
Revan menghentikan jalannya. Ia berbalik menatap Eve yang tengah menyeringai padanya.
“Apa maumu?” Tanya Revan
Eve menyeringai, “Lumpuhkan Diana, maka aku akan membantu perusahaan ayahmu. Jika tidak, katakan selamat tinggal pada perusahaan ayahmu.”
Setelahnya Eve dan teman-temannya pergi meninggalkan Revan. Revan mengepalkan tangannya. Ia tak suka jika ia menjadi pesuruh seperti ini. Namun ia tak bisa menghiraukan ancaman Eve. Ia tau benar, bahwa keluarganya masih berada jauh di bawah keluarga Eve. Jika ia mengabaikan ucapan Eve, maka keluarganya akan hancur. Dan ia tak mau itu terjadi.
‘Wanita sialan itu,’
-Flashback end-
Revan menahan amarahnya jika mengingat itu. Betapa sialnya dirinya yang mau saja mengikuti perintah Eve. Jika saja ia tak mendengarkan Eve dan mengabaikannya, ia tak akan berakhir di rumah sakit ini.
Tetapi, seberapa besarpun amarahnya, ia tak bisa berbuat apa-apa. Karena semua sudah terjadi, dan dia tidak bisa mengulang kembali waktu. Apalagi berencana untuk membalas Eve. Entah bagaimana nasib keluarganya setelah ini.
Tok
Tok
Tok
Pikiran Revan buyar saat ia mendengar pintu kamar inapnya diketuk. Seorang laki-laki dewasa memasuki kamar inapnya. Laki-laki itu memakai setelan jas yang bisa Revan tebak sangat mahal harganya. Tetapi ia tak peduli dengan harga outfit laki-laki itu. Ia bertanya-tanya, siapakah laki-laki ini.
Laki-laki itu duduk di kursi yang berada di samping ranjangnya.
“Anda sudah siuman?” Tanya laki-laki itu.
“Ya, dan siapa anda?” Tanya Revan
“Perkenalkan, nama saya Efra. Saya adalah tangan kanan nona El. Saya yang membawa anda ke rumah sakit ini. Bagaimana dengan leher anda?”
“Hmm yah, sedikit sakit, tetapi tak apa.” Jawab Revan
“Baguslah kalau begitu. Saya tidak perlu khawatir dengan resiko buruk yang akan terjadi pada anda.”
“Ah ya.” Revan dan laki-laki itu sama-sama terdiam setelahnya.
“Sebelumnya, terimakasih karena sudah menolong saya. Saya tidak tau bagaimana nasib saya jika tidak ada anda.” Kata Revan memecah keheningan diantara mereka.
“Ah, anda tak perlu berterimakasih pada saya. Karena sebenarnya, nona saya yang menolong anda. Jika bukan karena perintah dari nona, saya tidak akan menolong anda”
Revan sedikit terkejut dengan kejujuran laki-laki di depannya ini. Ternyata Efra tidak sebaik yang ia pikirkan.
“Ah begitu. Kalau begitu sampaikan terimakasihku pada nona mu.”
Efra tersenyum kecil ke arah Revan, “Sayangnya nona kami tidak menerima rasa terimakasihmu.” Kata Efra
“Ya?”
“Kau tau, di dunia ini tidak ada yang gratis. Saat seseorang menolongmu, kau harus membayar kembali pertolongan mereka.”
Permainan takdir menyebalkan macam apa ini. Saat ia masih mendapat ancaman dari Eve, belum juga dia membalas wanita sialan itu, kini dirinya harus terjebak dengan seseorang yang menolong dirinya. Sungguh permainan takdir yang begitu menjengkelkan.
“Aku mengerti. Apa yang bisa kulakukan untuk nonamu?” Tanya Revan
Efra tersenyum lebar ke arah Revan, “Nona ingin kau memata-matai seseorang untuknya. Jika kau melakukan tugasmu dengan baik, dia akan membalaskan dendam mu pada orang yang telah menyebabkan kau seperti ini.”
“Diana? tidak, kau tak bisa menyentuhnya. Bahkan seluruh dunia tidak bisa menyentuh dirinya.” Kata Revan
“Kau salah. Bukan dirinya, tetapi Evelyn Wijaya. Kau ingin membalasnya bukan?”
Revan terdiam mendengar penuturan Efra. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk membalsakan amarahnya pada Eve, tetapi ia juga tak ingin memiliki hutang yang lainnya pada atasan Efra. Ia tak ingin terjebak di lingkaran setan ini.
“Kau tak perlu khawatir. Jika kau bekerja dengan baik, nona tidak akan meminta bayaran lebih darimu.”
Revan masih diam. Ia memikirkan keuntungan yang akan didapatnya. Setelah mempertimbangkannya, Revan menyetujui kesepakatan itu.
“Baiklah, aku terima.”
*
*
*
Di sebuah café yang begitu nyaman. Diana duduk di pojok café berasama seorang wanita yang juga duduk di depannya. 2 strawberry smoothies yang berada di mejanya dan juga hamparan langit malam yang menyelimuti kota Jakarta, menambah suasana disana semakin nyaman.
Diana menampilkan senyum manisnya pada wanita yang berada di depannya.
Drrt
Drrt
Diana mengalihkan perhatiannya pada ponselnya. Sebuha pesan masuk yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang. Diana mengambil ponselnya dan membuka pesan itu.
From Lunar
Satu tangkapan sudah kita dapatkan. Bagaimana dengan tangkapan besar kita nona?
Diana tersenyum membaca pesan itu. Jari-jarnya dengan cepat menari diatas layar ponselnya. Ia membalas pesan itu
To Lunar
Kerja bagus. Jaga baik-baik ikan itu. Aku tak ingin ia kabur dengan mudah. Tenang saja, sebentar lagi kita akan mendapatkan hiu besar kita.
Diana menaruh kembali ponselnya dan kembali menatap seorang wanita di depannya. Ia tersenyum manis pada wanita itu.
“Bagaimana? Kau mau berteman denganku?” Tanya Diana.
Wanita itu, Evelyn tersenyum manis membalasa senyuman Diana. Dengan riang ia menjawab Diana.
“Tentu saja, Diana. kita adalah teman sekarang” kata Evelyn
Diana tersenyum kecil mendengarnya,
‘Nice Catch!!’