BAB 1

3040 Words
Beberapa kanvas bersandar di sepanjang dinding sebuah ruangan yang penuh dengan aroma cat lukis. Lukisan pemandangan, manusia, dan juga abstrak yang di dalamnya mengandung banyak sekali arti. Di pojok ruangan, lebih tepatnya di depan jendela, duduk seorang perempuan yang sedang mengoleskan catnya ke kanvas di depannya seraya mendengarkan musik yang mengalun dari laptopnya.             Perempuan itu mendengar suara pintu terbuka, tetapi ia tidak mengindahkannya. Ia hanya melirik sekilas lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Seseorang berjalan kearahnya. “Asha,” ucap perempuan yang menghampirinya.             “Hm.”             “Gimana progress-nya?” tanya perempuan yang baru datang tadi sambil duduk di kursi depan meja.             “Tinggal dua lukisan lagi yang belum,” jawab Asha tetap fokus dengan lukisannya. “Gue lagi buntu banget, nih.”             “Pameran bakal diadakan enam bulan lagi, seenggaknya lo harus udah selesai minimal delapan puluh persen. Lo tahu kan kita udah ngasih berkas permohonan sewa ke Galeri Nasional dua tahun lalu dan itu susah banget buat di acc-nya. So, take your time, Sha, buat beresin lukisan lo.”             “Gue butuh inspirasi, Nay,” ujar Asha kepada Naya sahabat sekaligus manajernya.             Naya mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja sambil berpikir. “Kalau gitu gue kasih lo waktu buat liburan selama satu minggu.”             “Seriously?”             “Mm-hm. Lo mau backpacker atau pake tour and travel?”             Asha berpikir sejenak sambil terus melukis. “Tour and travel, deh.”             “Oke, gue bakal urus semuanya. Lo tinggal berangkat aja, nanti gue kabarin lagi,” Naya berdiri dari tempat duduknya. “kalau gitu gue balik dulu ya.”             “Iya, hati-hati lo,” teriak Asha ketika Naya sudah jalan pergi meninggalkannya.             Asha meletakkan kuas lukis lalu beranjak dari duduknya menuju jendela. Ia berdiri menyender di kusen jendela sambil melihat ke luar. Pepohonan yang rimbun serta matahari yang akan menuju peraduan terakhirnya hari ini membuat suasana semakin hangat dengan sinar matahari yang masuk ke celah-celah jendela. Tidak banyak orang-orang yang berlalu lalang di jalanan, karena tempat yang kini dijadikan workspace dan merangkap rumah oleh Asha ini berada di lingkungan yang hanya sedikit pemukiman, mungkin bisa dihitung oleh jari berapa rumah yang ada disini.             Asha mengambil ponsel yang ada di meja kerjanya, ia menekan tombol panggil ke nomor yang tertera di layar. Pada deringa kedua, seseorang di seberang sana mengangkat teleponnya.             “Halo,” sapa orang itu.             “Lo gak nanya gue dulu gue mau liburan kemana, Nay?” tanya Asha yang kini sudah duduk di kursi.             “Oh, gue lupa. Jadi, lo mau pergi kemana?”             “Bali, deh.”             “Lo gak bosen apa ke Bali terus tiap liburan.”             Asha tertawa. “Mana mungkin gue bisa bosen kalau tempat itu adalah tempat yang istimewa buat gue.”             Terdengar Naya mendengus di seberang sana. “Up to you. Ya udah, ini gue lagi di jalan.”             “Hmm.”             Sambungan terputus. Asha meletakkan ponselnya lalu mengetuk-ngetukkan tangannya di meja. Helaan napas terdengar beriringan dengan suara detak jarum jam di ruangan tersebut.             Lima belas menit berlalu, Asha masih tetap di posisi yang sama, kemudian ia melihat jam yang ada di ponselnya. Pukul tiga sore. Seharian ini ia tidak pergi kemana-mana, pantas saja dirinya merasa bosan. Asha berdiri lalu mengambil tas dan ponselnya, ia berjalan keluar dari rumahnya.             Asha berjalan di sepanjang kebun teh sambil menghirup udara segar serta menikmati pemandangan yang terpampang di hadapannya. Ketika dirinya bosan atau kesal, Asha seringkali berjalan-jalan ke kebun teh yang berada di sekitar rumahnya. Ia merasa lebih rileks ketika melihat-lihat pemandangan, itu adalah salah satu alasan ia tinggal disini daripada tinggal di Jakarta. Dapat dihitung oleh jari Asha bermalam di apartemen yang berada di Jakarta.             “Ah, gue lupa gak bawa buku sketsa gue,” gumam Asha.             Jari jemarinya perlahan menelusuri pucuk-pucuk teh seraya berjalan menuju kursi kayu panjang yang berada tidak jauh darinya. Sampai di kursi tersebut, Asha mendudukkan dirinya sambil myilangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. Ia mengedarkan pandangannya sampai ia melihat seseorang tersenyum dan berjalan ke arahnya.             “Lo ngapain disini, Kav?” tanya Asha ketika sosok laki-laki itu sampai di hadapannya dan duduk di sebelahnya.             “Gue tadi ke rumah lo, tapi gak ada siapa-siapa, terus gue langsung kesini soalnya lo kalau gak di rumah yang jalan-jalan ke kebun teh,” jelas Kavi.             “Udah beres kerjaan lo?”             “Hm, pasien terakhir beres sekitar jam dua terus gue langsung kesini.” Kavi menyugar rambutnya  yang terkena angin. “Btw, malam ini gue nginep di rumah lo, ya?”             “Kenapa lo? Lagi ada masalah?”             “Ngga, cuma lagi capek aja,”             “Oh, gitu.” Asha mengangguk-angguk. “Oh iya, Kav, gue mau liburan.”             “Liburan kemana? Kok tumben liburan, sebentar lagi kan lo mau pameran.”             “Ke Bali, gue kesana mau nyari inspirasi soalnya buntu banget ini ide.”             “Berapa lama?”             “Gue dikasih libur satu minggu sama Naya.”             “Oh....”             “Pulang yuk,” ajak Asha sambil bangkit dari duduknya.             Kavi ikutan berdiri lalu melepas jaket yang dipakainya dan menyampirkannya ke bahu Asha. “Yuk, udah mulai dingin juga disini.”             Asha mengangguk lalu mulai berjalan meninggalkan tempat duduk tadi bersama Kavi di sampingnya. Mereka berdua menikmati pemandangan alam selama perjalanan menuju rumah, canda tawa juga menghiasi wajah mereka yang berseri-seri.             Orang tuanya memberikan villa atau yang Asha jadikan workspace dan rumahnya ini kepadanya. Villa yang megah dengan landscape yang indah dan private pool membuat Asha nyaman tinggal disini.             Asha terlebih dulu membuka pintu rumahnya disusul Kavi yang mengikutinya di belakang. “Lo mau tidur dimana?”             Mereka berjalan memasuki ruang tv, Asha terus berjalan ke dapur, sedangkan Kavi duduk di sofa. “Di kamar lo.”             Asha berbalik ketika ia akan membuka kulkas di dapurnya. “Jangan macem-macem lo.”             Kavi tertawa mendengar ucapan Asha. “Kayak biasa aja, di kamar bawah.”             “Oke.” Asha berjalan menghampiri Kavi, satu tangannya memegang dua kaleng minuman dan satu tangannya lagi memegang beberapa snack, kemudian ia duduk di samping Kavi lalu meletakkan barang bawaannya tadi di meja.             Kavi megambl remote tv lalu menghidupkannya. Ia mengambil snack di atas meja lalu memakannya. “Mau nonton film gak?”             “Boleh.” Asha mengangguk mengiyakan.             “Mau nonton apa? Horror? Romance?”             “Romance,” jawab Asha.             “Oke.” Kavi mulai mencari-cari film di layar televisi.             Beberapa menit kemudian mereka sudah asyik menonton film. Asha telah mengganti pakaiannya dengan baju tidur dan duduk di sofa sambil memakan snack, sedangkan Kavi duduk sila di bawah. Pertengahan film, Asha merubah posisinya menjadi tiduran dan camilan berada di sampingnya agar memudahkan ia mengambilnya ketika ingin makan.             Film selesai ketika Kavi menengok ke belakang dan mendapati  Asha yang tertidur di atas sofa, ia mengambil remote yang berada di atas meja lalu mematikan tv. Kavi menghela napasnya kemudian berdiri dan segera mengangkat tubuh Asha ke dalam gendongannya. Ia melangkah ke atas dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik.             Sampai di kamar Asha, Kavi membaringkan tubuh Asha di kasurnya lalu menyelimutinya, kemudian ia beranjak dari kamar dan tak lupa mematikan lampu kamar Asha. Angin malam menerpa tubuh Kavi yang hanya berbalut celana pendek. Ia memegang sebatang rokok yang diapit oleh kedua jarinya, ia memantik korek api yang berada di tangan kanannya lalu mulai menyalakan rokok tersebut, ia menghisapnya dalam-dalam dan merasakan sensasi yang tak biasa di dalam tubuhya.             Kavi menyandarkan pinggangnya di pagar balkon kamarnya. Ia termenung memikirkan berbagai macam hal yang muncul di kepalanya. Kavi menghisap lagi rokoknya. Sebenarnya, ia bukan orang yang gemar merokok, tapi ia hanya merokok ketika pikirannya sedang kalut atau penuh.             Bulan naik semakin tinggi dan Kavi telah selesai menghabiskan sebatang rokok tadi. Ia segera masuk ke dalam kamar karena angin semakin dingin lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Beberapa menit kemudian. Kavi keluar hanya dengan memakai celana pendek dan handuk yang sedang ia gunakan untuk mengeringkan rambut basahnya.             Setelah menyimpan handuknya, Kavi segera menaiki kasur lalu mematikan lampu dan bersiap untuk tidur. Tak lama kemudian, terdengar suara napas teratur yang menandakan bahwa Kavi sudah tertidur lelap.             Sekitar jam dua belas malam, Asha terbangun dari tidurnya dengan keringat yang membanjiri tubuhnya serta napas yang tersengal-sengal. Ia mengelap keringat di dahi dengan tangannya, setelah itu ia mengambil gelas yang berada di nakas dan meminumnya. Selama lima menit Asha mengatur napasnya ia segera beranjak dari kasur kemudian keluar dari kamar.             Asha berjalan menuruni tangga dengan perlahan, lalu berbelok menuju kamar satu-satunya yang berada di lantai ini. Perlahan-lahan ia membuka pintu kamar. Suasana kamar yang temaram serta helaan napas yang teratur dari balik selimut membuat Asha masuk ke kamar tersebut. Ia berjalan menuju kasur, lalu menyibak selimut di sisi kanan kemudian ikut berbaring dan menyelimuti dirinya di ranjang itu. Asha mendekatkan tubuhnya ke arah Kavi yang sedang tertidur. Ia memeluknya dan menyerukkan kepalanya ke leher Kavi.             “Sha,” gumam Kavi yang setengah bangun ketika seseorang memeluknya.             “Hmm.”             “Lo mimpi buruk?”             “Iya.”             Kavi memeluk erat Asha lalu menepuk-nepuk pelan punggungnya. “Tidur, Sha.”             “Wangi lo kayak bayi,” ujar Asha sambil mengendus-ngendus leher Kavi.             “Gue pake minyak telon tadi.”             “Lo mau tidur pakai minyak telon dulu?”             “Iya,” jawab Kavi dengan suara serak.             “Lo gak apa-apa kan gue tidur disini?”             “Gak apa-apa. Cepetan tidur, Sha, gue ngantuk.”             Asha mengangguk dan mulai memejamkan matanya. Melihat Asha yang mulai terlelap, Kavi juga ikut memejamkan matanya dengan posisi mereka yang masih berpelukan.             Suara kicauan burung yang bernyanyi tidak membuat kedua manusia yang kini sedang tertidur pulas itu bangun. Mereka masih di posisi yang sama seperti tadi malam. Sinar matahari menghangatkan tubuh Kavi yang tidak memakai bajunya. Ia membuka perlahan matanya dan menghalau sinar itu dengan tangannya,  kemudian ia melirik ke sebelahnya dan menemukan Asha yang masih tertidur. Perlahan ia bangun lalu berjalan mengambil bajunya yang ada di sofa lalu memakainya.             “Lapar banget,” gumam Kavi ketika keluar dari kamar. Ia pergi ke dapur lalu membuka kulkas, ia mengamil beberapa bahan lalu menutupnya kembali. Kavi mengambil beberapa lembar roti lalu mengolesinya dengan margarin, kemudian memanggangnya sebentar. Selagi dipanggang, ia menumis daging sampai matang lalu diangkat. Ia mengambil roti yang telah dipanggang lalu disusunnya selada, daging, keju slice, dan tomat di atas roti tersebut tak lupa menambahkan mayonaise serta saus tomat.             “Bikin apa, Kav?” tanya Asha yang baru saja masuk ke dapur. “Sandwich,” jawab Kavi yang sedang memotong sandwich. “Mau?” “Mau!” seru Asha yang segera duduk di kursi meja makan.             Kavi berjalan menuju meja makan sambil membawa piring berisi sandwich yang dibuatnya lalu meletakkannya di meja. Ia duduk di sebelah Asha dan langsung memakannya begitu juga dengan Asha yang lahap memakannya.             “Gimana? Enak?” tanya Kavi setelah menghabiskan sandwichnya.             “As always. Kok lo jago masak, sih,” ujar Asha yang masih makan.             “Karena gue belajar, gak ada sesuatu yang langsung lo kuasain gitu aja. Semuanya butuh proses belajar.”             Asha menganggukan kepalanya. “Bener banget.”             “Tidur lo nyenyak, Sha?”             “Hmm.”             “Syukur, deh.” Kavi beranjak dari duduknya. “Gue mandi dulu ya.”             “Oke.”             Ketika Asha sedang menikmati makanannya, ia mendengar suara langkah seseorang yang baru masuk ke rumahnya, kebetulan ia sudah membuka kunci pintu tadi.             “Asha!” panggil seorang perempuan.             “Iya,” jawab Asha masih tetap duduk. Ia sudah tahu siapa yang datang ke rumahnya dari suaranya.             Naya menghampiri Asha dan duduk di tempat bekas Kavi tadi. “Gue udah booking seat buat lo liburan.”             “Kapan berangkatnya, Nay?” tanya Asha.             “Lusa lo berangkat.”             “Cepet banget.” Asha mengambil piring lalu pergi menuju dapur dan mencucinya.             “Kan biar lo cepet beresin lukisan lo,” jawab Naya. “Btw, kok lo tumben makan sandwich?”             “Oh, ini dibikinin sama Kavi.”             “Emang ada Kavi?”             Asha kembali duduk setelah selasai mencuci piring. “Iya.”             “Terus sekarang dia dimana?”             “Lagi mandi. Eh... gak jadi deh.”             “Apaan, sih lo, gak jelas banget. Kenapa?”             “Nggak, hehe.” Asha cengengesan.             “Apa, Sha?”             “Eh, ada Naya. Kapan lo dateng Nay?” tanya Kavi menghampiri mereka.             Naya menoleh. “Baru aja gue nyampe.”             “Oh....” Kavi mengambil gelas lelu mengisinya dengan air dan meminumnya. “Katanya Asha mau liburan pake agen tour and travel, ya?”             “Iya, udah gue booking juga.”             “Pake agen siapa?” tanya Kavi sambil menarik kursi untuk ia duduk.             “Pake Wedanta Tour and Travel.”             Kavi menganggukan kepalanya. “Bagus, tuh Wedanta. Kapan perginya?”             “Lusa. Lo bisa anterin gue ke bandara kan, Kav?” tanya Asha.             “Lusa, ya, hm... jam berapa emangnya?”             “Jam berapa, Nay?”             “Jam tigaan kalau gak salah.”             “Jam segitu gue bisa, sih,” ucap Kavi.             “Oke. Lo udah janji ya mau nganterin gue. Jangan sampe lupa.”             “Iya, iya, Sha.”             “Gue mandi dulu, deh.” Asha berdiri lalu pergi ke kamarnya.             Sekarang, hanya ada Kavi dan Naya yang masih duduk di meja makan.hening diantara mereka berdua sampai Kavi berkata, “Makasih, ya, udah izinin Asha libur untuk sementara waktu.”             Naya tersenyum. “Santai, Kav. Gue lihat-lihat juga Asha butuh liburan banget.”             “Yah, dia emang jarang banget jalan-jalan keluar dari kota ini.”             “Hm.” Naya mengangguk menyetujui.             “Gue yakin lo pasti ada alasan buat ngizinin dia libur. Makasih udah jagain dia,” ucap Kavi tulus.           Asha sudah bersiap-siap untuk berangkat, ia hanya tinggal menunggu Kavi untuk menjemputnya.             “Aduh... ini Kavi kok gak angkat telepon gue ya,” ucap Asha. Ia jalan mondar-mandir sambil menempelkan ponsel di telinganya.             Naya yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya, lalu melihat jam yang ada di tangannya. “Baru jam satu, Sha.”             Saat ini, Asha berada di apartemennya yang berlokasi di Jakarta. Ia lebih memilih pergi darisini daripada dari rumahnya karena jarak dari apartemen ke bandara lumayan dekat.   “Tapi ini bentar lagi loh,” cemas Asha.             “Mungkin dia lagi di jalan kesini. Lo tenang aja, cuma butuh waktu sekitar tiga puluh menit buat sampai di bandara.”             “Yah, lo tahu kan Jakarta, macetnya minta ampun.”             “Hm, iya juga, sih,” ucap Naya setuju.             “Halo?” ucap seseorang di seberang sana.             “Lo di mana, sih, Kav?” tanya Asha ketika teleponnya diangkat oleh Kavi.             “Ini lagi di jalan, Sha. Bentar lagi juga nyampe.”             “Oke.”             “Udah dulu ya. Gue lagi nyetir.”             “Iya, hati-hati.” Asha mematikan sambungan teleponnya, lalu duduk di sofa ruang tv.             “Gue bilang juga apa,” ujar Naya sambil memainkan ponselnya.             Asha hanya menghela napasnya mendengar ucapan Naya. Ia membuka akun Instagramnya dan melihat postingan seseorang yang selalu dia stalk hampir setiap hari. Lima belas menit kemudian terdengar suara bel, membuat Asha menghentikan kegiatannya tadi. Ia berdiri untuk membukakan pintu.             “Udah siap semuanya?” tanya Kavi ketika Asha membukakan pintunya.             “Udah, kok. Mau minum dulu?” tawar Asha. Mereka berjalan ke masuk ke dalam.             “Boleh, yang dingin ya,” pinta Kavi.             “Oke, siap.” Asha pergi ke dapur untuk membawa air minum.             Kavi berjalan ke ruang tv dan menemukan Naya yang sedang duduk. Ia pun duduk di sofa tersebut bersebelahan dengan Naya.             “Sumpah ya, lo lama banget, sih. Daritadi Asha udah gak sabar banget,” omel Naya.             “Tadi masih ada pasien. Asha sesemangat itu ya,” kekeh Kavi.             “Iya.”             Asha berjalan menghampiri mereka dengan membawa segelas air. “Nih, Kav.”             Kavi menerima gelas itu dan langsung meminumnya sampai tandas. Asha yang melihat itu berkata, “Haus ya lo.”             Kavi hanya mengangguk. “Yuk, mana koper lo?”             “Itu.” Asha menunjuk kopernya yang berada di sebelah tv.             “Ya udah, yuk berangkat,” ajak Kavi sambil berdiri, lalu membawa koper Asha.             Pintu lift terbuka ketika mereka sampai di basement. Kavi berjalan terlebih dahulu diikuti oleh Asha dan Naya. Dengan sebelah tangannya yang membawa kunci mobil, ia menekan tombol di kuncinya dan terdengar suara dari salah satu mobil.             Kavi membuka bagasi lalu memasukkan kopernya, sedangkan Asha dan Naya sudah masuk terlebih dahulu dengan Asha yang duduk di depan dan Naya duduk di belakang. Setelah selesai memasukkan koper, Kavi masuk ke dalam mobil dan mulai melajukannya.             “Gak ada yang ketinggalan kan, ya?” tanya Kavi.             “Nggak ada kayaknya,” jawab Asha.             “Beneran?” tanya Kavi sekali lagi.             “Iya, Kav.”             “Soalnya lo kalau mau liburan pasti ada aja barang yang ketinggalan,” ujar Kavi.             “Sekarang nggak kok,” ucap Asha sambil menyengir menunjukkan gigi rapihnya.             Kavi melirik sebentar lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti biasa jalanan di Jakarta dipenuhi oleh mobil dan motor yang hanya melaju perlahan. Matahari yang sangat terik membuat suasana Jakarta semakin panas. Asha menyalakan musik dan memutar lagu yang sering ia dengar akhir-akhir ini. Lantunan lagu mulai terdengar dan Asha mulai bersenandung pelan.             I need somebody to heal             Somebody to know             Somebody to have             Sommebody to hold             It’s easy to say But it’s never the same I guess i kinda liked the way you numbed all the pain Kavi dan Naya mulai ikut bernyanyi. Now the day bleeds Into nightfall And you’re not here To get me through it all I let my guard down And then you pulled the rug I was getting kinda used to being someone you loved             Selama di perjalanan, mobil mereka dipenuhi oleh suara musik dan juga nyanyian mereka. Sampai tak terasa mereka sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah mematikan mobilnya, Kavi turun dan bergegas mengambil koper di bagasi mobil, begitu juga dengan Asha dan Naya yang juga turun dari mobil.             “Rombongannya dimana, Nay?” tanya Asha sambil berjalan dengan tergesa.             “Bentar gue telepon dulu.” Naya mengeluarkan ponsel dari tasnya, lalu menelepon seseorang. “Halo.”             “Halo, dengan Rendra Tour and Travel Wedanta disini,” ucap seseorang di panggilan itu.             “Maaf, Mas saya mau nanya, ini kumpul dimana ya?”             “Oh, sekarang kami berada di depan terminal dua, mbak.”             “Oke, baik, Mas, terima kasih.” Naya memutuskan sambungan. “Di terminal dua katanya.”             “Ya udah, yuk,” ajak Kavi sambil menyeret koper Asha. Mereka bertiga pergi ke depan terminal dua dimana rombongan tour sudah berkumpul.             “Gue udah kirim kontak tour leadernya ya.” Naya memberitahu Asha.             “Oke, thank’s ya, Nay.”             Setelah mencari-cari rombongan itu berada, akhirnya mereka menemukannya dan bergegas menghampiri mereka.             “Oh my god!” seru Asha pelan ketika melihat seorang pria yang berada di kerumunan tersebut.             “Kenapa, Sha?” tanya Kavi heran.             Asha cengengesan. “Nggak.”             “Ya udah, gue cuma bisa nganter sampai sini. Lo hati-hati ya disana, jangan ngelakuin hal-hal aneh selama disana.” Kavi memberi wejangan kepada Asha.             “Tuh dengerin, jangan ngeyel,” timpal Naya.             “Iya, iya. Gue bakal jaga diri baik-baik.”             Kavi mengangguk. “Kalau gitu kita balik ya, cepetan sana gabung sama rombongannya.”             Asha mengangguk lalu memeluk Kavi. “Sampai ketemu lagi.”             Kavi membalas pelukan Asha lalu beberapa detik kemudian melerainya. “Jangan lupa oleh-oleh.”             “Siap!” Setelah mengucapkan itu, Asha beralih memeluk Naya lalu berbisik, “Gue gak tahu ini kebetula atau takdir, tapi thank you banget lo udah ngizinin gue liburan.”             Naya menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. “What do you mean?”             Asha hanya tersenyum lalu melepaskan pelukannya. Ia mengambil koper yang berada di sebelah Kavi, lalu pergi meninggalkan mereka sambil melambaikan tangannya riang. Kavi dan Naya membalas lamabaian tangan itu sambil tersenyum melihat kepergian Asha.             “Selamat sore semuanya, saya Narendra sebagai Tour Leader kalian semua selama kita di Bali. Salam kenal semuanya. Disini saya akan memastikan kembali apa kalian sudah membawa tiket dan yang lainnya?” seru seorang pria yang berada di depan rombongan.             “Sudah,” jawab semua peserta rombongan.             “Baik, kalau begitu tim saya akan mengecek kembali siapa saja yang sudah berkumpul disini.”             “Gosh! Jadi dia tour leader,” gumam Asha pelan sambil terus melamun berusaha mengerti situasi ini.             “Permisi, Mbak.”             Asha menoleh dan terlonjak kaget melihat Rendra berada di sampingnya. “Ya?”             “Mbak Asha Hala Xena?” tanya Rendra.             “I-iya.” “Baik, terima kasih, Mbak,” ucap Rendra lalu berlalu untuk mengecek yang lainnya.             “s**t,” umpat Asha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD