Venya dibuat terdiam malam itu. Dia benar-benar ingin menangis namun tidak bisa. Dia ingin menjerit juga tidak bisa. Venya benar-benar hanya diam dan tidak bekutik. Dia diam dan tidak pernah menyangka malam ini ada hal yang baik untuk dirinya dan juga masa depannya.
Hutang yang tidak adil menurut Venya kala itu tidak diperpanjang. Tidak ada yang menuntut mereka lagi. Tidak akan ada yang menagihnya lagi. Bahkan uang yang sudah dibayarkan bisa saja dipulangkan lagi jika Venya menuntutnya.
Penipuan.
Kasusnya saat itu adalah penipuan ulung yang bahkan menurut Venya memang sudah diduga sejak awal. Namun, melihat keadaan yang genting dan juga tidak sembarangan bisa dilewatkan itu menjadi terkesan benar-benar tuntutan. Dia bahkan tidak bisa membuat dirinya sesenang ini.
Dia menangis sejadi-jadinya saat orang yang mereka temui mengaku menjadi pengacara itu pergi. Dia menangis dipelukan bunda Kori. Bukan menangis karena tersakiti, tapi memang menangis karena dirinya sudah lama sekali tidak menangis.
Dia berbahagia.
Dia tidak akan melupakan kejadian ini.
Dia sedikit merasa lebih tenang dan lebih ringan tepat di bahunya.
Uang yang ia kumpulkan kemarin-kemarin akan diurus oleh pengacara itu tadi. Uang guru yang mengajar di sini juga kemungkinan akan dipulangkan. Jika tidak seutuhnya, mungkin setengahnya. Itu sudah lebih dari cukup menurut Venya.
Dirinya bahkan tidak berani lagi menatap pengacara itu ketika dia mendengar uangnya bisa diproses dan bisa segera dikembalikan.
“Terima kasih, Tuhan.” Ucap Bunda Kori yang sekarang sedang menenangkan seorang Venya yang menangis tersedu di dadanya. Tidak ada suara, hanya ada isakan kecil yang terdengar oleh telinganya, “kau bisa kuliah, Venya.” Ucap lembut seorang bunda Kori untuk Venya.
Venya menggeleng, “enggak.” Ucap Venya dengan nada sedikit pilu, dia menggosok matanya dengan lengan baju Panjang yang sedang ia pakai, lalu turun ke bawah untuk mengusap hidungnya yang berair, “aku sudah menetapkan, tidak ada kuliah, Bunda.” Ucap Venya.
“Tapi uangnya cukup untuk kamu bayar sekolah dua tahun.” Ucap Bundanya lagi.
Venya tetap menggeleng sebelum menjawab pertanyaan bunda Kori, bukan pertanyaan, lebih tepatnya penyataan yang bahkan sama sekali tidak menggiurkan untuk seorang Venya. “Boleh bunda pakai, tapi aku hanya minta beberapa bagian.” Kata Venya.
Sekarang giliran bundanya yang menggeleng kecil mengusap puncak kepala Venya dan mengusap rambutnya yang terurai, “bunda ga berhak pakai uang yang susah payah kamu hasilkan dari ide dan juga waktumu.” Ucap Bunda, “kamu pakai saja untuk kebutuhan kerjamu, tapi bunda masih menantikan kamu untuk kuliah.” Kata Bunda.
Venya tersenyum kecil, “aku akan kuliah ketika aku memang membutuhkannya, bunda.” Kata Venya lembut, “untuk sekarang, aku belum memerlukannya.” Kata Venya menambahkan pernyataannya.
Bunda kini diam menatap Venya, lalu dia mengangguk, “iya. Gimana kamu saja Venya, kamu yang memiliki hidup kamu sendiri. Jalani sebaik mungkin dan tetap pada jalan yang benar.” Ucap Bundanya.
Lagi, Venya mengangguk membalas anggukan bunda Kori, “untuk sekarang, gini aja dulu. Ke depannya akan aku pikirkan lagi, bunda.”
Bundanya lagi-lagi mengusap puncak kepala anaknya itu, “intinya, malam ini kita sudah tenang. Tidak ada yang akan mengganggu bahkan tidak aka nada yang terus menerus menagih utang yang bahkan kita saja tidak tahu kapan akan lunasnya.” Ucap Bunda.
“Iya bun. Semuanya sudah clear dan juga sudah lunas.” Ucap Venya menambahkan kalimat bunda Kori yang sedikit kurang menurutnya.
***
"Pikiran lo jadi lebih tenang sekarang?" Tanya Gemma begitu Venya selesai menceritakan kejadian kemarin pada Gemma.
Sekaramh, mereka sedang ada di salah satu restoran fast food di kotanya. Tidak ke dalam restorannya, mereka memesan lewat drive thru karena mereka tidak bisa berlama-lama di sini. Walaupun sekolah Venya sudah mulai libur dan tidak ada mata pelajaran lagi, dia harus ke sekolah untuk membereskan beberapa berkas. Jika di pikirkan lagi, berkas-berkas itu sedikit lebih penting karena kalau Venya mengubah pikirannya untuk kuliah, Venya tidak usah mengurusnya lagi. Jadi, Venya memutuskan untuk menyelesaikannya hari ini sebelum hari kelulusannya nanti.
Sedangkan, Gemma sendiri tidak ada mata kuliah. Dia bisa bebas dengan waktunya hari ini. Tidak ada batas waktu untuk dirinya.
Berbicara tentang waktu, Venya memiliki banyak waktu untuk menulis beberapa ceritanya nanti, tidak ada tuntutan sekolah dan juga tidak ada yang menganggunya. Itu harapan Venya. Karena pada kenyataannya, selain Gemma yang ingin dibantu mengerjakan tugas nantinya, adik-adik di pantinya juga kerap sekali menganggunya.
Walaupun tidak dalam tahap yang sangat menganggu, tetap saja, jika dia sedang menulis sesuatu untuk tulisan dan novelnya, jika diganggu atau di ajak ngobrol mungkin semuanya buyar saat itu juga.
Jika kalian menulis, mungkin bisa merasakan itu.
Iya.
Gemma masih meminta bantuannya walaupun tidak sering. Venya juga sangat membantu karena dia juga jadi belajar tentang perkuliahan Gemma. Dia jadi tahu bagaimana rasanya kuliah dan juga belajar di tingkat mahasiswa. Tapi, jika Venya keberatan dengan itu, biasanya dia mengatakan semuanya pada Gemma. Dimana dirinya biasanya bertengkar sedikit karena masalah itu. Cukup di situ. Terkadang, mereka bertengkar satu jam dan selanjutnya biasa lagi. Kebiasaan seperti itu memang membuat Venya kesal. Namun, jika Venya egois, mungkin Gemma tidak akan pernah mendapatkan nilai yang memuaskan di tempat kuliahnya.
Bukan membanggakan diri, tapi Venya cukup pintar di dunia yang sekarang ditempatinya. Venya sendiri ingin menempatkan dirinya di jalan yang dia inginkan. Walaupun terkadanh tidak bisa seperti itu.
Venya mengangguk ketika sudah lama berdiam diri mendengarkan pertanyaan Gemma, "agak tenang." Katanya kemudian.
Gemma menginjak rem karena mobil di depannya sekarang giliran memesan makanan untuk mereka. Mata Gemma beralih dari mobil di depannya ke arah Venya di sampingnya, "kenapa 'agak'?" Tanya Gemma dengan mengacungkan telunjuknya mengutipi kata agak di kalimat tanyanya tadi.
Selanjutnya, Gemma mengoperkan perseneleng dan menginjak sedikit gas untuk mobilnya. Memesan makanan dan selesai.
Venya menjawab pelan, "gue masih memikirkan perkataan bunda Kori." Ucap Venya.
Gemma menjalamkan mobilnya mengikuti mobil di depannya untuk membawa pesananannya, "kenapa sama bunda Kori?" Tanya Gemma sambil mengerutkan keningnya.
Venya sedikit diam, "dia bilang jalani sebaik mungkin dan tetao pada jalan yang benar." Kata Venya, "gue kesinggung sama kalimat itu." Ucap Venya menambahkan.
"Perasaan ga ada yang salah deh sama kalimat itu." Kata Gemma, "apa yang ngebuat lo kesinggung?" Tanya Gemma.
Venya menatap Gemma, "gue sekarang jadi mikir, apa bunda Kori menganggap jalan yang gue pilih ini salah?"
Gemma diam. Dia tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Dia hanya menjalankan mobilnya pelan sambil berfikir apa jawaban yang tepat untuk Venya.
Setidaknya, Gemma harus menjawab yang bisa mengubah pikiran Venya saat ini. Gemma juga tidak tahu jika pilihan Venya kali ini benar atau tidak. Hanya saja, menurutnya, Venya memang terlalu memaksakan diri.
"Apa gue terlalu memaksakan diri sama keadaan gue sekarang?" Tanya Venya ketika Gemma mulai membayar dan membawa pesanan mereka.
Gemma sedikit membeku. Apakah Venya bisa membaca pikirannya? Tanya Gemma dalam hati.
"Maksud lo?" Tanya Gemma berpura-pura tidak mengerti.
"Ya maksud gue, gue ga mau kuliah karena gue sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Membantu diri sendiri dan juga panti asuhan." Ucap Venya kemudian menerima pesanan miliknya dari Gemma yang menyodorkan pesanannya, "tapi gue ngerasa Bunda nyuruh gue kuliah dan 'paksaan'-nya itu untuk kehidupan panti yang bisa dibilang kurang baiklah ya."
"Kurang baik apa si? Gue ga ngerti cara lo berfikir." Kata Gemma kemudian keluar dari drive thru di sana.
Venya diam, "gue ngerasa kalo gue dimanfaatin sama bunda Kori."