Bab 11. Jatuh Cinta

3322 Words
Sesampainya di rumah, Gerald kembali memanggul Stella karena Stella kukuh tidak ingin masuk ke dalam rumah. “Lepaskan aku, G!” teriak Stella sambil memukul punggung Gerald. Tapi Gerald tidak menghiraukannya. “Boo ... apa yang kaulakukan?” tanya Mercy yang baru saja keluar dari kamarnya. “Kita bicara nanti, Merc.” Gerald segera menaiki tangga menuju kamarnya. “Lepaskan aku! Apa kamu gak takut kekasihmu meninggalkanmu lagi,” teriak Stella masih berusaha melepaskan diri. “Apa kau tidak bisa diam? Kita bisa jatuh kalau kau terus berontak seperti ini!” ujar Gerald. Sesampainya di kamar, Gerald menurunkan Stella di ranjang. Stella mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Gerald. “Cukup Stey! Jangan seperti anak kecil!” bentak Gerald. “Aku memang anak kecil. Kau bisa ceraikan aku dan menikah dengan kekasihmu itu,” teriak Stella sambil mencari sesuatu yang bisa dilemparnya. “Kenapa? Kau cemburu padanya?” Gerald mendekati Stella. “Jangan coba-coba mendekat!” ancam Stella yang terus beringsut menjauh dari Gerald “Katakan, kau cemburu padanya?” Gerald naik ke ranjang mendekati Stella dan membuat Stella terpojok di sandaran kasur. “Cemburu? Untuk apa?” “Lalu kenapa kau marah-marah dan pergi dari rumah?” “Itu ... aku marah karena kalian memakai ranjangku.” “Memakai? Memangnya apa yang kami lakukan?” tanya Gerald. “Bukankah kalian ....” Stella tidak melanjutkan kata-katanya dan Gerald tahu maksud istrinya itu. “Kalau aku mau, aku bisa melakukannya waktu di Canada tapi sayangnya ... aku bukan pria yang bisa menghianati sebuah pernikahan,” ungkap Gerald, mengambil posisi duduk di hadapan Stella. “Jadi ... kalian gak berbuat macam-macam di kamar ini?” tanya Stella penasaran. Gerald mengelengkan kepalanya sambil menatap Stella. “Hanya kamu dan Bi Asih yang bisa masuk ke kamarku. Sebelumnya tidak ada satu orangpun yang boleh memasuki kamarku.” “Oya? Buktinya Stefanny dan Mercy udah pernah masuk ke kamar ini,” ungkap Stella. “Itu terjadi baru-baru ini, Stey.” “Lalu waktu kamu tinggal serumah dengannya, bukankah kalian juga sekamar?” Stella ingin tahu kebenaran dari apa yang diucapkan Ferdy waktu itu. “Kamar Mercy di bawah. Walaupun dia kekasihku tapi aku tidak mengijinkan dia memasuki kamarku.” “Apa ada lagi yang ingin kautanyakan?” tanya Gerald melihat Stella yang masih penasaran dengan kehidupan masa lalunya itu. “Pertanyaan ini mungkin agak sensitif buatmu dan juga bukan urusanku sebenarnya tapi aku harus menanyakannya,” kata Stella ragu-ragu. “Apa itu?” tanya Gerald. “Mmmh ... lalu di mana jika kalian mau melepas rindu?” tanya Stella dengan suara berbisik sambil kedua ibujarinya membentuk suatu kode. Melihat kepolosan Stella membuat Gerald tersenyum simpul dan bermaksud menggoda gadis itu. “Menurutmu di mana?” Gerald memajukan wajahnya mendekat ke Stella dan berbisik. “Mana aku tahu, kalian yang berbuat. Kenapa nanyanya ke aku,” jawab Stella ketus sambil memukul lengan Gerald. “Yang jelas tidak di rumah ini karena rumah ini hanya untuk keluarga kecilku nanti.” Kali ini Gerald menjawabnya dengan serius. “Berarti kalian pernah ...,” selidik Stella penasaran. “Kenapa? Kau keberatan?” “Tidak. Maafkan aku karena sudah menuduhmu yang tidak-tidak,” kata Stella dengan penuh penyesalan. “Kau ulang tahun hari ini?” tanya Gerald. “Mmmh.” Stella menganggukkan kepalanya. “Happy Birthday! Sorry, aku baru mengetahuinya dari Nina. Kau menginginkan sesuatu sebagai hadiah ulangtahunmu?” “Mmmh ... A–aku ingin ....” Stella tidak melanjutkan kalimatnya tapi justru membalas tatapan Gerald. Perlahan-lahan Gerald mendekat wajahnya ke wajah Stella. Stella hanya bisa diam terpaku melihat wajah tampan suaminya itu dari jarak yang begitu dekat. Gerald memberi kecupan pada bibir Stella, membuat Stella terkejut membelalakan matanya. Gerald menjauhkan wajahnya dari wajah Stella yang memerah akibat ulahnya. “Sudah malam, istirahatlah!” Gerald segera turun dari ranjang menuju ruangannya. Sementara Stella masih diam terpaku sambil memegang bibirnya. Ini kedua kalinya dia menciumku, ucapnya dalam hati. *** Pagi-pagi sekali Stella sudah di dapur membantu Bi Asih menyiapkan sarapan. Setelah selesai, dia meminta Nina membawa sarapan itu ke meja makan. “Pagi Tuan,” sapa Bi Asih dan Nina. “Pagi. Apa sarapannya sudah siap?” “Sudah Tuan, kebetulan nyonya yang membuat sarapan pagi ini,” jawab Bi Asih. “Oya? kenapa kau bangun pagi sekali?” tanya Gerald pada Stella yang sedang mengambil segelas orange juice untuknya sendiri. “Aku mau ke rumah orangtuaku,” jawab Stella. “Pagi, Boo,” sapa Mercy lalu mengecup pipi Gerald dan Stella kesal melihatnya. “Pagi, Merc,” balas Gerald. “Jam berapa penerbanganmu ke Australia, Merc?” tanya Gerald sambil menikmati sarapannya. “Jam 10. Kau bisa mengantarku, Boo?” tanya Mercy. “Bisa. Tapi aku akan mengantar Stella dulu ke rumah orangtuanya.” “Gak usah. Aku bisa naik taxy online,” jawab Stella tanpa melihat ke arah Gerald maupun Mercy. “Aku bisa mengantarmu. Kita satu arah,” kata Gerald. “Aku bilang aku bisa naik taxy, G,” ucap Stella dengan gigi terkatup. “Aku tunggu kamu di mobil, Merc.” Gerald berdiri dari kursinya dan berjalan menuju garasi. Mercy menganggukkan kepalanya. “Dengar Stella, dalam waktu 3 bulan aku akan kembali dan menikahi Gery, bersiaplah untuk berpisah darinya.” Mercy berdiri dari kursinya dan tersenyum sinis pada Stella. *** Sejak kepergian Mercy kembali ke Canada, sikap Gerald mulai kembali seperti pertama kali Stella bertemu dengannya, sikap dinginnya mulai menghiasi wajahnya, dia mulai acuh tak acuh pada Stella, berbicara pun hanya seperlunya. Bahkan ketika memberikan hadiah ulangtahun pada Stella, dia hanya meletakkannya di meja nakas. Padahal Stella sangat berharap dia memasangkan kalung bermata berlian yang sangat sederhana tapi berkesan elegan sesuai dengan kesukaannya itu. Tidak hanya itu, ketika Stella meminta Gerald menjemputnya di rumah mommy mertuanya, justru yang menjemputnya adalah Ben dan itu membuatnya kesal. Hari ini, rencananya Stella akan menginap di rumah orangtuanya tapi karena ada suatu urusan, orangtuanya harus keluar kota. Terpaksa dia harus pulang sendiri dengan sepeda motornya tapi ketika hampir sampai rumah tiba-tiba motornya mogok. “Aaah ... kenapa harus mogok lagi, sih,” gerutu Stella. Karena malam juga sudah larut, mau tak mau dia pun menuntut motornya untuk sampai ke rumah. Tiba-tiba gerimis kecil mengiringi perjalanannya, lama-lama makin deras membasahi sekujur tubuhnya ketika Stella sampai di depan gerbang. Dengan dibantu satpam rumah membawa motor ke garasi, Stella pun bergegas masuk ke dalam rumah. “Bi, bisa ambilkan aku handuk?” pinta Stella dengan tubuh menggigil. “Ya ampun, Nyonya. Tunggu saya ambilkan handuk!” Bi Asih langsung mengambilkan handuk dan memberikannya pada Stella. “Lebih baik Nyonya segera mandi nanti saya bawakan air jahe biar tidak sakit.” Stella mengangguk dan menuju ke atas untuk mandi. Selesai mandi, dia pun langsung meminum air jahe buatan Bi Asih. Kepalanya mulai terasa pusing dan mulai bersin-bersin, setelah mengeringkan rambutnya dia pun naik ke ranjang untuk menyelimuti tubuhnya yang kedinginan *** Gerald sampai di rumah pukul 2 dini hari setelah menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya. Setelah menenggak sebotol air dari kulkas, dia pun naik ke atas menuju kamarnya. Ketika masuk kamar, dia melihat Stella begitu gelisah dalam tidurnya. Gerald pun menghampirinya dan melihat Stella menggigil kedinginan padahal suhu ac di kamar itu tidak begitu dingin, disentuhlah kening Stella dengan tangannya. “Stey ... hei ... apa kau sakit?” tanya Gerald sambil membuka laci nakas di dekatnya dan mengambil obat penurun demam. Stella membuka matanya, Gerald membantunya untuk duduk dan memberikan obat beserta segelas air yang ada di meja nakas. Setelah Stella tertidur, Gerald segera ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya. Keluar dari kamar mandi dia membawa handuk kecil yang sudah dibasahi dan ditempelkannya di kening Stella. Menjelang pagi, Gerald baru tertidur di samping Stella. *** Gerald terbangun mendengar bunyi alarm di ponsel Stella, dia pun mengambil ponsel itu dan mematikan alarmnya lalu dipegangnya kening Stella. Demamnya sudah turun, ucapnya dalam hati sambil tersenyum “Bi, tolong buatkan bubur untuk nyonya nanti biar saya yang bawa ke atas!” kata Gerald. “Baik Tuan. Apakah nyonya sakit? Pasti karena semalam pulang kehujanan,” kata Bi Asih. “Kehujanan? Apa Ben tidak menjemputnya?” Gerald kaget mendengar ucapan Bi Asih. “Tadinya nyonya mau menginap di rumah orangtuanya, Tuan. Tapi entah kenapa tiba-tiba nyonya pulang.” “Pagi Tuan,” sapa Ben yang baru saja datang. “Pagi Ben. Apa nyonya tidak memintamu menjemputnya semalam?” “Tidak Tuan. Bukankah nyonya akan menginap di rumah orangtuanya?” tanya Ben. “Tidak jadi, Ben. Semalam nyonya pulang kehujanan,” kata Bi Asih sambil membuat bubur. “Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau nyonya akan pulang,” kata Ben. “Bukan salahmu, Ben,” kata Gerald. “Ini buburnya, Tuan.” Bi Asih memberikan semangkuk bubur. Gerald langsung membawa nampan berisi bubur dan segelas air ke kamarnya. Dilihatnya Stella keluar dari kamar mandi. “Makan bubur ini setelah itu minum obatnya!” Gerald meletakkan nampan di meja. “Aku gak lapar,” ucap Stella kembali tidur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Gerald merasa Stella sedang merajuk, dia menyingkap selimut itu dan duduk di sisi kasur. “Kau ingin makan atau aku akan memaksamu?” tanya Gerald. Stella langsung membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Gerald. “Apa pedulimu, hah? Bukankah selama ini kau acuh tak acuh padaku, jadi jangan pedulikan aku.” Stella kembali menutup wajahnya dengan selimut. “Baik, kalau itu maumu.” Gerald beranjak dari duduknya dan keluar dari kamar. *** “Tidak seperti biasanya, pagi-pagi kau sudah di sini, Ger?” tanya Jonathan pada Gerald yang baru saja memasuki ruangannya. “Aku sedang malas di rumah,” jawab Gerald sambil menghempaskan tubuhnya di sofa. “Ada apa, Ger? Kau ada masalah?” Jonathan menghampiri dan duduk di samping Gerald. “Hm ... bagaimana dengan pernikahanmu, Jo?” tanya Gerald sambil tersenyum tipis. “Baik. Ada apa, Ger?” “Apa istrimu suka merajuk?” “Hmm ... kau tahu sendiri semua wanita pasti suka merajuk.” Jonathan menuangkan air teh ke cangkir yang tersedia di meja lalu dia menatap wajah Gerald. “Apakah Stella sedang merajuk?” tanya Jonathan dengan tersenyum. “Mmmh.” Gerald mengangguk. “Tapi menurutku, itulah nikmatnya berumah tangga. Kadang kita bisa senang, kadang bisa kesal dengan pasangan kita,” jelas Jonathan. “Tapi masalahnya pernikahanku dan Stella hanya pernikahan kontrak, tidak sepertimu.” “Menurutku itu sama, Ger. Semua tergantung kau yang menjalaninya. Kau yang menganggap pernikahanmu dengan Stella adalah pernikahan kontrak tapi sebenarnya pernikahan kalian sah secara hukum.” “Aku benar-benar bingung menghadapinya. Dia begitu geram ketika aku membalas pelukan Fanny dan belum lama dia pergi dari rumah karena melihat Mercy, bahkan dia mengira kami melakukan ... kau pasti tahu.” Gerald menceritakan semua masalahnya. “Ha ... ha ... ha ... itu tandanya dia cemburu padamu, Ger. Rupanya dia mulai jatuh cinta padamu. Masa kau tidak menyadarinya?” tanya Jonathan sambil tertawa. “Aku tahu, Jo. Cuma aku takut dia akan terluka jika sampai mencintaiku.” Gerald mengambil cangkir tehnya. “Kalau aku jadi kau, aku akan belajar untuk mencintainya. Bagiku sangat mudah untuk jatuh cinta padanya melihat sifatnya yang polos, lugu, dan apa adanya. Dia tidak seperti wanita kebanyakan yang menutupi wajahnya dengan topeng,” kata Jonathan. DRET ... DRET ... DRET Gerald mengambil ponselnya yang bergetar, dia melihat layar pada ponselnya yang tertera nomor telepon rumah, segera diterimanya telepon itu. Tak lama kemudian Gerald berdiri dari kursinya. “Aku harus pulang. Stella demam tinggi.” “Oke. Hati-hati, Ger!” ujar Jonathan. Gerald mengangguk dan segera pulang. *** Gerald langsung menghampiri Stella dan melihat bubur yang dibawanya tadi pagi masih utuh di atas meja. Dia menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuh Stella. “Stey, kau kenapa?” Dia melihat Stella dalam keadaan menggigil dengan wajah pucat. Dengan cekatan dia pun langsung membopong tubuh Stella dan membawanya ke mobil. “Ben, kita ke rumah sakit sekarang!” perintahnya pada Ben yang sedang melap mobil. Dia menempatkan Stella di kursi belakang dan memeluknya untuk memberikan rasa hangat pada tubuh Stella. Ben segera mengendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi untuk sampai ke rumah sakit. “Maagnya kambuh, Ger,” kata Dave setelah selesai memeriksa keadaan Stella. “Apakah harus dirawat?” “Tidak perlu. Tunggu sampai infusannya habis baru boleh pulang.” Dave mendekati Gerald. “Apa yang sebenarnya terjadi, Ger?” bisiknya. Gerald menceritakan semua kejadian dari Stella pulang kehujanan sampai tadi pagi ketika Stella merajuk padanya. “Merajuk? Mungkin karena kau kurang memperhatikannya, Ger. Dia masih muda, emosinya masih labil. Jadi kau yang harus sedikit menurunkan egomu.” Dave menepuk bahu Gerald. “Mmmh ... di mana aku?” tanya Stella setelah bangun dari tidurnya. “Kau di rumah sakit,” jawab Gerald. “Aku mau pulang.” Stella bermaksud turun dari ranjangnya. “Kau boleh pulang setelah infusannya habis, Stella.” Dave pun menahan Stella. “Terima kasih, Dave,” ucap Stella tanpa sedikitpun menoleh ke Gerald. “Sama-sama. Ingat, kau tidak boleh terlambat makan karena maagmu sudah kronis,” jelas Dave dan Stella mengangguk. “Baiklah, aku keluar dulu,” pamit Dave untuk memberi kesempatan pada mereka berdua. Gerald menghampiri Stella sambil mengeser kursi untuk duduk. “Maafkan aku. Mungkin selama seminggu ini aku kurang memperhatikanmu, itu karena aku sibuk dengan pekerjaanku,” kata Gerald. Tapi Stella hanya diam dan tetap tidak mau melihat wajah Gerald. “Aku tahu kau marah, Stey. Tapi tolong mengerti posisiku di kantor.” Stella menatap Gerald lalu berkata,”Aku yang terlalu terbawa emosi, G. Seharusnya aku tahu diri kalau aku cuma istri kontrak buatmu,” ucap Stella. “Tidak seperti itu, Stey. Walaupun saat ini kita terlibat kontrak tapi dalam surat pernikahan kau adalah istriku yang sah. Aku yang salah, maafkan aku,” ucap Gerald. “Infusannya udah abis, G. Aku mau pulang,” kata Stella. Setelah Gerald memanggil perawat untuk mencabut jarum pada tangan Stella, mereka pun pulang ke rumah. *** Gerald menutup laptopnya dan memijat keningnya, wajahnya agak memerah. Sejak pagi tadi, dia sudah merasakan suhu tubuhnya cukup tinggi tapi karena pekerjaannya cukup banyak hari ini, terpaksa dia harus ke kantor. TOK ... TOK ... TOK Pintu terbuka, masuklah Pamela dengan berkas-berkas di tangannya. Dia menyerahkan berkas-berkas itu pada Gerald untuk ditandatangani. Setelah membaca dan memeriksa berkas itu, Gerald pun langsung menandatanganinya. “Apakah Anda baik-baik saja, Tuan?” tanya Pamela yang sejak tadi memperhatikan wajah bosnya itu. “Mmmh ... ooh, saya baik-baik saja. Apakah hari ini saya ada pertemuan?” “Tidak ada, Tuan.” Pamela mengambil semua berkas dari tangan Gerald. “Tolong bereskan ruangan ini. Saya mau pulang!” Gerald mengambil jasnya dan berjalan menuju pintu keluar. “Mel, bos mau ke mana?” tanya Shanty ketika Pamela keluar dari ruangan Gerald. “Katanya sih mau pulang. Aku melihat wajahnya memerah seperti sedang sakit,” jawab Pamela. “Iya, aku juga melihatnya. Padahal sejak aku bekerja bersamanya, aku tidak pernah melihatnya sakit seperti itu,” kata Shanty. “Biar aku telepon istrinya.” Shanty mengambil ponselnya dan menghubungi Stella. “Stey, kau di mana?” “Di rumah mama. Ada apa?” “Aku mau tanya, apakah suamimu sedang sakit?” “Gak tau. Dia sudah berangkat ketika aku bangun.” “Baru saja dia pulang, Stey. Tadi aku lihat wajahnya merah seperti sedang demam.” “Baiklah, aku akan pulang. Thank you, Sis.” “Kasian si bos, begitulah kalau punya istri masih muda,” ujar Shanty sambil geleng-geleng kepala. Mendengar ucapan rekan kerjanya itu, Pamela hanya tersenyum. Andai saja waktu itu aku yang menikah dengannya, pikirnya. Pamela tidak bisa membohongi hatinya yang telah jatuh hati pada Gerald. *** Stella berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. Dia mencari Gerald di ruang kerjanya karena yang dicarinya tidak ada di sana, dia pun memasuki ruangan yang biasa ditiduri Gerald dan ternyata orang yang dicarinya ada di sana sedang tidur. Dia menyentuh kening Gerald, tiba-tiba Gerald membuka matanya lalu memegang tangan Stella yang sedang menyentuh dahinya. “Kamu demam. Apakah kamu sakit?” tanya Stella. Gerald melepaskan tangan Stella. “Yah, sepertinya aku akan flu. Jadi sementara ini menjauhlah dariku, nanti kau bisa tertular,” kata Gerald. “Kamu pasti tertular aku,” kata Stella penuh penyesalan. “Jangan bodoh. Ini faktor cuaca yang sedang ekstrim dan aku lupa meminum vitaminku,” ucap Gerald. “Nggak, G. Aku ingat kamu memelukku waktu di mobil. Pasti karena itu, kau jadi tertular.” “Sudahlah, lebih baik kau keluar dan biarkan aku istirahat!” Gerald kembali menutup matanya. “Aku akan mengambil handuk dan air hangat untuk mengompresmu,” ucap Stella dan Gerald menganggukkan kepalanya. Stella kembali dengan handuk dan air hangat lalu meletakkan handuk itu di kening Gerald, sempat pria itu membuka matanya karena kaget tapi dia kembali tertidur. Sore harinya, Stella kembali ke kamar Gerald dengan membawa nampan berisi bubur yang dia buat sendiri untuk Gerald dan segelas s**u hangat. “Ke mana dia?” gumam Stella sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ada apa?” tiba-tiba Gerald sudah berada di belakangnya. Stella berbalik dan mendapati Gerald yang baru selesai mandi. “Aku membawakan bubur dan susu.” Stella berjalan menuju meja baca, diikuti oleh Gerald. “Makanlah mumpung masih hangat!” Stella menyajikan bubur dan s**u di atas meja. “Kau tidak perlu melakukan ini untukku,” kata Gerald sambil memperhatikan Stella. “Kenapa? Apa aku gak pantas melakukan ini untukmu?” tanya Stella dengan menatap Gerald tajam. “Bukan begitu maksudku, Stey. Aku hanya tidak ingin merepotkanmu. Itu saja,” jelas Gerald. “Aku tidak merasa direpotkan,” ketus Stella sambil menghempaskan bokongnya pada sofa di depan Gerald. “Kau yang membuat bubur ini?” Gerald mencicipi bubur tersebut. Stella mengangguk. “Enggak enak, yah?” tanyanya. “Lumayan enak. Aku suka.” “Apa kau bertemu Ben di dapur?” tanya Gerald. “Mmmh ... sepertinya gak ada. Kenapa? kamu mau aku memanggil Ben?” Stella balik bertanya. “Tidak. Lain kali jika kau ingin keluar kamar jangan mengenakan pakaian seperti itu!” Mata Gerald memberikan isyarat ke arah baju yang dipakai Stella. “Memang kenapa? Aku biasa memakai baju seperti ini kalau sedang di rumah.” Stella memegang baju jala rajutan yang dipakainya. “Termasuk melayani tamu yang makan di sana?” tanya Gerald. “Tentu saja tidak. Maksudku jika aku sedang di ruangan dalam. Lagian di rumah ini cuma ada Bi Asih, Nina, Aku. Kamu juga baru sekarang ada di rumah,” jawab Stella. “Tapi kau tahu Ben kadang masuk ke dalam,” ucap Gerald sambil kembali memakan buburnya. “Kenapa sih cuma karena aku yang memakai baju seperti ini kamu protes, G? Lalu kenapa waktu itu kamu gak melarang tunanganmu yang memakai baju tidur super tipis masuk ke dapur dan Ben juga ada di sana,” protes Stella yang merasa Gerald tidak adil padanya. Gerald langsung menatap Stella tajam. Melihat tatapan tajam Gerald padanya, Stella menundukkan kepalanya dan mulai memutar-mutar kedua ibu jarinya. “Kau ingin tahu kenapa? Karena statusmu adalah istriku. Aku tidak ingin oranglain melihat tubuh dan pakaian dalam istriku,” jelas Gerald. “Dasar pria tua gak tau mode,” gumam Stella pelan tapi hatinya senang karena merasa diperhatikan oleh pria itu. “Aku mendengarnya, Stey!” ujar Gerald. Stella pura-pura tidak mendengar lalu dia beranjak dari duduknya sambil tersenyum menuju ruangannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, sebuah pesan text masuk, Stella membukanya dan membaca pesan itu. “Yes ... yes ....” Stella melompat-lompat saking senangnya, dia tidak menyadari Gerald memperhatikannya. “Apa yang membuatmu melompat-lompat seperti itu?” tanya Gerald, membuat Stella terkejut dan berbalik. “Aku diterima bekerja dan besok aku akan mulai bekerja,” jawab Stella dengan tersenyum lebar. “Kenapa harus bekerja, apakah uang dariku masih kurang?” tanya Gerald sambil memasukkan tangannya ke saku celana. “Bukan gitu, G. Uang darimu lebih dari cukup bahkan kau juga memberikan uang bulanan untuk orangtuaku. Tapi, aku juga ingin mencari uang sendiri,” kata Stella. “Baiklah, aku tidak akan melarangmu. Kau bisa mencobanya.” Akhirnya Gerald pun mengijinkan Stella untuk bekerja. “Terima kasih, G.” Stella tersenyum bahagia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD