CALON ISTRI PAK DOKTER

1711 Words
Sore ini terlihat lebih tenang dari biasanya. Suara rintikan hujan lebih mendominasi jalanan yang penuh karena sudah jam pulang kerja. Arham mendengus beberapa kali karena ia harus pulang terlambat dan tidak bisa menemui perempuan yang katanya 'calon istrinya'. Namun, ia sedikit bersyukur. Setidaknya ia tidak perlu pusing-pusing mencari alasan. Kan alasannya sudah jelas, kerja! Keselamatan pasien itu lebih penting. Betul kan? Satu belokan lagi maka ia akan sampai di rumah orang tuanya. Ia terpaksa harus datang karena harus laporan bahwa ia tidak datang menemui perempuan yang ibunya suruh temui. Baru mobilnya masuk halaman rumah dengan model rumah adat Jawa itu, Bu Wanti sudah keluar dari rumahnya sambil menenteng tasnya. Arham yang baru saja keluar dari mobil, bingung dengan apa yang akan ibunya lakukan. "Arham, ayo ke rumah sakit sekarang. Aduh calon mantu Ibu," ucap Bu Wanti yang sudah naik ke sisi jok samping mobil Avanza milik Arham itu. "Lho, emang siapa yang sakit, Bu?" Tanya Arham bingung tanpa ditanggapi oleh Bu Wanti sama sekali. Perasaan semua anggota keluarganya sehat-sehat saja. Tidak ada yang sakit atau mengeluh sakit. Arham ikut naik ke mobilnya. Lalu dengan cepat ia memakai safety belt miliknya. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang sakit. Jadi ia ikuti ibunya saja. Lagipula ibunya terlalu panik, atau mungkin ada tetangga yang sakit? Ah bodo amat! Pikirnya. Arham buru-buru tancap gas tanpa bertanya akan kemana mereka. "Ke rumah sakit mana, Bu?" Tanya Arham yang masih fokus menyetir, tapi masih saja diabaikan oleh ibunya. Jalanan lumayan lenggang karena hujan. Mungkin beberapa sepeda motor memilih untuk menepi karena takut basah. Dan sisanya menggunakan jas hujan. Bu Wanti sama sekali tidak menjawab anaknya itu. Sampai-sampai Arham hanya bisa memanyunkan bibirnya. Kemarin minta dia nikah, sekarang minta ke rumah sakit sedangkan dia sama sekali tidak tahu siapa yang sakit. Nasib, nasib, batinnya berteriak. Jadi dokter muda, punya banyak uang, sudah punya rumah, punya mobil walau warisan dari orang tua, tapi jomblo. Juga sudah nasib. Mau bagaimana lagi, siapa tahu kan ke-jomblo-annya membawa berkah. Tapi tetap saja ia tidak setuju dengan acara jodoh-jodohan orang tuanya. Memangnya dia nggak laku apa? "Sebenarnya rumah sakit mana sih, Bu? Arham jadi bingung. Rumah sakit di Jogja kan banyak," tanya Arham dengan wajah bingung. Untung mereka sedang terjebak lampu merah. Bukankah sedari tadi dia hanya di-kacangi oleh ibunya itu. "Oh iya ya, Ibu lupa nanya. Rumah sakit apa, ya? Bentar Ibu tanyain dulu sama calon besan," ucap Bu Wanti mengeluarkan ponsel canggih miliknya. Hasil dari rengekan pada Arham karena iri dengan ibu-ibu arisan karena HP-nya masih ketinggalan jaman. Biasalah, emak-emak jaman sekarang suka heboh kalau ada ponsel keluaran terbaru yang bisa menimbulkan efek kamera yang bagus. Tapi yang baru saja Arham dengar adalah, calon besan. Berarti dia akan bertemu dengan perempuan itu dong? Padahal dia sudah bersyukur karena padatnya jadwal di rumah sakit jadi dia tidak perlu bertemu dengan yang katanya calon istrinya. Eh, malah pulang kerja dibela-belain datang cuma mau lihat calon besan, ibunya. Ingin rasanya Arham berkata kotor. Tapi karena dosa, maka ia urungkan saja niatnya. Lagipula ia sudah lupa cara bicara kotor. Tapi, bukankah ada slogan 'kotor itu baik'? Otak Arham rasanya mau konslet saja. Ia masih melirik ibunya yang asik memainkan HP baru pemberiannya beberapa hari lalu. Sebenarnya ibunya sudah punya HP Nokia jadul yang biasa dipakai emak-emak pada umumnya. Tapi sepertinya ibunya adalah emak jaman now, yang tahu gaya. Ah, lupakan tentang ibunya yang masih berjiwa muda. Lebih tepatnya maksa muda. "Mau kemana sih, Bu? Udah nanya belum?" Tanya Arham dengan pelan. Ia tidak mau berputar-putar di Jogja seperti tempo hari karena ibunya tidak tahu jalan. Kan sayang bensinnya. Apa lagi harga BBM pas naik lagi. "Tenang, nanti Ibu arahin. Ini udah di kasih tunjuk jalan pakai sa-re-lok" ucap Bu Wanti susah payah. Tentu saja pengucapannya salah. Arham menyipitkan kedua bola matanya, "itu tadi share loc, maksudnya?" Tanya Arham tak maksud dengan ucapan ibunya. Ibunya mengangguk dengan semangat. Bu Wanti mengarahkan Arham untuk belok kanan, lalu kiri, kanan, kiri, sampai mereka sampai di depan sebuah rumah sakit yang membuat Arham rasanya ingin mengumpat. What the.. Arham tak jadi lagi mengumpat. Tidak baik bagi kesehatan lidah. Bayangkan saja, mereka sudah berputar-putar arah, ternyata hanya di rumah sakit di mana dia bekerja. Kenapa ibunya tidak bilang saja, kalau di rumah sakit Panti Rapih. Pasti dia sudah tahu jalur cepatnya. Tidak usah pakai acara memutar jalan yang lumayan jauh. Hanya karena ibunya ingin mencoba aplikasi Google Maps, tapi harus menggadaikan bensinnya. Bu Wanti berjalan terlebih dahulu, mendahului Arham yang berada di belakangnya. Bu Wanti buru-buru masuk ke dalam ruang rawat inap, di mana calon menantunya sedang di rawat di sana. Siapa lagi kalau bukan Fasha. Perempuan cantik tapi kadang-kadang punya sikap aneh. "Huwaaaaa, tangan Fasha sakit banget ini. Gimana kalau tulangnya nggak mau masuk lagi? Terus tulangnya kedinginan," ucap Fasha ngawur sambil memanyunkan bibirnya karena menahan sakit dan menahan kesal. "Eh, calon mantu. Gimana bisa gini, nduk?" Tanya Bu Wanti yang mengelus puncak kepala Fasha setelah masuk ke dalam ruang rawat Fasha. Fasha masih memanyunkan bibirnya, "ini itu gara-gara Pak dokter , Bu. Gara-gara dia nggak dateng-dateng ke kafe, Fasha jadi keserempet motor." Ucap Fasha yang sangat berapi-api menceritakan kronologi acara tabrak larinya. "Eh, bukan salahnya Arham kok, Wan. Fasha-nya aja yang nggak hati-hati," jawab Bu Dena membela Arham, lagipula tak enak jika Fasha menyalahkan Arham. Fasha hanya memanyunkan bibirnya kesal. Sebelum seorang laki-laki masuk dengan kemeja abu-abu dan jangan lupakan wajah datarnya. Tidak semanis saat bertemu pasien. Atau jangan-jangan karena Arham tidak memakai snelli-nya. Mungkin jas itu punya kekuatan untuk membuat orang menjadi ramah. Buktinya, saat Arham tak memakai snelli wajahnya saja sedatar jalan tol. "Lho, kaya Pak dokter di IGD tadi kan? Yang foto-foto Fasha tadi," sekarang Fasha berubah menjadi sumringah setelah melihat wajah Arham yang masuk dari balik pintu ruang rawatnya. Senyumnya mulai terlihat di sana. Ini calon istrinya? Bisakah Arham lompat ke laut saja. Rasanya ia tidak percaya akan menikahi perempuan hiperaktif ini. Ya Allah, dosa apa yang sudah Arham perbuat di masa lalu. Sampai ia harus dinikahkan dengan perempuan di sana. Perempuan yang hampir mengobrak-abrik ruang IGD karena takut jarum suntik. Ingin rasanya dia menyembunyikan wajahnya di kolong meja saja. "Lah udah kenal? Terus kok udah foto-foto aja?" Tanya Bu Dena dengan senyum manisnya. Akhirnya bisa punya mantu kaya. Dijamin hidup anaknya tercukupi kalau begini ceritanya. "Ini Pak dokter yang tadi nemenin Fasha di IGD, Bu. Baik banget lho, masa dia bela-belain benerin tulangnya Fasha." Ucap Fasha bangga sambil melirik Arham yang sudah memasang wajah masamnya. Ya iyalah bantuin benerin tulang. Saya ini dokter bedah tulang, bukan dokter kandungan. Kok jadi baper begini sih, ni orang. "Eh biar saya luruskan dulu. Itu tadi bukan foto, Dek. Itu namanya di Rontgen. Gambarnya ya cuma tulang aja." Jawab Arham mencoba mengklarifikasi, takutnya ada kesalah pahaman yang akan menyesatkan mereka. Pada pernikahan, misalnya. Fasha masih saja berceloteh riang tentang dirinya. Katanya Pak dokter romantis lah, karena tulangnya aja sampai di foto. Padahal itu sudah biasa di dunia pertulangan. Apa ini beban yang harus ditanggung Arham? Ternyata pasien stress yang mengacak-ngacak ruang IGD adalah calon istrinya. Bisa gila dia, kalau begini ceritanya. Cantik sih cantik, tapi otaknya rada miring kayanya. Apa jangan-jangan karena benturan di otak? Tapi otaknya kan di kepala bukan di siku? Arham kembali duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Kepalanya masih sakit. Apalagi karena ia terlalu lelah dengan aktifitasnya seharian ini karena mengurus pasien yang membutuhkan pembenahan tulang. Bu Wanti masih setia duduk disamping Arham. Memijit tengkuk anak laki-lakinya yang kelihatan lelah sekali. Sebenarnya bukan lelah karena menangani pasien, tapi lelah untuk menerima takdirnya. Setelah itu, Bu Wanti dan Bu Dena keluar dari ruangan Fasha karena ingin makan di kantin rumah sakit. Arham yang awalnya ingin ikut, harus dilarang keras oleh kedua perempuan paruh baya itu. Sepertinya mereka melakukan konspirasi untuk menjebaknya. Dan akhirnya, Arham mau tidak mau harus menemani Fasha alias calon istrinya. Sesekali Fasha melirik Arham yang menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, "Pak dokter kok bela-belain nunggu Fasha di sini? Jangan-jangan Pak dokter naksir Fasha, ya. Kalau di FTV biasanya gitu," ucap Fasha polos sambil senyam-senyum ke arah Arham. Arham mendengus, "saya nggak minat!" Jawab Arham dingin, membuat Fasha kembali dengan wajah cemberutnya. "Padahal, Fasha nggak papa lho kalau Pak dokter suka sama Fasha. Soalnya, Fasha mau di jodohin sama bujang lapuk. Kan mending Fasha nikahnya sama Pak dokter yang masih muda. Fasha kan takut kalau dia itu sebenarnya p*****l," ucap Fasha yang membuat Arham memelototkan kedua bola matanya. Apa baru saja dia dibilang bujang lapuk? Dasar calon istri durhaka? Arham mendekat ke arah Fasha yang masih duduk di ranjang dengan santai. Laki-laki dengan kemeja abu-abu itu melangkah lebih maju, kedua telapak tangannya ia jadikan tumpuan di kedua sisi ranjang untuk mengurung Fasha. Fasha hanya bisa diam saja, karena terlalu terpesona dengan wajah Arham yang datar-datar agak manis. "Kamu bilang saya bujang lapuk? Asal kamu tau ya, saya ini Arham. Calon suami kamu! SU-A-MI," tandas Arham kesal tepat di depan wajah perempuan yang dengan terang-terangan mengata-ngatai dirinya itu. Bola mata Fasha membulat sempurna. "Huwaaaaa, Ibu Fasha mau diperkosa Pak dokter!" Ucap Fasha yang mendorong tangan Arham, namun ternyata keseimbangan Arham malah tidak baik. Tubuhnya miring sedikit. Cup. Sebuah ciuman mampir di bibir Fasha. Keduanya hanya diam, tiba-tiba saja waktu berhenti saat adegan tidak senonoh itu ditampilkan. Adegan berbahaya, hanya dilakukan oleh ahlinya. Jangan ditiru, adegan 17++ jika dalam film. Keduanya masih tak berkutik. Menikmati suasana yang nampak hening dengan posisi yang tidak baik. Satu detik, dua detik, tiga detik, masih tidak ada pergerakan dari keduanya. Sampai satu menit masih tidak ada pergerakan. Mungkin mereka atlit renang yang bisa bertahan tanpa bernapas walaupun tidak ada udara. Namun, nampaknya kemesraan keduanya harus diakhiri sejenak. "ARHAMMMMMMM," suara dengan volume penuh itu menyadarkan Arham dari acara ciuman tak sengaja yang berakhir dengan kenikmatan itu. Untung dia tidak melakukan hal-hal diluar batas. Bisa ditembak mati bapaknya kalau itu terjadi. Duh, mentang-mentang bapaknya purnawirawan TNI. Arham menggaruk tengkuknya yang tak gatal saat melihat ibunya dan ibu perempuan yang baru diciumnya sedang berdiri diambang pintu. Tercyduk! "Wah, bibir Pak dokter manis." Girang Fasha yang membuat Arham memelototkan matanya. Kedua perempuan itu juga tidak bisa mengendalikan kedua bola mata mereka untuk melotot juga karena mendengar pernyataan Fasha yang bisa dibilang stress. Lindungi hamba ya Allah. Kenapa pula punya calon istri lemot banget. Batin Arham dalam hati.   ---oOo---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD