Raka

1948 Words
Laki-laki kecil berusia 8 tahun itu meringkuk di atas lantai keramik yang dingin. Ini sudah dua hari tepatnya sejak anak itu dikurung di ruang kamarnya yang gelap tanpa makan dan minum dan hingga kini dia hanya berbaring di lantai, terisak tanpa suara, dengan memar biru yang menghiasi sekujur tubuhnya, serta wajah pucat, dan rasa sakit yang terus menyiksa. Ini tidak seperti pertama kali saat anak itu dihajar dan dikurung oleh Sang Ayah lalu anak itu terus berterika-teriak, menangis, dan memohon supaya dibukakan pintu oleh ayahnya. Kali ini, anak itu hanya terisak tanpa suara di dalam sana. Berusaha pasrah akan sebuah hukuman yang diberikan oleh ayahnya. karena meski dia menangis kencang dan memohon pada Sang Ayah supaya pria itu mengeluarkannya dari dalam kamar, tapi pintu itu juga tak akan terbuka. Ya pintu itu tak akan terbuka samapi ayah-nya puas menghukum Bian kecil. ****** Bian membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sesak.. Sakit.. Dua rasa yang masih melekat dalam tubuhnya membuat ringisan dan kerutan dalam di kening cowo itu. Untuk sesaat setelah matanya terbuka cowo itu menatap langit-langit ruangan yang dia tempati ini. Kemudain dia menoleh ke arah samping. Dia masih berada di ruang musik, tapi anehnya tubuhnya saat ini berbaring di atas kursi yang saling berdempetan guna menjadi tumpuan dia berbaring. Lalu apa yang sebenarnya terjadi saat tadi kesadaranya menghilang? Dengan gerakan pelan Bian bangkit dari tidurnya. Memejamkan matanya sesaat, menghirup nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan guna mengenyahkan rasa nyeri yang kembali muncul di dadanya. Kemudian saat dia sudah merasa lebih baik, Bian pun menatap ke sekeliling. Tak ada siapapun di ruang musik ini, lalu siapa yang membaringkannya di atas kursi? "Lo udah sadar?" Sebuah suara menghancurkan lamunan Bian, Bian pun langsung menoleh ke arah pintu di mana suara itu berasal dan sosok seorang siswa yang begitu populer di SMA Mahadika itu pun Bian temuka. Dengan senyum teduhnya cowo itu berjalan mendekati Bian dan memberikan segelas teh hangat yang tadi dia buat di ruang OSIS. Bian pun menerima secangkir teh hangan pemberian Raka si ketua OSIS tanpa banyak bicara. "Tadinya kalo lo gak sadar juga, lo mau gua bawa ke UKS, tapi syukur deh lo udah sadar." Kata Raka sembari duduk di samping Bian. "Makasih, Ka.. " Ucap Bian dengan suara kecil. Melihat sikap Bian yang manis Raka pun tersenyum geli lalu mengacak-acak rabut Bian seenaknya. Rasanya dia sudah lama sekali tak melakukan hal ini. Padahal dulu Raka hobi banget menggoda Bian sewaktu kecil dengan mengacak-acak rabut Bian dan membuat Bian ngambek karena anak itu tak suka kepalanya di elus Raka. Tapi setelah tragedi itu dan setelah Raka menjabat sebagai ketua OSIS, Raka jadi jarang main ke rumah Bian dan ngumpul bareng dengan Kelvin. Padahal rumah mereka sangat dekat. "Lo gak bilang kan soal pingsannya gua tadi ke Kak Kelvin?" Tanya Bian polos dan tawa Raka pun mengembang membuat Bian mengerucutkan bibirnya "Ya enggak lah, kalo gua bilang ke tuh anak, dia pasti akan langsung bawa lo ke rumah sakit." Jelas Raka singkat masih dengan tawanya. "Bisa heboh lagi nanti nih sekolah. Kejadian dua minggu lalu aja masih jadi omongan anak-anak." Kali ini Bian ikut tertawa saat dia membayangkan bagaimana wajah panik kakaknya saat menemukan dia pingsan. "Dia mah, lebay anaknya.. " Celetuk Bian sekenanya. "Kadang gua kesel sama dia. Sedikit-dikit ngambek, sedikit-dikit ngadu ke bunda. Tukang ngadu. Kan kalau kaya gitu malah bikin bunda kawatir." Keluh Bian dan senyuman teduh pun Raka tunjukan. "Dia kaya gitu karena dia sayang sama lo, bege. " "Ya sayang sih, sayang.. tapi gak harus over kaya gitu." Saut Bian dan Raka angkat bahu. "Tapi jujur ya.. kalo gua ada di posisi Kelvin gua juga pasti akan ngelakuin hal yang sama. Terlebih lagi lo itu orangnya gak mau jujur dan lebih suka nanggung semuanya sendiri. Sifat jelek lo itu yang bikin semua orang kawatir." Kali ini tangan Raka menyentil kening Bian dan membuat Bian meringis kesakitan. "Kalo lo gak mau Kelvin over kawatir kaya gitu ke lo, lo harunya jujur sama dia. Ngomong apa yang lagi lo rasain. Kalo badan lo kerasa sakit ya lo ngomong kalo badan lo sakit. Jangan ngaku kalo lo baik-baik aja tapi sebenernya lo bad. Rubah sikap jelek lo itu. " "Tapi gua gak bisa ngelakuin hal itu." ucap Bian dengan nada suara mengecil. "Kenapa?" Tanya Raka, namun hanya senyuman sendu yang Raka dapatkan. Setelah itu keheningan pun menemani mereka, hingga hembusan nafas panjang Bian pun terdengar dan wajah sendu yang semula anak itu tunjukan menghilang lalu tergantikan dengan wajah ceriahnya. "Btw,  jadi ceritanya lo bolos nih?" Tanya Bian mengalihkan pembicaraan. Raka pun hanya angkat bahu. "Ya abis mau gimana lagi, sohib gua pingsan masa gua biarin gitu aja." Jawab Raka sekenanya. "Lagian gak dosa juga ketua OSIS sekali-kali bolos. Emang lo doang yang bisa bolos. " Bian tertawa kecil mendengar ucapan raka. Raka emang gak pernah berubah meski sekarang hubungan mereka sudah menjauh. "Yaudah, gua anter lo ke UKS, muka lo masih pucet banget." Tawar Raka dan Bian pun menggeleng. "Enggak ah.. gua ke kelas aja." Tolak Bian dan membuat Raka mendengus kesak. "Yeh nih, anak ya.. batu banget, baru juga abis di nasehatin." Gerutu Raka. "Abis ini gua ada ulangan Pak Basuki, jir. Mana bisa gua bolos, mau gak lulus gua." "Ya terserah lo deh." Saut Raka flustasi. "Kak.. "Kenapa? " "Makasih ya.. " Ucap Bian tulus. Raka pun langsung merangkul bahu Bian. "Iya.. sama-sama, Brother." ******** Mata itu masih menatap lekat pada bangku kosong di pojok belakang. Satu jam pelajaran sudah habis terlewati setelah bel istirahat berahir berbunyi, tapi sosok itu belum juga muncul dan membuat rasa kawatir di hati Kelvin. Kelvin mengepalkan tangannya kuat-kuat. dia kesal. Sungguh. Entah itu pada Devan yang tadi habis dia hajar, pada dirinya sendiri, atau pada Bian. Dia tak tau apa yang membuat dirinya kesal. Atau mungkin ini adalah perasaan menyesal atas semua sikap jahat yang dia lakukan pada Bian? Ya.. mungkin ini adalah perasaan sesalnya dan perasaan bersalahnya pada Bian. Terlebih lagi Bian tiba-tiba menghilang setelah istirahat yang membuat Kelvin menjadi kawatir. Dengan gerakan cepat tanpa pikir  panjang Kelvin bangkit dari duduknya. Niat awal sih, ingin langsung meminta izin ke toilet guna mencari Bian, tapi langsung Kelvin urungkan saat dia melihat sosok Bian muncul dari balik pintu. Kali ini Kelvin langsung kembali duduk. Namun sepasang mata tajamnya itu tak lepas mengamati sang adik yang kini sedang berjalan menujuh bangkunya. Wajah Bian terlihat begitu pucat, dan sangat pucat. Untuk sebuah penyesalan dan rasa bersalah yang sedang memenuhi hati Kelvin, ini benar-benar menyiksa Kelvin. Terlebih lagi saat melihat Bian dengan wajah sepucat itu, Ingin rasnya saat ini Kelvin menghampiri adiknya dan menyeret adiknya ke UKS. Tapi sayangnya dia tak bisa melakukan hal itu sekarang karena sekarang dia sedang ngambek pada Bian. Bian berjalan begitu saja melewati Kelvin. Dengan kepala tertunduk, dia langsung duduk di bangkunya di pojok belakang tanpa menoleh sedikitpun pada kakaknya. Setelah aksi pengusiran kakaknya tadi pagi yang menyuruh Bian jauh-jauh dari Kelvin, Bian jadi takut duduk disana sebelum kakaknya mengijinkan. Padahal saat ini kursi itu sudah kosong dan tak di isi lagi oleh Deni seperti tadi pagi. Tapi tetap saja.. Di sudut lain kelas itu Ozil dan Bagas terkekeh melihat tingkah kedua sahabatnya. "Udah kaya drama korea ya, Gas." komen ozil merasa lucu melihat kelakukan kedua sahabtanya. "Ha ha temen lo itu, zil.. " "A-i, temen lo juga, ego." Saut Ozil "Ah tapi asik kali ya punya kakak yang sekelas bisa di perhatiin terus. Tapi gua gak mau punya kakak kaya dia, amit-amit." Ozil bergumam. Kemudian dia menoleh pada Bagas yang kembali mencatat. "Jadi gimana?" "Ya mau gimana lagi,  kita liatin aja dulu." ****** "Woy Bang Bos, gimana aksi kabur lo, berhasil?" Sapa Soni saat melihal Davino berjalan mendekatinya. Davino hanya menyunggirkan senyuman kecut lalu duduk di samping Soni. "A-i gatol, bego." Jawab Davino santai lalu memesan green tea latte pada seorang pelayan di caffe itu, kemudian kembali menoleh pada sahabatnya dan berdecak kesal. "Lo tau, kan gimana seremnya Opa gua. Dia itu.." "..Bagai monster yang bisa ngelakuin apa aja, termasuk jeblosin semua orang yang coba ngelukain gua ke nerak."Potong Soni melanjutkan kalimat Davino yang selalu anak itu ulang-ulang, kemudian menatap sahabatnya itu prihatin. "Gua bener-benar udah flustasi asal lo tau, gua udah ngelakuin berbagai macam cara untuk bisa keluar dari rumah itu. Dari cara ya alus hingga cara yang ekstrem. Tapi gagal semua." Ucap Davino yang membuat Soni manggut-manggut mendengarkan curahan hati sahabatnya itu." Lo masi inget, waktu gua ngancem Opa gua kalau gua bakal bunuh diri bila dia tetep nyuruh kaki tanganya buat ngikutin gua. Terus gua malah di larang keluar rumah selama sebulan. Dia itu bener-bener gak bisa dilawan." "Ya tindakan lo yang satu itu mah emang kekanak-kanakan. Kalo gua jadi Opa lo, gua langsung masukin lo ke RSJ. Karena apa, karena cucu gua udah gak waras mau bunuh diri." Davino langsung menghadiahkan jitakan di kepala Soni. "Anjing, sakit, Nyet!" Gerutuh Soni sambil mengelus kepalanya. Awalnya dia ingin membalas namun langsung dia urungkan saat ingat bahwa mereka sedang di awasi. Sedangkan Davino yang tak mempedukikan kesakitan Soni kembali mengeluh. "Ya... terus gua harus gimana, Son?  Selama orang-orang itu ngikutin gua, gak ada cela buat gua bisa kabur." Davino melirik ke arah dua bodyguard-nya yang sedang berjaga di pintu caffe yang sebentar-sebentar melirik ke arahnya. Untuk sesaat Soni terdiam berfikir. Melihat tampang flustasi sahabatnya itu dia tak tega, terlebih lagi dia tau benar seberapa beratnya hidup seorang Davino yang dibesarkan oleh Opa dan Oma-nya dengan kekangan. Kening Soni berkerut dalam, kemudian saat Soni menemukan sebuah ide dia pun langsung menjentikan jarinya dan memamerkan senyumannya pada Davino. "Gua punya ide, Coy." Kalimat itu membuat Davino penasaran dan bersemangat. "Apa?" Tanya Davino. "Nih, sekertaris Opa lo, yang gak lain adalah om lo, yang lo pernah ceritain sama gua tempo hari itu. Coba minta bantuan sama dia." Usul Soni dan Davino pun kembali menghela nafas. "Mana bisa, b**o. Itu sama aja gua bunuh diri." Saut Davino setengah kesal. Dia kira Soni akan memberikan ide bagus tapi apa ini. "Dia itu manut banget sama Opa gua. Mana mau dia bantuin gua kabur." "Bukan om lo yang itu, om lo yang adik bokap lo itu, lo pernah cerita sama gua kalo lo lagi jalan sama Om lo itu para bodyguard Opa lo gak ada yang ngikutin lo." "Iya emang." "Yaudah, lo kabur pas lagi jalan sama dia. Susah amat." Untuk sejenak Davino terdiam. Ide Soni tidak buruk juga. Dia kabur pas dia lagi jalan sama Om nya,  paling yang ngejar dia cuman Om nya. Jadi intinya Davino tidak perlu menghadapi dua atau tigak orang untuk kabur, cuman satu. Davino tersenyum lalu menepuk-nepuk bahu Soni. "Ide lo bagus juga." Puji Davino dan membuat Soni tersenyum bangga. "Tapi gua masih gak ngerti. apa sih, tujuan lo kabur dari rumah itu. Lo itu udah hidup enak sama Opa dan Oma, lo. Mereka sayang sama lo, hidup lo juga serba berkecukupan. Minta apa aja lo selalu di kasih, apa kurangnya?" Tanya Soni heran dengan sahabatnya yang selalu mati-matian nyari cara buat kabur dari rumah. Untuk sesaat Davino tak langsung menjawab pertanyaan Soni. Ada perasaan ragu di hatinya. "Gua... Gua gak mau nagsih tau lo." Jawab Davino seraya menjulurkan lidahnya dan kemudian tertawa ngakak saat melihat wajah kesal Soni. ****** Di sudut lain di luar gerbang sekolah Mahadika. Seorang pria bertubuh tinggi dengan jaket hitam dan topi hitam berdiri tegak sembari menatap lekat ke arah gerbang sekolah Mahadika. Dengan senyum liciknya pria itu mengingat permintaan seseorang yang beberapa saat lalu baru saja mentransfer sejumblah uang ke rekeningnya. "Target lo cuman dia, awasin dia dan tunggu perintah gua selanjutnya. Gua akan transfer lagi sisanya ke rekening lo plus bonus kalau lo berhasil jalanin misi ini." Pria itu mengambil benda pipi dari saku celananya lalu membuka galeri untuk kembali melihat foto target yang dia incar. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD