"Baiklah, Ryan. Kau memberiku cukup banyak PR kali ini, mungkin aku harus pulang ke kantorku sendiri sekarang untuk segera mengerjakannya!" pamit Emily seraya berpelukan dengan Kapten Ryan Falderson sebelum meninggalkan ruangan 3x4 meter persegi bercat dinding putih membosankan itu.
Saat Emily keluar dari ruang kerja Kapten Ryan Falderson, kedua ajudannya telah menunggu di bangku yang ada di koridor depan ruangan itu.
"Kita kembali ke kantorku, Ron, Thomas!" ucap Emily lalu berjalan mendahului kedua pria itu menuju ke mobil dinasnya yang terparkir di depan gedung Kepolisian Chicago.
Sesampainya di kantornya, Emily tak menduga dia akan kedatangan tamu yang memang sudah dia rindukan.
"Papaaa ..., apa sudah lama menungguku?" sapa Emily lalu memeluk mantan jaksa legendaris yang telah memasuki masa pensiunnya itu.
Lincoln John Carter masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala 6. "Hey, Gadis Cantik Papa! Dari mana saja kau, Emily?" balasnya.
"Dari Kantor Kepolisian Chicago, Pa. Apa yang membawa Papa mengunjungiku di kantor siang ini?" Emily mengajak papanya duduk di sofa kantornya yang berlapis vinyl hitam.
"Gordon menghubungi Papa kemarin malam, pria itu menegurku karena membiarkanmu memproses tuntutan hukum kasus puteranya di pengadilan," jawab Tuan Lincoln John Carter.
Emily mendesah lelah menatap langit-langit ruang kantornya. Dia lalu berkata, "Sepertinya tuan senator memiliki kekuatiran yang besar mengenai puteranya. Namun, bukankah bila segala sesuatunya baik-baik saja, Tuan Gordon tak perlu kuatir berlebihan?"
Lincoln terkekeh mendengar kesimpulan puterinya yang cerdas dan keras kepala sama sepertinya.
"Pa, kemarin malam Henry Crawford mencoba melamarku untuk menjadi istrinya. Dan ... aku menolaknya," cerita Emily lalu menunggu tanggapan papanya.
"Kenapa kamu menolak Henry? Apa kamu tidak menyukainya, Sayang?" tanya Lincoln penasaran.
"Aku tidak menyukai sifatnya yang angkuh dan licik. Bahkan, ada beberapa kasus melawan hukum yang terkait dengan dirinya yang sedang aku selidiki. Kurasa kubu kami bertentangan, Pa. Aku terbiasa berada di jalan terang, sedangkan Henry nyaman berada di bawah bayang-bayang kegelapan," tutur Emily jujur kepada papanya.
Mengingat dia masih memiliki beberapa pekerjaan yang menumpuk, Emily meminta papanya menunggunya menyelesaikan beberapa pekerjaan itu. Dia menelepon meja kerja Murat Yildirim Bey, asisten barunya agar menghadap ke kantornya.
"TOK TOK TOK."
"Masuk!" jawab Emily cepat dari meja kerjanya.
Pemuda Turki itu masuk ke ruang kerja Emily dan bertanya, "Apa yang bisa saya bantu, Nona Emily?"
Dengan segera Emily menyerahkan catatan yang ia buat tadi di ruang kantor Kapten Ryan kepada Murat. "Aku ingin kamu membuatkan surat panggilan interogasi untuk beberapa saksi kasus kriminal yang telah kutulis lengkap di cacatan itu. Kemudian ada surat permohonan kerja sama penyelidikan untuk Letnan Benjamin Roosevelt. Kalau semua surat itu sudah selesai kau ketik, bawa ke ruanganku untuk kutanda tangani dan kucap sebelum dikirim ke Kantor Kepolisian Chicago," terang Emily dengan jelas.
"Baik, Nona Emily. Segera saya kerjakan sekarang juga. Permisi," pamit Murat sambil membawa kertas catatan tangan Emily. Pria itu menutup kembali pintu ruang kerja jaksa.
Diam-diam Lincoln John Carter mengamati pria muda berkebangsan Turki tadi dengan seksama. Dia lalu bertanya kepada puterinya, "Apa Brendan Nieson sudah pensiun? Asisten jaksa sudah berganti orang baru."
"Bren akan masuk masa pensiunnya minggu depan, Pa. Dia setua dirimu, apa kau tidak menyadarinya? Pemuda barusan adalah pengganti Brendan, namanya Murat Yildirim Bey," jawab Emily lalu kembali duduk di sofa sebelah papanya.
"Nama yang menarik, marganya seperti keturunan sultan Turki. Emily, kau harus banyak melatihnya juga supaya Murat bisa bekerja secekatan Bren. Dulu saat Papa masih bertugas aktif sebagai jaksa wilayah Chicago, Bren sangat bisa diandalkan dan penuh inisiatif dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal pelik," nasihat Lincoln.
"Baiklah, Tuan Jaksa Legendaris. Ini hari pertama Murat bekerja, aku hanya tidak ingin membuatnya trauma bekerja bersamaku, Pa! Besok dan hari-hari selanjutnya aku pasti akan mencambuknya agar bekerja keras bagai kuda. Apa Papa puas?" jawab Emily tersenyum tengil menatap papanya.
Ayah dan anak itu berbicara banyak hal mendiskusikan pekerjaan Emily dan juga dunia politik yang berhubungan erat dengan hukum. Hingga akhirnya hari mulai berganti petang. Lincoln pun berpamitan kepada puterinya untuk pulang ke rumahnya di sisi barat kota Chicago.
"Jaga dirimu, Emily Sayang. Lakukan apa yang kau rasa benar, tetapi berhati-hatilah!" pesan pria berumur itu lalu mengecup kening Emily sebelum naik ke dalam mobil sedan Maserati hitam miliknya yang dikemudikan oleh sopir pribadinya.
Emily melambaikan tangannya melepas kepergian papanya lalu dia naik mobil dinasnya yang dikemudikan oleh Ronald Banning yang bersebelahan dengan Thomas Simpson.
"Apa kita langsung pulang ke apartmentmu, Em?" tanya Ronald sembari mengemudikan sedan Mercedes Benz hitam itu membelah keramaian lalu lintas jalan raya kota Chicago.
"Sepertinya hari ini terlalu melelahkan bagiku, Ron. Kita langsung pulang ke apartmentku saja," jawab Emily sembari menyandarkan kepalanya di sandaran bangku mobil. Dia memandangi mobil-mobil yang melaju di sisi mobilnya dengan tatapan menerawang jauh.
Seharusnya Cecilia Sommerhalder akan segera memberikan kesaksian resminya dalam interogasi kepolisian bersama Letnan Benjamin Roosevelt setelah surat perintah yang tadi ia tandatangani dikirimkan ke alamat tempat tinggal wanita itu, pikir Emily. Dia menyayangkan keputusan Kapten Ryan Falderson yang menarik diri dari penyelidikan kasus Henry Crawford tadi siang dan justru melimpahkan kasus itu ke koleganya.
Akhirnya perjalanan panjang petang itu pun usai, Emily turun dari mobil dinasnya di depan pintu lobi Huntington Assembly Tower, apartment tempat tinggalnya.
"Sampai jumpa besok pagi, Em!" ujar Thomas seraya melambaikan tangannya dari jendela mobil lalu mobil itu pun meninggalkan area apartment elite itu.
Dengan langkah cepat dan lebar Emily mengejar lift sebelum pintu itu tertutup. Petugas lift menahan pintu untuk Emily lalu wanita itu pun masuk ke dalam lift.
"Selamat malam, Bernie," sapa Emily kepada petugas lift berusia setengah abad itu yang rambutnya mulai menipis di kepalanya.
"Selamat malam, Emily! Tak pergi berkencan petang ini?" balas Bernie sembari menatap Emily sekilas lalu kembali memerhatikan angka lift yang beranjak naik angkanya.
Emily mendesah lelah lalu menjawab, "Pekerjaanku hari ini cukup menguras energiku dan tidur cepat sepertinya akan jadi pilihan terbaikku untuk menghabiskan malam ini, Bernie."
"Pilihan yang tepat, Anak Muda. Tujuanmu telah sampai, selamat beristirahat!" balas Bernie lalu menekan extend door mempersilakan Emily turun.
Sekilas Emily melepas senyum manisnya untuk petugas lift itu lalu melangkahkan kakinya menuju unitnya sambil menenteng tas kerjanya yang berwarna cokelat mahoni di tangan kirinya. Dia memasukkan kombinasi kode angka akses pintu apartmentnya.
Wanita cantik berambut coklat itu melepaskan ikatan rambutnya lalu merenggangkan otot-ototnya yang kaku akibat bekerja seharian. Dia menaruh sepatunya di rak alas kaki di samping lemari bajunya.
Kemudian Emily melepaskan blazer biru, celana panjang, dan kemeja sutra putihnya lalu menaruhnya di keranjang baju kotor. Dia masuk ke kamar mandi dan menyalakan keran shower air hangat untuk mandi. Saat tubuhnya basah, sepasang lengan kuat mendekapnya dari belakang punggungnya dan membuatnya nyaris terkena serangan jantung.
"Senang bertemu lagi denganmu, Cantik!" gumam pria itu lalu menggigit daun telinga Emily mengirimkan histeria ke dalam diri wanita itu. Namun, jeritan itu seolah teredam oleh ciuman kasar pria itu di bibir Emily.