BAB 1 - Dilema

1273 Words
Amanda terus saja berjalan menyisiri panasnya pantai Padang, tanpa arah dan tujuan. Netra cokelat terang yang begitu indah, tak henti-hentinya mengeluarkan lahar bening nan asin. Ia dilema, sangat dilema. Kini, ia tak punya tempat untuk mengadu dan bersandar. Beberapa pasang mata memerhatikan gadis itu yang terus berjalan di pesisir pantai, tanpa alas kepala. Rambut lurus dan panjang yang ia miliki, terurai indah dan terbang akibat hembusan angin pantai yang panas. Ya Tuhan ... sekarang apa yang harus aku lakukan? Gadis itu bergumam. Ia mulai lelah, wajahnya mulai memerah. Tenggorokannya kini sudah mulai kering dan panas. Sedari pagi, ia hanya menangis tanpa makan dan minum apa pun. Yang ada di pikirannya kini hanya uang dan uang. Uang? Ya, gadis itu sedang membutuhkan uang. Biaya kuliahnya, harus segera ia bayar paling lama tujuh hari lagi. Sementara beasiswa yang biasanya selalu ia terima setiap semester, kali ini harus tertunda penerimaannya. Seharusnya beasiswa itu, sudah ia terima dua minggu yang lalu. Namun, kali ini beasiswa itu tidak bisa ia terima tepat waktu. Bu, Amanda mohon ... nanti setelah beasiswa Amanda cair, Amanda akan segera lunasi semua biaya kuliah Manda. Amanda sudah berusaha mencari pinjaman, namun Manda tidak bisa mendapatkannya. Maaf, Dek. Kampus tidak bisa memberikan kebijakan seperti itu. Atau begini saja, jika adek tidak bisa juga melunasi biaya semester kali ini, satu hari sebelum jatuh tempo, adek bisa mengurus surat istirahat kuliah. Jadi adek bisa istirahat dulu selama satu semester tanpa harus membayar biaya pada semester itu. Tapi, Bu. Kalau begitu, Amanda akan menganggur selama enam bulan. Itu artinya, Amanda juga akan semakin lama menyelesaikan kuliah Amanda. Maaf, mungkin hanya solusi seperti itu yang bisa ibu berikan. Silahkan pikirkan lagi. Amanda terduduk di atas pesisir pantai di bawah sebuah pohon kelapa, setelah mengingat kembali kejadian yang ia alami tadi pagi. Ia mengusap wajahnya yang belum juga bisa berhenti mengalirkan lahar bening nan asin. Rasa haus dan lapar, kini sudah menguasai tubuh dan otak gadis itu. Ia membuka tas selempang lusuh, miliknya. Tangannya lemah, ia hanya punya tiga lembar uang lima ribuan. Ya Tuhan ... mana cukup untuk membeli makanan dan minuman, Amanda kembali menyimpan uangnya ke dalam tas miliknya. Gadis malang itu kemudian mengangkat lututnya dan menyandarkan kening di kedua lutut itu. ia tertunduk dan terisak. Netranya tak henti-hentinya mengeluarkan air mata yang lebih banyak. - - - - - Flash Back. Setelah selesai melaksakanan salat subuh, Amanda Ramadhani—gadis dua puluh tahun yang merupakan salah seorang mahasiswi di salah satu Universitas Negeri di Kota Padang—berjalan menuju ruang tengah untuk menemui ke dua orang tuanya. Ia harus memberi tahu orang tuanya, jika ia butuh uang untuk membayar biaya kuliahnya. Beasiswa yang seharusnya sudah ia terima, terpaksa tertunda karena satu dan lain hal. “Yah ... batuk ayah sudah semakin parah, kita bawa ke puskesmas ya, Yah?” Niyan—ibu Amanda—terus membalur minyak kayu putih ke d**a suaminya. “Tidak, Bu. Pasti ayah akan disuruh dirujuk ke rumah sakit. Kita tidak punya uang untuk biaya rumah sakit. Apa lagi, Amanda dan Rizal juga butuh biaya untuk sekolah, uhuk ... uhuk ....” Iman—ayah Amanda—berkata seraya terbatuk-batuk. “Tapi, Yah?” “Tidak apa-apa, Bu. Tolong saja peraskan air daun bunga kertas atau daun kapas. Biar ayah minum obat-obatan alami saja.” Iman berusaha tersenyum untuk mengurangi kegundahan hati istrinya. Langkah Amanda terhenti. Ia mengurungkan niatnya untuk mengadu kepada orang tuanya perihal biaya kuiah yang sudah waktunya dibayar. Gadis itu kembali masuk ke dalam kamarnya, duduk di atas ranjang dan mulai menitikkan air mata. Ia dilema. - - - - - Amanda masih terduduk lesu, di atas pasir di bawah sebuah pohon kelapa. Ia terus saja terisak. Tak hanya uang kuliah yang ia pikirkan, tapi juga uang untuk pengobatan ayahnya. “Adik ... maaf.” Seseorang memukul pelan lengan Amanda. Gadis itu terkejut dan melihat ke arah seseorang yang menyentuhnya. Ia melihat seorang wanita muda dengan dandanan yang sedikit menor tapi cantik. Wanita itu mengenakan celana jeans ketat dan atasannya kemeja ketat yang membentuk jelas lekuk tubuhnya yang memang indah. Amanda segera menyeka wajahnya yang sudah basah, “Kakak siapa? Ada yang bisa aku bantu?” “Begini, aku dari tadi memperhatikanmu. Aku lihat, kamu sangat sedih. Boleh tahu, kenapa?” wanita itu bersikap sangat ramah. “Ayahku sedang sakit, kami tidak memiliki uang untuk membawa beliau ke rumah sakit. Sementara, uang kuliahku akan jatuh tempo satu minggu lagi.” Amanda mengalihkan pandangannya ke ujung lautan. Pikirannya menerawang. “Owh ... jadi masalah uang ya? Mau aku bantu?” Amanda kembali menoleh ke arah wanita itu, “Maksud kakak?” “Hhmm ... bisa kita bicara di tempat yang lebih baik? Di depan sana ada restoran, lebih baik kita mengobrol di sana saja, bagaimana?” Amanda memperhatikan wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sebenarnya, Amanda cukup curiga, namun karena terdesak, ia menepis segala pikiran buruk yang membelit jiwanya. “Maaf ... aku tidak akan berniat buruk. Aku hanya ingin menawarkan sebuah pekerjaan untukmu. Mungkin bisa membantu untuk biaya kuliah dan pengobatan ayahmu?” “Kakak serius?” Amanda mulai tertarik. “Seribu rius ....” Wanita itu tersenyum, ramah. “Pekerjaan apa?” “Nanti akan kita bicarakan di sana. Di sini panas, tidak enak membicarakan masalah pekerjaan di tempat seperti ini. ayo, ikut aku ke restoran yang ada di depan sana.” Amanda mengangguk. Wanita itu mengulurkan tangannya ke arah Amanda untuk membantu gadis itu berdiri. Amanda menerima uluran tangan itu dan berdiri tepat di depan wanita yang baru saja ditemuinya itu. “Kita ke sana, sekarang?” “Iya.” Akhirnya, Amanda melangkahkan kakinya mengikuti langkah kaki wanita yang ada di depannya. Langkah kaki itu berhenti tepat di depan sebuah restoran mewah yang memang tidak jauh dari tempat ia duduk termenung seorang diri. Amanda terpana, seumur hidup, belum pernah ia masuk ke tempat seperti itu. Dari pintu, Amanda sudah bisa merasakan hawa sejuk dan wangi. “Hai, mengapa berhenti? Ayo masuk!” “Ma—maaf, Kak. Aku belum pernah masuk ke tempat seperti ini, sebelumnya.” Amanda tergagap. “Kalau kamu menerima tawaranku nanti, aku pastikan kalau kamu akan sering mengunjungi tempat-tempat seperti ini. Ayo masuk! Jangan khawatir, aku yang akan mentraktir kamu sepuasnya.” Wanita itu tersenyum manis. “I—iya, Kak.” Amanda berjalan di belakang wanita itu dengan kaku. Netranya terus saja memperhatikan sekeliling. Tempat itu sangat sejuk dan nyaman. Ke dua telapak tangannya tidak lepas dari tali tas selempang yang ia kenakan. “Duduklah.” Wanita itu menyuruh Amanda duduk di salah satu kursi yang sudah ia pilih. “I—iya,Kak.” Tidak lama, seorang pramusaji datang menghampiri mereka, “Siang, Kak. Ini buku menunya, silahkan dilihat-lihat dulu. Kira-kira mau pesan apa?” Sang wanita menatap buku menu itu. Tidak lama, ia pun membuat pesanannya. “Baiklah, kalau kakak ini mau pesan apa?” “He—eh ... pesan apa ya?” Amanda gugup. Ia bahkan ngeri melihat nominal harga yang ada pada setiap menu yang ditampilkan pada buku itu. “Dek, kamu mau pesan apa?” wanita itu bertanya ke pada Amanda. “Hhmm ... aku pesan yang paling murah saja.” Amanda memberikan kembali buku itu kepada pramusaji. “Maaf, kami tidak mengerti, makanan seperti apa yang kakak pesan?” Pramusaji itu terlihat bingung. “Aaa ... mbak, untuk adik itu, buatkan nasi goreng seafood satu dan jus alpukat satu.” Sang wanita berinisiatif membuat sendiri pesanannya. “Baiklah, itu saja, Kak?” “Iya, itu saja ... Oiya, tambah ­ice cream aneka rasa, dua buah ya.” “Baiklah, di tunggu ya, Kak.” Sang wanita tersenyum ramah. Sementara Amanda masih bingung dan kaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD