Salah Devon

1654 Words
    Keanu menunggu Yosa dan Romeo di kamar. Ia sudah rapi dengan seragam SMA. Tapi agak aneh, karena saat ini hari sudah cukup siang. Matahari sudah terik di atas sana. Jadi kemungkinan besar ia tidak akan berangkat sekolah.     "Kenapa tiba-tiba banget?" Saat masuk ke kamar Keanu, Yosa langsung nyerocos.     "Iya. Tadi gue sama Yosa kejar-kejaran sama Pak Sapto gara-gara nekat lari dari sekolah, keluar lewat pager belakang. Eh, Pak Saipul ikutan tahu. Biasa, dia niup-niup peluit nggak jelas. Suaranya sampek ngiung-ngiung di kuping gue sampek sekarang. Pak Saipul lempar peluit ke gue, kena jidat. Sakit gila. Nih, peluitnya gue bawa.”     Romeo memperlihatkan peluit keramat milik Pak Saipul yang mau tak mau harus ia bawa sebagai tanda bukti.     "Duduk situ!” Seperti biasa, Keanu hanyalah seonggok manusia super cuek.     Yosa dan Romeo ingin mengumpat keras pada Keanu saking kesalnya. Namun mereka sadar betul, mengumpat tak ada gunanya, tak akan mempan untuk Keanu. Selamanya anak itu akan tetap cuek. Daripada menambah dosa, lebih baik mereka diam, pura-pura terima nasib.     “Gue cuman mau nanya, sih.” Keanu berdeham. Keraguan tersirat di wajahnya.     “Nanya apaan?” Yosa mewakili suara hati Romeo.     “Simple, sih. Kalian berdua bukan siapa-siapa gue. Saudara bukan, sepupu bukan. Nggak ada hubungan darah pokoknya. Uhm … ada, ding. Hubungan darah dari Nabi Adam. Tapi … dengan fakta bahwa kita nggak ada hubungan keluarga sama sekali. Gue mau tanya, tolong jawab jujur.     “Kenapa kalian kok peduli banget sama gue? Bahkan saat gue minta kalian dateng ke sini, padahal kalian udah ada di sekolah, padahal udah waktunya pelajaran, sampai kalian kejar-kejaran sama Pak Sapto dan Pak Saipul. Kenapa kalian rela?”     Yosa dan Romeo saling berpandangan. Keanu lagi-lagi bersikap aneh. Mereka benar-benar bingung dengan perubahan Keanu akhir-akhir ini.     “Ya … karena kita sahabatan dari lama,” jawab Yosa.     “Kalian sayang nggak sama gue?”     Yosa dan Romeo semakin tak mengerti. Tapi mereka merasa apa yang menimpa Keanu saat ini cukup membuat anak itu terguncang.     “Ya sayang lah.” Romeo kali ini.     Keanu tersenyum. Terlihat binar kesenangan di kedua bola matanya yang bulat. "Thanks," ucapnya kemudian.     Untuk ketiga kalianya, Yosa dan Romeo bertatapan saking herannya. Keanu benar-benar aneh.     Keanu mengangguk-angguk. “Ya udah. Gue cuman mau tanya itu, sih. Sekarang kalian boleh pergi.” Keanu memberi gestur mengusir.     Romeo mendelik. “K, lo sebenernya kenapa, sih?” Ia benar-benar sudah gemas.     Sementara Yosa memutuskan untuk tetap tenang. Karena ia sangat yakin bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan Keanu.     “Udah pergi sana!” Keanu mendorong-dorong dua sahabatnya untuk segera keluar dari kamarnya ini.     Yosa dan Romeo bersikeras untuk tetap berada di sini. Tapi tidak bisa karena dorongan Keanu terlalu kuat.     Mau tidak mau mereka berakhir tetap keluar dari kamar Keanu. Sekadar informasi, kali ini keduanya tak dapat menahan diri untuk mengumpat.     Di balik pintu kamarnya, Keanu justru tengah tersenyum bahagia. Meleset dari dugaannya. Meskipun kedua orangtuanya tak peduli padanya, tapi masih ada dua manusia konyol yang peduli dengan tulus padanya. Sekarang Keanu memiliki alasan untuk melakukan pengobatan.     Keanu mengambil kacamatanya dari laci nakas. Akhir-akhir ini penglihatannya semakin memburuk. Keanu pikir itu karena neoplasma yang sudah menjalar ke saraf penglihatannya.     Sesuai janjinya pada Laurent, Keanu akan ke rumah sakit hari ini. Ia akan menyetir sendiri. Makanya ia butuh kacamata untuk memastikan keselamatannya sampai tempat tujuan.     Keanu sedikit was-was. Beberapa pertanyaan sudah muncul di kepalanya. Ia ingin segera sampai di rumah sakit dan menanyakan semua itu pada dokter Hans.   ***       Dokter Hans, dokter Simon, dan dokter Kell sedang serius memeriksa keadaan Keanu.  Mereka fokus pada mata Keanu. Mereka juga melakukan beberapa tes. Keanu berusaha menjalani semuanya dengan tenang dan santai. Walaupun sebenarnya ia takut dan tegang.     "Bagaimana, Dok? Apa aku bakalan buta?" tanya Keanu seraya bangun dari ranjangnya.     Dokter Simon tersenyum tipis padanya. "Jangan buru-buru mengambil kesimpulan! Kami akan menganalisa hasilnya dulu."     "Kamu boleh keluar dulu jalan-jalan. Tapi jangan terlalu jauh. Dan ingat … jangan kabur lagi!" Dokter Kell mengucapkannya dengan nada tegas tapi terlihat jelas bahwa ia sedang menggoda Keanu karena peristiwa kabur tempo hari.     Ketiga dokter itu kemudian tertawa bersama. Keanu yang merasa tersindir hanya bisa menahan rasa dongkolnya sendiri. Tapi ia ikut tersenyum sedikit demi asas kesopanan.     Dalam hati dia merutuki godaan Dokter Kell yang menurutnya tidak bermutu itu. Ia kabur kemarin kan bukan tanpa alasan. Dan apa tadi ia bilang? Jangan pergi terlalu jauh? Tidak usah diberitahu pun, ia juga tidak akan pergi terlalu jauh.     "Hey, Keanu, lain kali kalau ke rumah sakit jam segini, jangan pakai seragam SMA begitu!" Teriak Dokter Kell lagi. Suara dokter itu sudah keras bahkan tanpa harus berteriak. Keanu padahal sudah berada di luar, tapi suaranya masih sekeras itu. Bisa-bisa pasien penyakit jantung di rumah sakit ini meninggal secara masal.      Keanu terpaksa menutup kedua telinganya. Suara dokter Kell sungguh mengganggu. Ditambah lagi dengan suara tertawa dua dokter yang lain. Dokter macam apa yang hobi berteriak dan tertawa sekeras itu di rumah sakit? Berisik!     Keanu segera memasuki lift. Ia memutuskan untuk pergi ke atap saja. Di sana pasti sepi dan tenang. Tidak akan ada yang mengganggunya.     Tanpa Keanu sadari, ada seseorang yang sedari tadi mengikutinya.   ***       Suara permainan dari game console Keanu terdengar keras. Sesuai keinginan Keanu dari awal. Tempat ini sepi, tak ada yang mengganggunya. Keanu duduk di bagian sudut atap sehingga membuatnya tidak tersengat terik sinar matahari. Sesekali Keanu menaikkan kacamatanya yang melorot.     Ia begitu konsentrasi hingga benar-benar tidak menyadari bahwa orang yang mengikutinya tadi, sedang berdiri hanya sekitar empat meter saja dari posisinya sekarang.     Orang itu terlihat kesal karena Keanu belum juga sadar akan keberadaannya. Apa ia perlu berteriak-teriak untuk menyadarkan Keanu bahwa ada orang lain di sini?     Ya … apa boleh buat? Sepertinya Keanu memang perlu disadarkan.     "K!"     Keanu belum juga beralih dari game console-nya.     "K!"     Lagi. Dan kali ini tidak sia-sia. Keanu mulai mencari-cari sumber suara yang memanggilnya. Dan ia menemukannya.     "Devon?"     Devon segera tersenyum manis pada Keanu, lalu ikut duduk di sudut sana bersamanya.     "Aku dari tadi ngikutin kamu. Tapi kamu bener-bener nggak peka. Dasar!" Devon cemberut maksimal.     "Oh ya?”     "Kamu terlalu konsentrasi sama game console itu. Sebenernya kamu main apa, sih?" Devon mendekatkan pandangannya pada benda putih di genggaman Keanu.     Keanu segera melepas kacamatanya dan meletakkannya begitu saja. Ia mengamati Devon di sebelahnya.     Anak ini ... kenapa ia selalu terlihat gembira, sih? Membuat Keanu sedikit ... tersinggung mungkin? Ia merasa bahwa Devon sedang menyindirnya karena sifat cerianya itu.     "Kenapa kamu ngikutin aku?" Keanu memutuskan untuk tak mengindahkan pertanyaan Devon. Ia tak peduli meskipun Devon benar-benar ingin tahu game apa yang sedang ia mainkan.     "Aku selalu sendirian di kamar. Tentu aku ngikutin kamu agar punya teman bicara."     "Emangnya Mas Laurent-mu ke mana?”     Devon tersenyum, merasa senang dengan cara Keanu menyebut kata Mas Laurent-mu. "Dia kan perawat, K. Pasien di sini bukan cuma aku saja, ingat?"     "Iya, aku tahu. Maksudku ... pasien di sini kan bukan cuma kita, tapi kenapa kamu milih ngikutin aku, bukan yang lain?"     Devon tak segera menanggapi. Ia masih mencerna maksud perkataan Keanu. Ketahuan bahwa otaknya memang sedikit lemot.  “Jadi … kamu nggak suka aku ikutin?”     "Iya aku nggak suka. Masalah?"     Devon bertanya-tanya dalam hati. Apa yang membuat anak ini begitu sombong? Apa karena rumahnya yang seperti kastil Lex Luthor itu?     Well, Devon bukanlah tipe orang pemarah. Tapi serangan mendadak dari Keanu membuatnya sedikit tersinggung juga. Mirip seperti semalam saat Keanu bersikap egois dan tak sopan pada Laurent. Devon mengelus-elus dadanya sendiri supaya emosinya mereda. Ia harus bersabar.     “Ini udah siang, K. Ke kamarku, yuk. Nanti aku bagi jatah makan siangku.” Devon berhasil menjaga emosinya.     Kali ini Keanu melirik Devon. Apa kata-katanya tadi kurang jelas? Kenapa anak ini masih ngotot memintanya ini itu. Menyebalkan sekali! “Kamu pikir aku nggak punya uang untuk beli makan sendiri?”     “Bukan gitu maksudku, K. Aku hanya pengin makan bareng sama kamu. Pasti lebih asyik daripada makan sendirian.”     “Stop! Nggak usah ngomong lagi!”     Susah payah Devon menahan emosi, tapi apa yang ia dapatkan? Mungkin memang sebaiknya ia tidak berurusan dengan Keanu lagi. "Baiklah, aku akan pergi."     "Ya. Itu lebih baik. Pergi sana!" Keanu malah semakin menjadi-jadi.     Devon geram sekali dengan sikap Keanu. Maksudnya kan baik. Ia hanya ingin berteman. Ia ingin menemani Keanu agar anak itu tidak kesepian. Tapi kenapa tanggapannya malah seperti ini?     Dan lagi, ia sudah berniat baik untuk mengajaknya makan bersama. Setahu Devon, tidak ada di dunia ini yang lebih membahagiakan daripada makan bersama-sama.     Ia sudah jarang makan bersama Laurent semenjak sakit, dan ia pikir Keanu juga jarang makan bersama karena ia selalu sendirian di rumah. Tapi apa yang ia dapat dari niat baik itu?     Sebelum pergi, Devon berencana melakukan sesuatu terlebih dahulu agar Keanu sadar bahwa sikapnya itu sangatlah tidak manusiawi. Ia memandangi game console Keanu lagi.     Tanpa menunggu lebih lama, Devon segera merebut game console itu dari tangan Keanu. Keanu yang tidak menyangka hal ini akan terjadi, tak sempat mencegah perbuatan Devon.     Devon segera memencet segala tombol yang ada di game console itu secara sembarangan. Tidak sampai 10 detik, game itu sudah game over.     Devon tersenyum puas melihat tulisan game over besar di layar game console, dan ia segera mengembalikannya pada Keanu dengan senyum yang lebih lebar.     "Kamu gila, ya?" rutuk Keanu. Ia terlihat marah. Tidak. Tapi SANGAT MARAH. "Apa yang kamu lakukan?" makinya.     "Kenapa? Kamu nggak suka?” Devon tak mengindahkan makian Keanu. “Sesuai titah kamu tadi … aku pergi sekarang.” Devon melenggang pergi dengan santainya.     Senyum kemenangan masih menghiasi wajahnya. Hingga sesuatu berhasil membuat senyuman itu pergi dengan segera.     PRAKKKK.     Suara apa itu?     Devon menoleh dan melihat game console, yang hanya dengan melihatnya saja, sudah diketahui bahwa harganya sangat mahal. Benda itu hancur berkeping-keping di lantai atap ini, tepat di belakangnya. Rupanya Keanu baru saja melemparkan benda itu.     Mata Devon membulat sempurna. Ia menelan ludahnya. Iya, ia tahu dan paham bahwa Keanu marah. Tapi ia kan hanya ingin memberi sedikit pelajaran padanya. Ia sama sekali tidak  menyangka bahwa Keanu akan sampai hati melemparnya sampai hancur begini.     Belum sempat Devon bertanya padanya, Keanu sudah terlebih dahulu pergi meninggalkannya. Ia bahkan lupa membawa kacamatanya. Rasa sesal segera tumbuh di hati Devon.     Apa yang membuat Keanu begitu marah?     Dan Devon berakhir merasa bersalah.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD