Bab 2 : Debu Luar Angkasa

1582 Words
Miss Erma berjalan cepat menuju perpustakaan, sedangkan Abbey mengekor di belakangnya. Dosen mata kuliah estetika barat yang merangkap sebagai koordinator perpustakaan kampus tersebut sedang merasa kesal. Bunyi ketukan keras sepatu hak tingginya di lantai, sesuai dengan isi hatinya. “Saya udah bilang, Bey. Telat masuk kelas, kamu udah nggak bisa kerja paruh waktu di perpustakaan lagi. Saya suka mahasiswa disiplin. Yang menghargai waktu,” tekan wanita itu. “Kali ini saya benar-benar minta maaf, Miss. Tadi saya terlambat karena menempel selebaran,” balas Abbey dengan nada memohon. Miss Erma mendecih. “Bagaimana bisa saya mempercayakan perpustakaan berharga kampus kepada mahasiswi yang nggak pernah tepat waktu di kelas saya?” Sejak awal semester tiga ini, Abbey memang selalu tak beruntung untuk mengikuti kelas Miss Erma dengan tepat waktu. Setelah mama bekerja di luar kota dan membuatnya tinggal sendiri di rumah, dia selalu saja mendapat kendala seperti; ban motornya meletus, lupa mengisi token listrik yang membuatnya terlambat mandi, lupa mengunci rumah sehingga dia harus kembali pulang, dan lain sebagainya. Termasuk berpapasan dengan Egra pagi ini. “Tapi saya selalu menyelesaikan pekerjaan saya di perpustakaan tepat waktu, Miss,” balas Abbey sambil berusaha menyamai langkah dosen berpawakan tinggi dan langsing tersebut. Miss Erma berbalik, dan Abbey nyaris menabrak tubuhnya. Tinggi Abbey hanya sebatas pundak wanita itu. “Hasil kerjamu di perpustakaan memang bagus dan saya suka, tapi itu bukan berarti kamu bebas datang terlambat di kelas saya, Bey.” Sebenarnya apa hubungannya antara pekerjaan di perpustakaan dengan terlambat di kelas? Pikir Abbey. Tapi dia tak mungkin mengajukan pertanyaan semacam itu kepada Miss Erma kalau tak ingin benar-benar di depak dari perpustakaan. “Maafkan saya Miss, saya memang salah. Saya berjanji nggak akan terlambat lagi. Saya mohon, jangan pecat saya dari perpustakaan.” Abbey merasa sangat merana. “Saya sedang sangat butuh tambahan uang. Saya belum membayar uang SPP semester ini.” Miss Erma mengerutkan dahi. “Kamu nggak bisa mengikuti ujian tengah semester kalau belum bayar SPP semester ini.” Kalimat Miss Erma serasa menggarami luka. “Iya, Miss. Maka dari itu, saya mohon jangan pecat saya dari perpustakaan.” Abbey membalas dengan suara yang terdengar begitu menyedihkan. Miss Erma mengamati cewek bertubuh kecil dan kurus di hadapannya itu selama beberapa saat, lalu mengela napas. Merasa iba. “Ini terkahir kalinya ya, Bey. Telat sekali lagi, kamu keluar dari kelas saya sekaligus keluar dari perpustakaan. Oke?” *** Abbey sedang serius menekuni data buku-buku perpustakaan yang belum dikembalikan melebihi batas waktu. Selama empat hari dalam seminggu, Abbey bertugas untuk menjaga perpustakaan kampus selepas pukul empat sore sampai pukul delapan malam. Dia sedang sibuk dengan pekerjaannya sampai tidak menyadari bahwa ada seorang cowok yang mendatangi mejanya. “Boleh pinjam komputer?” kata cowok itu. Cowok itu bertubuh tinggi. Wajahnya dibingkai rambut yang lurus dan panjang serta diikat separuh ke belakang membentuk kuncir kecil. Bentuk tatanan rambut itu memperlihatkan dahinya yang lebar dan berbentuk hati. Orang-orang yang melihatnya pasti akan mengira dia cewek dengan tatanan rambut yang dipotong sedemikian rupa, jika saja dia sedang tidak mengenakan kemeja dari kain jin yang bagian belakangnya bersablon motor Harley. Abbey mengenali cowok itu sebagai salah satu mahasiswa Fakultas MIPA jurusan astronomi, Eidwen Saki. Cowok itu seringkali berada di perpustakaan saat jam kosong. Membaca dan membaca buku-buku mengenai kosmologi, perhitungan fisika, matematika dan segala hal rumit mengenai materi irisan MIPA yang menjurus ke pembahasan astromoni. Saat membaca, dia selalu memakai headphone tanpa memedulikan sekitar. Dan marah ketika mendengar ada orang yang berisik. Abbey menunjuk barisan komputer pengunjung di salah satu sudut perpustakaan. “Penuh,” balas cowok itu setelah mengikuti arah telunjuk Abbey. Komputer pengunjung memang sedang digunakan semua. “Kalau begitu antri.” “Gue buru-buru.” “Mereka juga,” balas Abbey dengan santai. Cowok itu menatap Abbey penuh penilaian selama beberapa saat sebelum membalas dengan nada tenang dan tanpa ekspresi. “Minggu lalu, lo salah meletakkan buku kosmologi di rak buku fiksi. Minggu ini, lo salah meletakkan buku fisika di rak buku sastra. Dan itu fatal.” Abbey hanya menatapnya. Cowok ini ngomong apa barusan? “Gue paham lo nggak peduli, tapi gue perlu lima belas menit lebih cuma buat cari buku-buku yang gue butuhin. Keteledoran lo merugikan waktu orang lain,” lanjut cowok itu masih tenang namun panas di pendengaran. Setelah pagi-pagi diceramahi oleh Miss Erma mengenai ketepatan waktu, sekarang dia harus berhadapan dengan cowok yang sok rugi gara-gara keteledoran yang mungkin saja tidak dia lakukan. Ada dua mahasiswi paruh waktu yang bekerja di perpustakaan. Abbey dan cewek dari Fakultas Ekonomi yang baru saja bergabung sebulan lalu. Sejauh yang Abbey ingat, dia tak pernah melakukan kesalahan seperti itu. Dia sudah bekerja selama hampir lima bulan di perpustakaan, jadi cukup waktu baginya untuk menghafal letak masing-masing buku.  “Bukan gue yang meletakkan buku-buku itu,” sergah Abbey. “Kalau begitu salah pekerja perpustakaan. Dan itu masih tanggung jawab lo. Jadi, sebagai kompensasi kerugian waktu, gue pinjam komputer server sebentar.” Tanpa menunggu ijin dari Abbey, cowok itu menerobos ke dalam kubikel meja petugas, meraih mouse di tangan Abbey kemudian membuka daftar pesan buku. Dengan posisi tubuh membungkuk tepat di samping Abbey, seketika bau parfum cowok yang menyegarkan menguar ke hidung Abbey. “Hei, jangan nyelonong masuk gitu, dong. Lo mau ngapain?” Abbey terkejut lalu mencoba menghalangi cowok itu membuka-buka data pribadi perpustakaan. Tapi dalam satu gerakan saja, kedua tangan Abbey yang kecil kurus masuk ke dalam cengkeramam cowok itu. “Gue mau pesan buku. Udah request lewat komputer pengunjung sejak setahun yang lalu dan nggak ada tanggapan sampai sekarang,” ujarnya sambil mengetik dengan satu tangan. “Padahal banyak anak MIPA yang butuh. Bukunya mahal. Gue bisa beli sendiri, tapi teman-teman gue ada yang nggak bisa beli. Jadi, lebih baik gue tulis langsung di data pribadi kalian. Gue nggak lagi kurang ajar. Gue bisa jelasin ke Miss Erma kalau marah sama tindakan gue. Jadi lo diam aja, nggak usah banyak gerak, soalnya–” cowok itu melirik sekilas tangan Abbey. “Tangan lo kayak tangan orang anoreksia. Lo nggak pernah makan? Takut patah gue.” Kurang ajar, sungguh kurang ajar. Tak tahu aturan. Tak tahu sopan santun. “Tapi lo nggak bisa nulis seenaknya gitu dong,” sergah Abbey. “Semua ada prosedurnya, tahu. Lo bisa isi kotak kritik dan saran atau langsung tulis surat pengajuan bu─” “Udah selesai,” potong cowok itu, tampak tak menggubris ocehan Abbey. Dia melepaskan tangan Abbey lalu menegakkan tubuh. “Jangan hapus pesanan gue, oke?” lanjutnya. Dia membenarkan tali tas di punggungnya, lalu pergi begitu saja tanpa permintaan maaf atau berterima kasih. Begitu si sinting itu menghilang, Abbey mengecek komputer dan data pesanan buku. Cowok itu menulis di salah satu tabel pemesanan. The Feynman Lectures on Physics, oleh Richard Feynman, penerbit Addidon Wesley. (Tiga edisi)  The Road to Reality, oleh Roger Penrose, penerbit Alfred A. Knopf Pemohon : Eidwen Saki – Fakultas MIPA Dasar orang aneh. Itu semua daftar buku yang edisinya sulit dicari. Import dan super mahal pula. *** “Eid,” panggil seseorang dari sebuah mobil sedan yang parkir di depan kampus. “Eid!” Eidwen menemukan sumber suara lalu mengela napas. Yang barusan itu suara ayahnya, pria yang menjadi daftar orang pertama yang enggan dia temui di mana pun dia berada kecuali di rumah karena terpaksa. Eidwen menghampiri mobil lalu masuk ke jok penumpang. Mobil pun mulai bergerak pergi meninggalkan kampus. Di dalam mobil suasana terasa begitu canggung. Eidwen tidak membuka mulutnya sama sekali dan ayahnya hanya melirik rambut lurus sebahu cowok itu. Semakin lama, anak keduanya itu semakin mirip ibunya. Mata sipit, hidung tinggi dan bibir tipis. Helai-helai rambut depannya yang lepas dari ikatan jatuh alami ke dahinya. Dari samping, siluet Eidwen terlihat seperti karakter dalam komik. Sebuah kecantikan khas yang dimiliki cowok rupawan. “Belum terlambat buat pindah jurusan, Eid,” celetuk ayah dengan lembut sekaligus terdengar seperti menahan amarah. Eidwen mengulum tawa. Dia sudah tahu apa yang akan mereka bicarakan dalam mobil yang bergerak entah ke mana ini. Sudah ribuan kali masalah ini dibahas. Sejak semester pertama dia kuliah. Cowok itu memilih untuk tidak menjawab. Pandangannya mengarah ke luar jendela, kepada papan-papan iklan yang tulisannya terlalu cepat menghilang sebelum selesai dibaca. “Ayah udah konsultasi sama Pak Nugroho, rektor kamu. Dia bilang, kamu bisa pindah jurusan selama masih dalam satu Fakultas MIPA,” lanjut ayah lagi. Eidwen tetap membisu. “Jurusan astronomi bukan karir yang bagus, Nak.” Mendengar hal itu, Eidwen semakin ingin menyembur tertawa. “Eid,” panggil ayah. “Kamu dengar ayah?” “Aku nggak akan pindah ke jurusan mana pun,” balas Eidwen singkat. “Atau pindah kampus? Kamu mau tinggal di luar negeri?” “Aku juga nggak akan pindah ke mana-mana. Aku bakal menetap di sini. Nggak peduli Ayah suka atau nggak.” Eidwen menjawab masih sambil membuang muka. Namun, dia merasakan pandangan menusuk ayahnya. “Kamu pindah atau ayah yang paksa pindah?” Eidwen menatap ayahnya kali ini, dan setelannya yang licin dan memuakkan. “Ayah pikir dengan mengirim aku luar negeri dan berhenti mempelajari astronomi, bisa membuat Haska bangkit dari kematian? Haska udah mati, Yah. Terima kenyataan itu.” “Eidwen!” sergah ayah marah. “Jaga mulutmu!” “Dan lagi, astronomi nggak membunuh Haska. Tapi hubungan Ayah dan Ibu yang membunuh Haska.” Sebuah tamparan yang membuat telinga berdengung mendarat di pipi Eidwen. Perlu beberapa detik bagi cowok itu agar pandangannya tidak berbayang. Dia mengucapkan sesuatu ke sopir dan mobil berhenti melaju. Eidwen keluar dari mobil lalu membanting menutup pintu dengan perasaan muak. Dia merasa lelah dengan hubungannya dengan orangtuanya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD