Vega menghilang

1189 Words
Sesampainya di tempat kerja, Ringga segera masuk ke dalam ruang ganti pegawai. Ia segera mengganti pakaian dengan seragam pegawai. Ringga masih kesal dengan kejadian di bus tadi, gara-gara Vega, Ringga di marahi oleh orang lain. Ringga melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia menyiapkan peralatan masak, merapikan meja pelanggan dan merapikan peralatan makan. Chef Nata dan Aydin juga sudah datang. Tetapi ada yang mengganggunya saat ini, terlalu tenang. Ringga berdiri mematung, “Ada yang kurang sepertinya, tapi apa ya?” tanya Ringga pada dirinya sendiri. Namun, Ringga melanjutkan kembali pekerjaannya berusaha menepis pikirannya tentang Vega, Ringga berusaha fokus dengan pekerjaannya. Pelanggan mulai ramai, Ringga dan semua pegawai sibuk melayani para pelanggan. Sampai tidak terasa hari sudah mulai petang. Ringga duduk untuk rehat sebentar, ia menyandarkan punggungnya di tembok cafe. Matanya melihat sekitar, “Vega ke mana? Sampai petang begini belum kelihatan. Kalau ada apa-apa bagaimana?” tanya Ringga pada dirinya sendiri, kini ia mulai cemas tidak melihat Vega seharian. “Astaga! Kenapa aku memikirkan dia?” tanya Ringga kesal. suara Ringga terdengar oleh Riko yang juga sedang duduk di sampingnya. Riko menoleh ke arah Ringga, “Wajar saja kalau kamu masih memikirkan mantan kamu, Zafia. Namanya juga baru putus, pasti kepikiran ‘kan. Sabar saja ya,” ucap Riko sambil menepuk bahu Ringga, lalu ia beranjak pergi meninggalkan Ringga yang menatap terkejut. “Maksud aku bukan ...” belum juga Ringga menyelesaikan ucapannya, Riko sudah beranjak pergi. “Haduh, salah paham lagi. Biarlah!” ujar Ringga berusaha acuh. Kemudian ia beranjak dari duduknya. Ringga memasuki area dapur dan merapikan kembali peralatan masak yang sudah di bersihkan sebagian. Dari dalam jendela dapur, Ringga melihat Vega sedang duduk di bawah pohon.  Vega duduk membelakangi Ringga, “Nah, itu dia. Apa dia duduk sendirian di sana?” Ringga lalu menghampiri Vega. Perlahan Ringga melihat sosok hantu anak kecil yang duduk di samping Vega. Semakin mendekat, Ringga semakin yakin jika Vega sedang berbicara dengan anak kecil tersebut.  “Itu kan hantu anak kecil yang ada di halte tadi pagi, apa dia ada di sini? Apakah Vega seharian bersama anak kecil itu?” tanya Ringga dalam hatinya. Ringga berjalan mendekati Vega, ia tidak peduli jika Vega sedang berbicara dengan hantu anak kecil tersebut. Kemudian Ringga duduk di samping Vega. “Kamu ke mana saja seharian ini?” tanya Ringga kepada Vega. Lalu Vega menoleh ke arah Ringga, “Aku sedang menemani anak kecil ini. Kasihan, dia sedang mencari ibunya,” ujar Vega. Ringga melihat ke arah hantu anak kecil yang duduk dan sedang menatapnya dengan tatapan sedih. “Lalu?” tanya Ringga, seolah tidak ada rasa peduli terhadap permasalahan yang dialami oleh hantu anak kecil tersebut. “Ish! Kamu bantu lah!” ujar Vega berbisik. “Dia kan hantu, bisa mencari ibunya sendiri, bisa pulang ke rumahnya sendiri, kenapa minta bantuan aku?” tanya Ringga berubah menjadi kesal, lalu ia beranjak kembali dari duduknya dan berniat meninggalkan Vega dan hantu anak kecil tersebut. Ringga merasa di repotkan dengan kehadiran Vega yang sudah membuatnya terkena masalah, apalagi ditambah dengan hantu anak kecil yang entah berasal dari mana. Tapi dengan sigap Vega menghadang langkah Ringga, “Ringga, dia baru jadi hantu kemarin, dia belum bisa apa-apa, sama seperti aku masih bingung menjadi hantu yang benar,” ujar Vega. “Makanya, aku tidak mau menampung dia di rumahku. Ada kamu saja aku terkena masalah terus,” Ringga semakin kesal. “Makanya kita bantu dia temukan keluarganya, agar kamu tidak perlu menampung dia di rumah kamu. Please,” Vega memohon dengan menempelkan kedua tangannya di depan dadanya, ditambah dengan wajah yang memelas. Ringga menghela napas panjang, wajah Vega yang memelas membuatnya luluh, “Oke, baiklah. Setelah aku pulang kerja kita bantu dia, oke! Kamu puas?” ujar Ringga, lalu berjalan menjauhi Vega.  Mendengar ucapan Ringga yang mau membantu anak kecil itu, membuat Vega tersenyum senang. “Aaah, terima kasih Ringga. Kamu baik banget.” Vega berseloroh sambil memegang kedua pipinya sendiri. Ringga menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya, “Lain kali jangan pakai wajah memelas seperti itu, menyebalkan!” ujar Ringga kesal. karena tidak bisa menolak Vega yang membujuknya dengan wajah memelas. Ringga melanjutkan langkahnya ke dalam cafe. Riko dan Aydin yang melihat  Ringga berbicara sendiri di luar, menghampiri Ringga. “Ringga, sabar ya. Putus dari pacar memang menyakitkan, tapi jangan sampai membuat kamu kehilangan kewarasanmu Bro! Jika ingin ada teman mengobrol panggil aku saja ya, aku sedih jika melihatmu bicara sendirian seperti itu hanya karena gara-gara putus dari Zafia.” Riko menepuk bahu Ringga pelan. “Apa? kamu salah paham, aku tidak ....” belum juga Ringga menjelaskan yang sebenarnya, Aydin sudah berada di hadapannya. “Ringga, kalau kamu perlu istirahat, kamu diizinkan untuk istirahat di rumah,” ujar Aydin. “Oh, tidak, aku tidak ingin istirahat di rumah, aku ingin bekerja,” jawab Ringga cepat. Sebagai seorang pemimpin sekaligus pemilik cafe tempat Ringga bekerja memang sangat perhatian terhadap anak buahnya. Termasuk Ringga yang diputuskan oleh Zafia.  “Baiklah, kalau kamu malu mengakuinya, tidak apa-apa. kelak kamu akan mendapatkan wanita yang lebih baik dari Zafia,” ujar Aydin, lalu meninggalkan Ringga yang berdiri kebingungan untuk menjelaskan yang sebenarnya. “Lagi-lagi salah paham gara-gara aku berbicara dengan Vega,” ujar Ringga menggelengkan kepalanya. ** Setelah selesai bekerja, Ringga menepati janjinya untuk membantu hantu anak kecil tadi. Di jalan Ringga bertanya kepada hantu anak kecil tersebut. “Nama kamu siapa?” tanya Ringga. “Vega. Masa kamu lupa sih?” Vega menjawab pertanyaan Ringga. “Bukan kamu bodoh! Aku bertanya ke hantu anak kecil itu!” sentak Ringga, membuat Vega cemberut. “Namaku, Bagas,” jawab hantu anak kecil yang terus mengikuti Vega. “Kamu ingat kamu meninggal di mana?” tanya Ringga. Bagas mengangguk, lalu berjalan seolah ingin menunjukkan tempat Bagas meninggal. Ringga dan Vega mengikuti Bagas. Sekitar setengah jam mereka berjalan, akhirnya mereka sampai di jembatan dekat halte tempat biasa Ringga menunggu bis untuk kerja. “Ini dekat kosan aku, itu halte tempat aku menunggu bis untuk berangkat kerja,” ucap Ringga menunjuk halte di sisi sebelum jembatan sambil mengatur napasnya. “Oh, dekat ya ternyata,” ucap Vega. “Dekat apanya? Aku kecapean begini, kamu bilang dekat?” Ringga semakin kesal. namun, rasa kesalnya teralihkan setelah melihat Bagas berdiri mematung di sisi jembatan. Ringga menghampiri Bagas, “Kenapa kamu terdiam? Kamu meninggal di sini? Meninggal kenapa?” tanya Ringga kepada Bagas, tapi Bagas hanya menggelengkan kepalanya saja tanpa mengucapkan sesuatu. Ringga melihat ke bawah sungai, tapi karena minim cahaya, Ringga hanya melihat aliran sungai yang terlihat surut. Tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. “Bagaimana? Kamu melihat sesuatu yang aneh?” tanya Vega. Ringga menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bisa melihat ke tepi sungai, terlalu gelap. Aku pikir Bagas meninggal di sini karena terjatuh atau tenggelam, mungkin saja jasadnya ada di bawah. Kamu turun ke bawah, sana!” perintah Ringga kepada Vega. “Enggak mau ah, nanti kalau aku kenapa-kenapa bagaimana? Nanti kalau aku luka bagaimana?” Vega protes. “Kamu kan hantu, mana bisa terluka. Aku masih hidup, kalau aku ke sana aku bisa meningsoy. Kalau aku meningsoy, terus yang bantu Bagas menemukan keluarganya siapa?” Ringga jadi tambah kesal, sedangkan Vega hanya tersenyum kecut mendengar omelan Ringga. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD