10- Di Tempat Kerja

1386 Words
Selain sebagai mahasiswa yang tugasnya belajar, Nino juga memiliki tugas lain, yaitu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Bekerja. Nino memang masih memiliki tabungan di rekeningnya hasil upah klien saat operasi 'As You Wish', namun ia juga tidak ingin bermalas- malasan begitu saja. Ia tetap bekerja. Menjadi kurir part-time yang bertugas mengantar pesanan pelanggan kedai kopi. Kadang pesanan itu berupa makanan, dan juga minuman. Ada banyak yang memberikan penilaian bagus untuk Nino sebagai kurir pengantar, namun tidak semua pelanggan kedai kopinya senang dan memberikan penilaian yang bagus untuk Nino. Beberapa ada yang menilai jika kinerja Nino kurang cepat. Padahal menurutnya, kecepatan motor yang dikendarainya sudah sangat cepat. Entah lah, kadang pelanggan kedai kopi itu sengaja memberi nilai buruk. "Saya kembali!" seru Nino tersenyum memasuki kedai kopi itu. Ia sehabis mengantarkan beberapa kantung makanan ke kos- kosan mahasiswa di dekat kampusnya. Pemuda itu tersenyum pada Gita, temannya yang berada di mesin kasir. Lalu dengan santai melenggang ke kamar mandi. Nino mencuci tangan dan mukanya, kemudian bercermin. Ia menatap pantulan dirinya yang tampak lesu, lalu dengan cepat ia paksakan senyuman di wajahnya. Tadi pagi ia berkuliah full dari pukul tujuh hingga pukul dua belas. Setelah itu ia langsung menuju kedai kopi untuk mengisi waktu parttime- nya. Bahkan mungkin nanti malam ia akan begadang mengerjakan tugas makalah yang belum ia garap. Ia merasakan tubuhnya yang benar- benar lelah. "MANA NINO?!" Nino baru saja melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tiga sore, ketika mendengar teriakan dari arah dapur kedai kopi. Ia dengan cepat mengelap wajahnya yang basah dan segera bergegas meninggalkan kamar mandi. Itu tadi adalah suara bosnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun ia mendadak cemas. Bisa- bisanya bosnya berteriak keras sekali seperti itu. Semoga Nino tidak terkena masalah. Begitu ia sampai di dapur, Nino langsung menemui atasannya itu. Yang langsung mendapatkan raut marah bosnya, diiringi raut prihatin para karyawan lainnya. Karyawan lain yang sama- sama mahasiswa kampusnya. "Iya, Pak? Ada apa?" tanya Nino bingung. Ia mendadak ciut mendapatkan tatapan marah dari wajah bosnya itu. Bosnya yang bertubuh tambun itu langsung berkacak pinggang dengan tangan kirinya di depan Nino. "Kamu ini niat kerja di sini, atau enggak, sih?!" tanyanya dengan nada tinggi. Tangan satunya menunjuk- nunjuk Nino. Nino yang mendapat pertanyaan seperti itu pun bertambah bingung. Namun ia tetap menjawabnya. "Niat, Pak." Lalu ia menatap karyawan lain yang tampak memandangnya prihatin. Ia membutuhkan penjelasan mengapa bosnya itu tiba- tiba marah padanya. "Terus kenapa para pelanggan bilang kalau kamu selalu telat kalau mengantar pesanan mereka?" Bosnya masih tampak marah. Lalu menjeda untuk mengatur napasnya yang memburu sebelum melanjutkan. "Kamu bikin para pelanggan kedai kopi ini kecewa, kamu tahu?!" Nino kini mulai mengerjap. Jadi karena hal itu ia dimarahi dan dipermalukan di depan semua karyawan lainnya? "Saya sudah mengebut, Pak. Bahkan terkadang terpaksa menerobos lampu merah demi sampai ke tempat pelanggan itu dengan cepat. Tetapi mereka aja yang gak sabaran," tukasnya. Ia jujur ikut kesal. Bosnya masih berkacak pinggang. Nampaknya masih belum menerima pembelaan diri Nino. "Alasan, kamu!" serunya. Ia makin melangkah mendekati Nino. "Motor udah disediakan sama kedai, tapi kamu masih juga lelet." "Pak, saya juga udah mengusahakan secepat yang saya bisa, tapi Bapak tahu 'kan kalau jalanan Jakarta memang selalu macet, saya gak bisa berbuat apa- apa," jelas Nino lagi. Ia masih mencoba menjelaskan dengan nada yang ia atur agar tidak terdengar menantang bosnya. Namun bosnya masih saja tidak mau mendengar apapun yang keluar dari bibir Nino. "Kamu jangan banyak alasan, ya! Banyak kok mahasiswa lain yang butuh kerjaan part-time di sini, dibandingkan kamu yang kadang mencuri makanan." Bosnya menyeringai meledek Nino. Lalu mengungkit tentang masalah yang terakhir kali terjadi. Nino kini mulai tak terima. Setahunya urusannya waktu itu sudah selesai, bahkan gajinya sudah dipotong untuk membayar makanan itu. Namun kini bosnya malah membuka masalah itu di depan karyawan lain. Membuatnya malu karena sekarang mendengar bisikan- bisikan dari para karyawan. Lama- lama kesabaran Nino habis juga. "Oke! Kalau begitu gue keluar dari sini!" teriaknya tiba- tiba. Ia menatap nyalang bosnya itu. "Gue juga gak betah punya bos yang pelit, kikir dan galak kayak lo! Yang senangnya godain karyawannya sendiri dan mata duitan!" bentaknya lagi di depan bosnya itu. Semua yang ada di sana terkejut. Termasuk bosnya itu. Mereka tidak pernah menyangka Nino akan kehilangan kendali seperti itu. Biasanya Nino hanya akan meminta maaf dan menuruti semua perkataan bosnya. "Bahkan gue cuma makan satu buah roti yang sisa, dan langsung gue bayar dengan gaji gue. Lo masih bilang gue pencuri?!" teriak Nino lagi. Ia benar- benar marah. Bosnya tampak menganga dan tidak percaya melihat Nino. "Apa kata kamu?!" Ia tampak hampir memukul Nino, namun langsung dicegah oleh karyawan lain. Mereka memegangi tubuh bosnya itu. Nino kini dengan cepat melepas apron berlogo kedai kopi itu yang melilit di pinggangnya, kemudian melemparnya ke lantai dengan keras. Lalu diinjaknya berulang kali. "Gue keluar dari sini!" Detik itu juga, Nino melangkah dengan cepat meninggalkan kedai kopi itu setelah mengambil tasnya. Ia membanting pintu kedai dengan keras. Lalu tidak mempedulikan apapun lagi meskipun bosnya dan karyawan lain meneriakinya, memanggil namanya dengan lantang. Nino berjalan dengan cepat, napasnya memburu. Lalu ia berhenti mendadak ketika berada di tikungan dekat kedai. Pemuda itu berbalik badan dan menatap kedai kopi tempatnya bekerja sebulan belakangan itu. "Bahkan si Bos Gendut dan Kikir itu belum bayar gaji gue! Sial!" umpatnya kesal. Dengan cepat ia membalik badannya lagi dan kembali berjalan. Ia tidak ingin berlama- lama berada di sana, karena akan makin kesal saja. *** "Jadi ... lo sekarang udah gak kerja lagi di sana?" Nino mengangguk kesal sembari menatap Argan. Yang langsung mendapatkan tawa keras dari pemuda itu. "Kocak! Gue penasaran sama ekspresi bos lo itu pas lo lemparin apron itu ke lantai." Argan lagi- lagi tertawa. Nino menatap Argan dengan kesal. "Biarin. Lagian si Bos Gendut itu perlu dikasih pelajaran," ucapnya kesal. "Bayangin aja, dia itu pelitnya minta ampun, galak pula. Terus gue lihat dia sering godain mahasiswi yang kerja di sana," sambungnya lagi. Belum sempat Argan membalasnya, Nino melanjutkan. "Para mahasiswi itu mana ada lapor atau bilang itu pelecehan? Mereka diam. Karena mereka takut dipecat." "Dan sekarang lo yang dipecat." Argan berceletuk geli. "Gue gak dipecat, lo denger sendiri gue-" "Iya, iya." Argan menyela kalimat Nino. "Gue bercanda." Bisa- bisanya pemuda itu masih bercanda di saat seperti ini. "Ya udah lah, lagian gue juga udah gak betah kerja di sana." Nino berujar sembari merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Ia kini menatap Argan dari samping. "Bagus, kok. Gue malah dukung lo keluar dari sana. Daripada lo kerja tertekan dan gak bahagia, gak baik buat kesehatan psikis lo," kata Argan menenangkan. Pemuda itu tersenyum, sisa tertawanya tadi. "Tapi abis ini lo gak ada pemasukan tambahan dari kerja dong?" Argan bertanya lagi. Ia mengambil kacang tanah dan membuka kulitnya. Cemilan yang wajib di saat mereka mengobrol. Nino mengangguk. "Gue cuma harapin lo." Ia mengedip berulang kali pada Argan. Argan melempar kulit kacang pada Nino dengan sebal. "Lo pikir gue harus nafkahin lo gitu?" Ia terkekeh dan mengunyah kacangnya. "Gue harus gencar promosi, biar banyak yang kunjungi blog kita. Syukur- syukur abis itu mereka mau buat permintaan." Nino kini memandang langit- langit kamar kosnya. "Gue gak bisa diem aja dong." Argan mengangguk dalam diam. Lalu Nino segera bertanya pada pemuda itu. "Lo masih mau kerja di minimarket itu? Katanya bosnya juga galak." Argan melirik Nino sekilas sembari membuka kulit kacang. "Masih. Lumayan gajinya, bisa buat bayar kos sama makan kalau irit," sahutnya cepat. Ia melanjutkan, "Lagian gue juga bisa makan gratis." Nino kini tengkurap menatap Argan. "Makan gratis?" Ia mengerut dahinya. Bingung dengan makan gratis yang dimaksud Argan itu. Argan menarik sudut bibirnya. "Gue kadang makanin makanan yang kadaluarsa di sana. Tapi masih enak." Nino menatap Argan dengan takjub. "Terus gak ketahuan?" tanyanya lagi. Setahunya, bahkan di minimarket itu banyak terdapat CCTV. Argan kini tidak sepenuhnya fokus pada kacangnya. Ia menatap Nino dengan seringai lebar. "Lo tahu, gak semua tempat masuk ke rekaman CCTV itu. Gue gunain kesempatan itu buat ambil makanannya." Nino menjetik jari. "Oh, blind- spot?!" "That's right!" Argan menyeringai. "Dan bos gue yang sepertinya b**o itu gak sadar, dong. Dia emang gak merhatiin stok barang, cuma mikir duit doang." Nino kini menyeringai mengikuti seringai lebar dari Argan. "Jenius! Sesuai dugaan gue, gue tepat milih partner kek lo," ucapnya dengan antusias. Argan mengedik bahunya. Lalu tertawa ringan, disusul tawa oleh Nino. Untuk urusan ini ... mereka memang sehati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD