3- Cara

1031 Words
Uang sisa beasiswa semester lalu sudah menipis. Argan dan Nino terpaksa memutar otak untuk berhemat dan mencari cara agar uang itu tetap cukup sampai akhir bulan. Mereka memangkas biaya makan, bahkan kini menggabung sarapan dan makan siang mereka. Menghemat biaya bulanan, mengganti keperluan yang sekiranya biasa mahal, kini diganti menjadi yang jauh lebih murah. Namun hari berlalu, dan menuju akhir bulan, uang mereka benar-benar menipis. Argan mengecek sisa uang di dompetnya dan hanya menemukan lima puluh ribu yang harus ia hemat selama sepuluh hari lagi menuju akhir bulan, sedangkan ia tidak punya tabungan lain. Nino juga tidak mungkin meminta uang dari keluarga di kampung, karena untuk makan pun keluarga mereka masih sangat kekurangan. Apalagi ibu Nino yang juga sakit-sakitan di rumah, bahkan di kampung harus terus berhutang. Tidak mungkin juga menjual barang-barang mereka. Bahkan barang yang paling berharga di dalam kamar mereka adalah laptop milik Nino yang didapat pemuda itu ketika ia menang undian berhadiah semasa SMK dulu. Tetapi sekali lagi ia tidak mungkin menjual laptop itu, karena laptop adalah hal paling wajib untuk seorang mahasiswa ketika mengerjakan tugas kuliah seperti makalah, dan sebagainya. Apalagi Nino juga sangat menyayangi laptopnya itu. Jadi, satu-satunya cara yaitu dengan ... "Kita berdua cari kerja aja," usul Argan tiba-tiba. Pemuda itu menatap Nino yang masih berkutat dengan makalahnya. Mereka saling pandang, namun Nino masih diam. "Iya, daripada kita harus hemat makan terus-terusan. Gak mungkin juga minta duit sama keluarga di kampung, 'kan?" sambung Argan lagi. Nino mengangguk mengiyakan. "Ide bagus tuh." "Besok kita mulai cari kerja part-time aja. Syukur-syukur langsung dapat." Argan tersenyum di ujung kalimatnya. Nino tersenyum lebar menanggapi. "Besok cari kerja bareng, ya!" Argan mengangguk dengan senyum lebarnya. "Iya!" *** Hari pertama mereka mencari kerja, masih sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan mereka beberapa kali ditolak secara terang- terangan. Beberapa hari mencari pekerjaan part-time, mereka selalu tertolak dengan alasan tempat itu sudah banyak pegawai. Atau alasan lain seperti mencari pekerja full- time yang bukan anak kuliahan. Hingga mereka berdua sempat hampir putus asa. Namun sekali lagi mereka meyakinkan diri mereka bahwa tidak ada cara lain untuk mendapatkan uang selain dengan bekerja. Sampai akhirnya usaha mereka pun membuahkan hasil. Argan akhirnya diterima kerja, begitupun dengan Nino. Argan bekerja part-time sebagai kasir di minimarket di dekat kos-kosannya, sedangkan Nino sebagai kurir antar makanan di kedai kopi depan kampusnya. Mereka mulai bekerja keras dan ketika mendapatkan upah, mereka membayar biaya kos-kosan. Namun seperti yang mereka sangka, sejak awal upah part-time yang mereka dapatkan hanya cukup untuk memenuhi biaya makan dan biaya bulanan kos-kosan saja, sedangkan untuk keperluan buku kuliah, fotokopi dan jilid, print tugas, serta biaya praktikum mereka kesulitan untuk memenuhi. Hingga rasanya mereka hampir putus asa, dan hendak mengakhiri kuliah mereka begitu saja. Apalagi ketika Nino kini mendapat masalah di tempat kerjanya. Ia ketahuan sering memakan makanan yang sisa di dapur kedai kopi tempatnya bekerja. Atasannya marah besar ketika mengetahui hal itu dan memarahinya habis-habisan. "Kamu niat kerja atau ingin curi makanan saya?!" Atasannya marah besar, dan berujar keras di depan wajah Nino. Bahkan saat mereka berdua disaksikan oleh karyawan yang lainnya. Nino hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia bingung sekaligus takut jika sewaktu-waktu ia dipecat begitu saja. Ia hanya bisa berucap, "Maaf, Pak." Atasannya itu masih berkacak pinggang, namun kini mulai meredakan amarahnya. "Lain kali jangan diulangi. Kalau sampai saya melihat kamu ngambil makanan lagi, kamu akan saya pecat!" Setelah itu, atasannya pergi begitu saja dari hadapan Nino, meninggalkan Nino yang merenungi nasibnya. Ia merasa sangat menyedihkan saat itu. Sedangkan di sisi lain, Argan pun merasakan lelah yang bukan main ketika menjadi kasir di minimarket depan kampusnya. Ia jadi tidak pernah belajar lagi ketika ada di minimarket itu. Senggang waktu ia pilih digunakan untuk beristirahat. Setelah itu, ia akan belajar hanya saat ia berada di kampus, saat mata kuliah. Argan bekerja sampai larut, terkadang sampai pagi jika sedang kebagian shift malam. Ia kadang sering tertidur di kelas setelah semalaman menjaga minimarket. Setelah itu, ia akan tertinggal catatan kuliah. Seberat itu. Namun sekali lagi ... mereka tidak punya pilihan lain lagi. *** "Hidup di Jakarta memang keras, ya." Argan berucap tiba-tiba. Ia menatap Nino yang masih diam. Malam pun tiba. Mereka saat ini berada di kamar mereka, tengah mengobrol panjang lebar tentang pengalaman mereka bekerja selama seminggu belakangan. "Makanya ada peribahasa kalau Jakarta itu lebih kejam dari omongan mulut tetangga," sambung Argan lagi diakhiri dengan kekehan ringan. Nino tampak berpikir dulu, selanjutnya ia menyadari sesuatu. Segera ia memprotes. "Bukannya yang benar tuh Jakarta lebih kejam dari ibu tiri?" Pemuda itu memprotesnya dengan nada lucu. Argan terkekeh. "Iya, itu maksud gue." "Tapi sekarang kalau kita gak kerja, kita gak akan dapat duit. Makanya gue betah- betahin di kedai kopi itu, meskipun bosnya pelit banget dan galak pula." Nino menggeleng sebal mengingat perkataan tajam bosnya siang tadi. Argan menatap Nino dengan seringai. "Apa kita berhenti kuliah aja?" tanyanya dengan nada iseng. "Enggak. Gue gak mau, Gan. Sebenarnya yang diucapin sama Bu Puspita itu benar, gak ada kampus lain yang mau biayain mahasiswanya kalau gak ada prestasinya sama sekali," jelas Nino. "Lagipula cuma di kampus ini yang mau kasih beasiswa full sampai lulus kayak gini." Argan menganggukkan kepalanya. "Iya, sih. Tapi jadinya kita yang bingung cari duitnya buat makan." Ia menggaruk kepalanya yang belum keramas sejak kemarin. Bahkan untuk sampo saja ia harus berhemat. "Belum lagi biaya praktikum. Nyesel gue ambil jurusan Pendidikan IPA." Nino terkekeh mendengar keluhan temannya itu. "Ya udah, mau gimana lagi? Sekeras-kerasnya Jakarta, kita mesti lebih keras lagi. Kalau gak, bisa mati." Ia tertawa di akhir kalimat. Argan akhirnya hanya menelungkupkan kepalanya ke atas meja di kamar mereka. Ia memainkan ponselnya dan sempat terpikir menjual ponselnya, namun tidak mungkin. Ponselnya adalah ponsel bekas yang ia tebus murah saat SMA, dan kini sudah tampak usang dengan beberapa goresan di layarnya. Jika dijual, hanya dapat uang sedikit, jadi lebih baik ia simpan untuk bisa berkomunikasi terus dengan keluarga di kampung. "Gan!" Argan yang sedari tadi sibuk menggulirkan menu aplikasi ponsel tanpa berniat membuka, kini dikejutkan oleh seruan tiba-tiba dari Nino. "Ada apa?!" tanya Argan dengan nada kesal setelah terkejut oleh Nino. "Jangan buat gue jantungan, ya!" Nino hanya menyengir. Kemudian ia turun dari kasurnya dan melangkah mendekati Argan. "Kita berdua gak usah berhenti kuliah." "Hah?!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD