8- Kejutan dari Klien Pertama

1647 Words
Argan dan Nino sampai di depan gerbang sebuah rumah besar yang tampak sangat megah. Rumah berpagar tinggi nan menjulang itu. Halamannya sangat luas dengan rerumputan yang menyelimutinya. Nino sekali lagi mengecek alamat yang dikirimkan oleh kliennya itu dengan nomor rumah yang tertera pada depan gerbang. "Bener, gak?" tanya Argan. Ia melihat Nino yang sejak tadi masih memastikan alamat yang ia pegang itu. Nino menoleh pada Argan. "Iya, bener," jawabnya seraya mengangguk berulang kali. "Nomer dua B." Argan menganggukkan kepalanya. Kemudian menepuk pundak supir mobil yang mereka sewa itu di depannya. "Ini benar, Pak. Bisa bantu kami turunin barang- barang belanjaan?" tanyanya. Supir itu mengangguk dan tersenyum sumringah. "Bisa, Dek. Mari saya bantu." Setelah mengucapkan kalimat itu, supir itu berusaha membuka pintu mobil dan ke luar dari mobil. Supir itu segera membuka bagasi mobilnya, dan mulai menurunkan satu per satu barang- barang tersebut. "Udah, ayo, turun." Argan tersenyum tipis dan menepuk bahu Nino. Nino mengangguk namun sebelum ia turun, pemuda itu berkata sesuatu. "Gue coba hubungin si klien kita ini dulu," ucapnya cepat. Argan hanya mengangguk saja. Selanjutnya ia segera ke luar dari mobil. Nino dengan cepat menyambung telepon dengan kliennya itu. Klien yang bernama Karenina itu. Namun sedari tadi teleponnya tidak diangkat juga. Membuat Nino sebal. "Ish, kok gak diangkat- angkat, sih?!" Pemuda itu kini ikut turun dari mobil, dengan masih menempelkan ponselnya ke telinganya. Nino melihat Argan yang tengah mengeluarkan kardus- kardus berisi barang belanjaan mereka itu. Sejak tadi namun sambungannya belum diangkat juga. "Orangnya lagi ngapain sih?!" Ia menghentak kaki kesal. Argan yang melihat Nino tengah kesusahan itu akhirnya mulai penasaran apa yang terjadi. "Kenapa? Gak diangkat- angkat?" tanyanya sembari menurunkan kardus ke aspal di depan gerbang. Nino mengangguk. "Iya. Gak tahu lagi ngapain." Ia akhirnya menyerah dan memilih menunda menelepon si kliennya itu. "Nanti ditelpon lagi aja. Gue bantuin lo dulu." Argan mengangguk kemudian segera menyerahkan kantung plastik yang ia bawa tadi pada Nino. "Coba nanti ditelepon lagi. Atau kita pencet bel aja." Argan menunjuk bel di gerbang yang tampak canggih itu. Nino tersenyum tipis. "Oke." Ia kembali disibukkan dengan barang- barang belanjaan mereka. Mereka telah merampungkan proses pengangkutan barang- barang belanjaan dari bagasi mobil, lalu menyuruh supir untuk sebentar menunggu mereka. Jadi mereka berdua bisa ikut pulang bersama dengan supir yang mobilnya sudah mereka sewa itu. Argan dan Nino segera menekan bel di gerbang itu, namun tidak ada jawaban. Lagi- lagi mereka diabaikan, tidak hanya diabaikan saat lewat sambungan telepon. Berkali- kali mereka menekan tombol bel di gerbang besar itu. Hingga akhirnya gerbang terbuka secara otomatis, dan ada suara yang seolah mengizinkan mereka untuk masuk ke dalam rumah. Argan dan Nino bersitatap sebelum masuk ke dalam gerbang itu. Mereka berjalan memasuki pelataran rumah besar itu, sambil bercelingukan mencari keberadaan si pemilik rumah. Namun tidak ada siapa- siapa. Rumah itu tampak sepi. "Permisi!" Argan berteriak keras. "Permisi!" Tidak ada sahutan. Kemudian segera berteriak lagi. "Permisi! Mau antar barang!" teriak Argan lagi jauh lebih keras dari sebelumnya. Pemuda itu akhirnya meletakkan kardus- kardus dan kantung plastik itu ke atas paving. "Orangnya mana sih, ya?" Nino celingukan mencari orang- orang di rumah itu. Namun tidak ada tanda- tanda orang di sana. Benar- benar sepi. Bahkan jika biasanya rumah besar akan dijaga oleh satpam, namun rumah itu tak memiliki penjaga berupa satpam itu. Yang membuat Argan dan Nino makin kebingungan. "Lo telepon lagi coba," usul Argan. Ia memukul- mukul lengannya yang serasa pegal karena mengangkat tumpukan kardus- kardus berisi barang belanjaan itu. Kemudian kembali mendekat pada Nino. "Nanti kalau gak angkat juga, kita cabut aja udah," sambungnya. Nino mengangguk. "Tapi kita gak bisa tinggalin barang- barang di sini gitu aja. Gak tanggungjawab namanya. Kita harus sampaikan ke orangnya langsung." Pemuda itu menjelaskan panjang lebar. Argan hanya mengangguk saja lalu tidak membalas perkataan Nino lagi. Selanjutnya, Nino kembali mencoba menghubungi kliennya itu lagi. Namun sampai di dering ketiga pun tetap tidak kunjung diangkat oleh si klien itu. Membuat kesabaran Nino habis. "Anjir!" umpatnya kesal. "Ke mana sih orang?!" Argan yang melihat itu hanya dapat diam dan masih memijati lengannya yang pegal itu. Ia mengedarkan tatapannya ke penjuru halaman rumah itu. Kemudian ia melihat sebuah pintu kecil terbuka tepat di samping garasi rumah itu. Pintu kecil yang sepertinya tidak digunakan untuk tempat manusia melewati, melainkan seperti ... hewan? Argan mengerut dahinya. Sepertinya tadi ia sempat melihat jika pintu kecil itu tertutup rapat, namun kemudian pintu itu sekarang mendadak terbuka. Tidak mungkin, 'kan hewan itu mendadak menghilang? Pasti hewan itu -yang entah apa- sengaja berlari ke luar. Namun, Argan tidak menemukan ada tanda- tanda keberadaan hewan itu. Entah ke mana larinya. "Susah amat dihubungi." Nino yang masih berusaha menghubungi si klien itu tidak memikirkan hal lain selain agar barang- barang itu segera diambil dan mereka bisa segera pulang tanpa lama membuang waktu lagi. Argan menggelengkan kepalanya dan mendecak lidahnya. Sejak awal ia sudah berfirasat tidak baik pada klien pertama mereka itu. Entah mengapa rasanya sejak tadi mereka berbelanja pun, Argan merasa jika mendapatkan seorang klien tidak lah semudah itu. Dan Klien itu dengan mendadak datang begitu saja, membuatnya sangat mencurigakan. Ketika ia sedang berpikir banyak hal, Argan melihat seorang anjing besar tengah berlari ke arah. Anjing itu dengan cepat melewati pintu yang tadi Argan lihat, dan melesat ke arah mereka. Sedangkan Nino yang masih sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari kehadiran anjing itu. Argan sontak berteriak. "Anjing, No!" Nino tersentak mendengar teriakan Argan namun ia mengira Argan tengah mengerjainya, jadi ia masih santai. "Apaan-" Ucapannya terputus dan Nino membelalak matanya lebar. Kemudian ia ikut berteriak. "Aaaaaaa!!" Mereka berdua segera berlarian mencoba menjauh dari kejaran si anjing besar itu. Anjing yang mereka tidak tahu apa jenisnya itu masih mengejar mereka, bahkan sedari tadi terus menggonggong yang terdengar menyeramkan. "TOLONG!" Adegannya bukan seperti film komedi, namun Argan dan Nino merasa sedang berada di film bernuansa horor sekarang. Sehoror itu untuk dikejar anjing pada siang hari. Mereka terus berlari mengitari rumah yang luasnya hampir seperti lapangan itu. Rupanya suara teriakan putus asa dari Argan dan Nino serta gonggongan anjing itu membuat si pemilik rumah ke luar. Pemilik rumah itu melotot melihat anjing peliharaannya tengah mengejar dua orang asing yang tampak masih sangat muda itu. "Eldorado!" Dengan cepat si pemilik rumah itu berlari mengejar anjingnya dan dengan sigap menarik kaitan tali di leher anjingnya itu. "Eldorado, stop it!" Dan saat itu juga, anjing itu sudah berhenti mengejar kedua orang itu. Dengan cepat anjing bernama Eldorado itu diamankan oleh seorang perempuan si pemilik rumah itu. "Hah, selamat." Argan dan Nino senang akhirnya bisa terbebas dari kejaran anjing besar itu. Mereka akhirnya menghentikan lari mereka dan jatuh terduduk di atas rerumputan di halaman rumah itu. Sambil masih mengatur deru napas mereka yang sudah tidak karuan, mereka melihat anjing itu sangat jinak di dalam dekapan pemiliknya. "Jangan diulangi! Kamu nakal, El!" Si pemilik rumah itu memarahi anjingnya. Lalu si anjing tanpa rasa bersalah hanya terdiam bagai tidak terjadi apapun. Kini si pemilik rumah itu menatap ke arah Argan dan Nino. Dengan cepat ia mendekati keduanya, namun tangannya tetap membawa Eldorado bersamanya. Argan dan Nino tampak takut namun melihat anjing itu sudah tenang, mereka akhirnya hanya diam. "Maaf, ya. El memang masih bingung menafsirkan penjahat atau bukan. Setiap ada orang asing, langsung dikejar," ujar si pemilik rumah itu. Kemudian tersenyum lebar. "Saya Karenina." Nino membuka matanya lebar- lebar. "Ah, akhirnya ... akhirnya kita ketemu juga." Ia tersenyum lebar dengan napas yang masih tak beraturan. "Tadi saya nelponin Mbaknya. Gak diangkat." Karenina tampak terbelalak. Lalu merogoh saku celananya. "Aduh, saya lupa ponselnya saya tinggal di kamar, sedangkan sejak tadi saya ada di dapur." Nino dan Argan saling bersitatap. Kemudian mengangguk bersamaan. "Gak apa- apa," sahut mereka bersamaan. Mereka tidak mungkin memaki perempuan itu yang sekaligus klien mereka itu bukan? Meskipun sejak tadi mereka harus mendapatkan banyak masalah. Karenina kini menatap beberapa barang belanjaan yang tergeletak di samping garasi. Lalu menunjuk ke arah tumpukan kardus itu. "Itu sudah semua sesuai pesanan saya?" tanyanya. Nino dengan cepat mengangguk. "Sudah, Mbak. Bisa dicek dulu." Ia sengaja membiarkan jika kliennya itu ingin memastikannya lagi. Karenina tampak menggeleng. "Enggak perlu. Saya percaya," ujarnya. "Kalau begitu terima kasih, ya, dan maaf juga atas anjing saya yang sudah nakal ini." Ia tampak merasa bersalah. Argan dan Nino kini sudah sepenuhnya berdiri dan mencoba memberesi baju mereka. "Kalau begitu kami pamit dulu." Argan yang terlebih dahulu melangkah disusul Nino di belakangnya. Mereka bahkan tidak mempermasalahkan untuk biaya yang seharusnya mereka minta lagi. Akhirnya mereka hanya dapat berjalan meninggalkan pekarangan megah itu dan menuju mobil. Argan menepuk punggung Nino. "Gak apa- apa, No." Ia tersenyum lebar. Hal itu membuat Nino ikut tersenyum. Lalu mengangguk. Mereka melangkah menuju mobil dengan d**a yang sudah dilapangkan. Namun selanjutnya mereka mendengar di belakang mereka ada suara panggilan. "Tunggu, Mas!" Tampaknya Karenina mengejar mereka sengaja ingin mengatakan sesuatu yang tadi dilupanya. Argan dan Nino menghentikan langkah mereka. "Ada apa, Mbak?" tanya Nino kebingungan. Sepertinya tidak ada hal lain yang ketinggalan. Karenina tampak mengatur deru napasnya sebelum berujar, "Tadi saya salah hitung. Makanya sepertinya pas- pasan ya uangnya? Ini saya sudah saya tambah lagi untuk upah Masnya." Ia tersenyum lebar. Hal itu membuat Argan dan Nino terperangah ketika mendengarnya. Mereka bersitatap dan tersenyum diam. "Silakan bisa dicek, Mas. Sudah saya kirim tambahan uangnya. Sekaligus permintaan maaf saya akibat ulah anjing saya tadi," sambung Karenina lagi. Kemudian tanpa menunggu sahutan dari Argan dan Nino, perempuan itu sudah melenggang masuk kembali ke dalam gerbang rumahnya. Setelah melambai tangan, ia menutup gerbang itu dengan cepat. Saat itu juga Argan tersadar, dan Nino buru- buru mengecek apa yang tadi dikatakan oleh Karenina. Pemuda itu dengan cepat membuka mobile banking miliknya. Mata mereka melebar begitu membaca beberapa angka yang masuk ke dalam rekening Nino. "Satu juta?!" tanya mereka bersamaan dengan nada tinggi. Kemudian keduanya menutup bibir masing-masing saat menyadari jika tadi mereka sudah terlalu keras berkata. Argan dan Nino kini saling bertatapan, dan di detik itu juga mereka tersenyum lebar. Lalu bertos- ria dengan penuh semangat. "Yes!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD