Perpisahan

1307 Words
"I will only take this job for two years." kata Andrea malam itu sambil meremas kedua tanganku pelan. (Aku hanya akan ambil kerjaan ini selama dua tahun). Aku mengangguk. Aku tak perlu susah payah meyakinkan suamiku bahwa aku tidak sanggup ikut dengannya ke London. Mungkin ia mengira suatu saat nanti aku akan berubah pikiran dan menyusulnya, sama seperti aku berubah pikiran tentang punya anak. After 5 years together, he still hasn't realized that I rarely change my mind. Aku mengantarnya ke bandara malam itu dan melepas kepergiannya dengan tersenyum. Andrea akan tinggal di hotel selama sebulan sampai ia menemukan rumah yang pas untuk jadi tempat tinggal. Perusahaan yang membayar semuanya. Kalau dipikir-pikir, suamiku memang orang yang luar biasa. Selama lima tahun ini kariernya menanjak sangat pesat, jauh melampaui orang Indonesia lain yang kukenal yang bukan berasal dari keluarga berada. Aku pernah baca di internet kalau dia adalah security expert terbaik di Asia Pasifik. Ayahku sebenarnya ingin Andrea menjadi penerusnya dalam menjalankan banyak perusahan beliau, karena kakak lebih memilih menjadi dokter dan aku penulis. Kami tidak tertarik untuk menekuni dunia bisnis. Namun Andrea tidak menyukai nepotisme dan beberapa kali menolak dengan halus. Aku hampir tiba kembali di rumah ketika teleponku berdering, dan terdengar suara Andrea di ujung sana. "I miss you already," ia mendesah pelan, "Aku sudah mau boarding. Nanti kutelepon kalau sudah mendarat di Heathrow." Aku hanya membawa laptop dan beberapa pakaian lalu berangkat ke Indonesia. Aku tidak sanggup tinggal di apartemen kami di Beach Road tempat segala kenangan tentangnya bertebaran. Aku juga tak sanggup pulang ke rumah orangtuaku dan membawa kabar buruk tentang perpisahan kami. Akhirnya aku memutuskan pergi ke Sumba tempat kakakku membuka klinik bersama sahabatnya. Kakak sulungku Johann memutuskan hendak menjadi dokter ketika adiknya, kakakku yang kedua, Wolfgang meninggal karena meningitis waktu berumur 14 tahun. Kami semua terpukul ketika dokter membawa kabar bahwa ternyata sakit kepala mendadak yang dirasakan Wolf itu adalah serangan virus meningitis di otaknya, dan ia meninggal tanpa sempat sadar dari koma. Who could have known? Ayah dan ibu menjadi lebih protektif akan kami berdua, tetapi juga jadi lebih lunak dalam memperlakukan kami. Sebagai anak dari keluarga konglomerat, hidup kami sudah ditentukan sejak dari lahir. Johann, Wolf, dan aku sudah dijodohkan dengan anak-anak teman ayah, sesama konglomerat, untuk kepentingan bisnis, dan jalan hidup kami sudah tertulis, nanti kuliah di mana dan mengambil alih perusahaan di usia berapa. Kematian Wolf membuka jalan kebebasan bagi kami karena ayah dan ibu menjadi sadar bahwa mereka tak ingin kehilangan Johann dan aku karena kami merasa terpaksa mengikuti jalan yang mereka tentukan. Johann dapat kuliah kedokteran, pacaran dengan gadis yang ia cintai, dan aku bisa fokus menjadi penulis dan menikahi Andrea yang berasal dari kalangan biasa. Mengingat Andrea, aku menjadi sedih. Bertahun-tahun ia mencintai gadis yang bahkan tidak mau memperjuangkannya agar diterima oleh orangtuanya, sementara aku... keluargaku... kami menerima ia tanpa syarat. "Eh, kok mendadak, Win?" tanya Johann saat menjemputku di bandara. "Ke sini mau mencari inspirasi menulis?" Aku mengangguk saja. Aku tidak banyak bicara selama di perjalanan menuju klinik. Ia membuka klinik ini 4 tahun lalu ketika jalan-jalan ke Sumba dan jatuh cinta dengan daerah Lakey Peak. Penduduk desa di sekitar pantai itu sangat miskin dan kasus kematian ibu melahirkan serta anak balita yang cukup tinggi membuat hatinya tersentuh. Dengan bantuan uang ayah dan dukungan teman-teman kuliahnya, ia mendirikan klinik itu dan menghabiskan setengah waktunya di sana. Setengah lagi di Jakarta mengurusi yayasan Dokter Berbagi, tempat ia membantu menyalurkan dokter-dokter muda yang mau mengabdi sukarela selama beberapa bulan di Indonesia Timur. "Di sini nggak ada AC, tapi anginnya sejuk banget kalau lagi bertiup. Ke pantai juga tinggal jalan kaki, dan pemandangannya bagusss banget. Kamu pasti suka." kata Johann sambil mengangkut tas tanganku dan menaruhnya di kamar. "Serius kamu cuma bawa barang segini? Mau aku temenin belanja ke Bali, nggak?" "Thanks, but I think I have enough." Aku menggeleng dan mencium pipinya, "Aku tidur dulu ya... Aku capek terbang pakai transit dua kali begini." Dengan pengertian Johann meninggalkanku sendirian. Aku pun memejamkan mata dan mencoba tidur. Aku sudah sangat banyak tidur belakangan ini. Rasanya tubuhku sangat lelah dan selalu minta beristirahat. Waktu Andrea tiba di Heathrow dan meneleponku, aku juga sedang tertidur. Hanya kemauanku yang keras yang membuatku berhasil tiba di Sumba hari ini, tapi kemudian rasa lelah itu tidak tertahankan lagi. Aku tidur cukup lama dan hampir tidak keluar kamar selama berminggu-minggu. Johann kemudian mengerti bahwa aku sedang mengalami depresi dan tidak menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Ia hanya memastikan bahwa makanan selalu tersedia dan aku tidak kekurangan suatu apa. Aku melihat berkali-kali telepon masuk dari sebuah nomor Inggris tapi aku tak sanggup mengangkat telepon. Aku sungguh tidak ingin bicara dengan siapa pun. Ketika akhirnya aku membuka email, ada beberapa email masuk dari Andrea yang mengkuatirkan keadaanku. Aku membayangkan bagaimana keadaannya di London. Tentu sekarang dia sudah pindah dari hotel ke rumah baru, mungkin dia akan mencari rumah yang dekat dengan gadis itu dan anaknya. Mungkin setiap weekend ia sudah habiskan dengan gadis itu dan anaknya. Aku pernah mencari gadis itu di f******k, tetapi sama seperti Andrea ia juga tidak menggunakan media sosial. Aku hanya tahu namanya Adelina Surya dan ia adalah anak tunggal keluarga Surya yang menguasai perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Ia sudah 7 tahun bermukim di Inggris dan sekarang bekerja sebagai seorang redaktur majalah lifestyle di sana. Hampir tidak ada informasi yang bisa kutemukan tentangnya online. *** "Hai, Wina. Are you feeling better? Mau ikut ke pantai, nggak?" tanya Johann saat melihatku keluar kamar menenteng laptop. "Di sana enak lho kalau mau nulis." Sebelum aku menjawab ia sudah mengambil laptop dari tanganku dan menarikku berjalan mengikuti keluar. Hanya 10 menit berjalan kami tiba di Pantai Lakey Peak yang cantik. Di sana ada sebuah paviliun kecil dengan kursi yang nyaman menghadap laut dan Johann mengajakku duduk. Beberapa turis asing terlihat asyik berselancar di tengah lautan. Aku melihat anak-anak bermain di pantai dengan ceria dan sebagian juga ada yang menenteng papan selancar. Anehnya ada beberapa anak itu yang berambut pirang dan terlihat campuran. "Anak-anak di sini banyak yang nggak kenal bapaknya." kata Johann menjelaskan sebelum aku bertanya. "Pantai Lakey ini terkenal akan ombaknya dan banyak bule yang ke sini untuk surfing. Sebagian ada yang "pacaran" dengan gadis lokal dan pergi sesudah selesai selancar. Makanya di sini banyak anak yang lahir sebagai anak campuran dan nggak pernah tahu siapa ayahnya. Ada sih satu dua yang akhirnya hidup bahagia dan punya keluarga yang utuh, tapi jarang sekali. Makanya anak-anak sini juga jago selancar. Dengan selancar mereka bisa memperbaiki kehidupannya. Malah ada satu anak yang udah jadi surfer profesional dan dikontrak Ripcurl dari sini." Aku memperhatikan anak-anak yang bermain di pantai dengan wajah ceria. Senyum dan tawa mereka lepas, walaupun daerah ini didera kemiskinan. Aku mengerti perasaan anak-anak campuran tanpa ayah yang dimaksud Johann. Andrea tidak malu dengan statusnya yang tidak memiliki ayah sejak kami pertama bertemu, namun bukan berarti masa kecilnya tidak berat. Ia harus menghadapi anak-anak sebayanya yang kadang bisa berlaku kejam dengan menanyakan kenapa kulitnya tidak sawo matang seperti mereka dan ayahnya tidak pernah datang ke sekolah. Ibunya yang naif jatuh dalam rayuan cinta seorang pria Italia saat ia bekerja di hotel di Bali dan kemudian hamil. Laki-laki itu pergi begitu saja ketika mengetahui perempuan itu mengandung dan kembali ke negaranya. Andrea dibesarkan oleh ibunya seorang diri dan ia bertekad bahwa ia akan menjadi seorang laki-laki decent, tidak mengikuti jejak ayahnya yang b******k. Aku tahu hatinya perih saat mengetahui bahwa tanpa disadarinya, ia telah menelantarkan seorang anak di luar sana, dan baru mengetahui keberadaan anaknya itu setelah terlambat 7 tahun. Itulah sebabnya, aku merelakan ia pergi ke London, agar ia dapat memenuhi janjinya kepada dirinya sendiri untuk menjadi pria baik. Hatiku sakit memikirkan betapa beratnya keputusan yang kuambil. Aku tahu, ini pilihanku sendiri, tetapi tak pernah kusangka sakitnya akan seperti ini. Dadaku sesak karena rindu, dan aku menahan diri untuk tidak menelepon Andrea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD