Bab 1. Sakit Hati

1204 Words
Happy Reading. Sebuah taksi berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah. Pintunya terbuka, seorang gadis turun dari taksi tersebut dengan senyuman yang lebar di bibirnya. Di tangannya terdapat sebuah kotak hadiah yang akan dia berikan kepada kekasihnya sebagai kejutan akan kepulangannya dari liburan. Jam menunjukkan pukul 8 malam, gadis itu tersenyum dan berjalan masuk ke dalam gedung apartemen itu. "Gimana reaksi dia, ya? Pasti dia kaget aku pulang tanpa kasih kabar." Tatapan gadis itu tertuju pada kotak di tangannya, sesuatu yang akan dia berikan kepada sang kekasih. "Semoga saja Dika menyukainya," gumam Sella. Gadis itu sudah tidak sabar, mulai melangkah memasuki lift dengan ringan. Hingga kemudian, langkah kakinya berhenti di depan unit apartemen milik Dika. Sella hendak mengetuk pintu, tetapi dia urungkan. "Bukan kejutan dong namanya kalau ketok pintu." Dia tertawa kecil, lalu mulai menekan angka pada tombol yang merupakan hari jadian mereka. Pintu terbuka, Sella mengintip ke dalam, ruangan itu sangat gelap. Biasanya Dika sudah tidur di jam sembilan, jadi dia pasti ada di dalam kamarnya. Akan tetapi, saat Sella mendekati pintu yang terbuka sedikit, sebuah suara terdengar dari dalam. Suara yang serasa familiar di telinganya sehingga Sella menitikkan air mata saat mengintip dari celah pintu itu. "Jangan bahas dia di saat kita lagi berduaan, Rena. Aku jadi kehilangan momen. Ahh ...." Suara Dika terdengar kesal di antara desahannya yang kenikmatan. Tampak jelas di mata Sella, laki-laki itu sedang bergerak naik turun di atas seorang wanita. Suara kenikmatan mereka terdengar menyakitkan di telinga Sella sampai dia ingin pergi ke dalam dan memisahkan dua orang yang sedang bercinta itu. Namun, pembahasan selanjutnya membuat Sella tersadar akan sesuatu. Sella mengambil hp-nya dengan tangan yang gemetar dan merekam gambar kedua orang itu meski hatinya terasa ditusuk sembilu. "Kamu berjuta-juta lebih baik daripada dia. Argghhh ...." Kekasihnya ternyata bukanlah orang yang baik seperti yang Sella pikirkan selama ini. "Tentu saja aku lebih baik. Aku lebih mengerti kamu daripada dia. Aku berikan apa yang kamu butuhin selama ini. Jadi, kapan kamu mau putusin dia? Kamu udah janji mau nikahin aku loh. Apalagi, perut aku juga makin lama makin besar. Apa kamu tega bikin aku jadi gunjingan orang?" Wanita itu bertanya dengan nada yang manja di sela desahan yang menjijikkan. Sella menutup mulutnya yang hampir bersuara, tidak menyangka jika sahabatnya telah mengkhianatinya. Sejak kapan? Sejak kapan mereka mengkhianatinya? "Nanti. Kalau aku sudah dapatin proyek itu. Dia adalah koneksiku dan mata-mataku untuk tau celah di perusahaan itu. Aku ... ahh ...." Laki-laki itu tidak sanggup lagi untuk melanjutkan ucapannya, memilih mendesah akibat permainan mereka yang semakin lama semakin brutal. "Janji ya–Akh, pelan-pelan. Kasihan anak kita." "Sedikit lagi, Sayang. Setelah dia nggak berguna, aku pasti akan buang dia. Arhh, kamu ... kamu canduku sekarang." Sella melihat laki-laki itu menunduk, menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suara decapan dari ciuman mereka terdengar disertai gumaman. Sella hanya bisa menutup matanya sejenak. Terngiang-ngiang di telinganya obrolan terakhir kekasihnya itu. Dika akan membuangnya seperti sampah. Sella tidak tahan, apalagi mendengar Rena mengatakan hal yang buruk di depan Dika dan sialnya laki-laki itu menyetujui ucapannya sambil tertawa mengejek. Entah mendapat kekuatan dari mana, Sella membuka pintu dengan sangat keras dan membuat dua orang itu terkejut dan melompat dari atas ranjang. Dika terkejut akan kehadiran Sella yang ada di dalam kamar sampai dia lupa menutupi miliknya yang masih basah. "Sella." Sadar dengan keadaan dirinya, Dika segera mengambil celana boxer-nya dengan cepat, sedangkan Rena menutupi tubuh polosnya dengan selimut. "S-Sella. Ini bukan seperti yang kamu kira. Ini salah paham!" Rena memegang selimut dan mencoba meyakinkan Sella. Bahkan Sella saja belum mengatakan apa-apa, dan dia tertawa miris sekarang. Tawanya terdengar mengerikan yang tidak pernah Dika dan Rena dengar sebelumnya. "Sayang, Tolong! jangan salah paham. Kami eng—" "Aku belum bilang apa-apa, loh, Dik. Tetapi, dengan kamu bilang kayak gitu aja, itu sudah membuktikan kalau kalian adalah dua orang yang b******k!" bentak Sella marah. "Sella ...." Dika mendekat, mengulurkan tangannya untuk menyentuh Sella, tapi wanita itu mundur dan menunjuk Dika, melarangnya untuk tidak melanjutkan langkahnya. "Berhenti! Jangan mendekat, aku jijik sama kamu!" Seumur hidup, Sella tidak ingin disentuh oleh Dika lagi. Mengingat apa yang telah dilakukan oleh laki-laki tersebut. "Sayang, dengarkan aku dulu! Kami cuma sedang—" "Sedang bercinta?" Sella menggelengkan kepalanya tidak percaya. Laki-laki yang sangat dia cintai, yang sangat dia percayai, dan orang yang dia harapkan untuk menjadi masa depannya kelak, ternyata dia malah berkhianat, apalagi wanita yang bersama dengannya adalah sahabat Sella sendiri. "Aku pikir kamu orang yang baik. Ternyata kamu begini di belakang aku. Aku kecewa sama kamu, Dika!" "Kamu salah paham. Aku begini karena aku ...." Ucapan Dika tertahan di tenggorokan karena bingung harus mengatakan apa. "Aku khilaf, sayang. Maafin aku, aku cinta banget sama kamu, tolong kamu jangan berpikir yang aneh-aneh, ya!" Jika sebelumnya Sella percaya dengan semua yang Dika ucapkan, tapi kali ini tidak lagi. Sella memperlihatkan sepenggal rekaman video yang tadi dia ambil, membuat mata Dika membulat. "Ya, aku salah paham memang. Tapi, aku akan selalu ingat pengkhianatan ini. Aku bakalan ingat apa yang kalian lakukan sama aku!" teriak Sela dengan nada marah, air matanya sudah sulit untuk keluar, hanya ledakan amarah di hatinya yang meluap bak gunung yang sedang memuntahkan laharnya. Tatapan Sella kini tertuju pada Rena yang masih ada di atas ranjang. Rena menatap Sella dan terlihat menggelengkan kepala dengan mata penuh permohonan. "Sel—" "Aku bodoh memang. Saat seseorang bilang tentang kalian, aku nggak percaya karena aku lebih percaya dengan kata-kata kalian, tapi aku terlalu buta sampai nggak bisa lihat semua fakta itu!" "Sella, aku cuma kasihan sama Dika, dia kangen kamu dan kita nggak sengaja—" "Cukup, Rena! Semua sudah ada bukti dan aku nggak mau denger alasan apa-apa lagi dari kalian." Dika ingin menenangkan Sella, tetapi tidak disangka, Sella melempar kotak hadiah itu sampai mengenai kepala Dika. Terdengar suara pecahan dari barang yang ada di dalam kotak itu saat menyentuh kening dan lantai. Kepala Dika sampai berdenyut, rasa sakit yang membuatnya kesal. "Kita selesai sampai di sini, Dika. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan untuk kamu, Rena. Selamat atas kehamilan kamu. Semoga saja perbuatan kalian tidak akan membuat anak itu mendapatkan karma atas apa yang kalian lakukan sama aku." Alih-alih sedih, Sella tertawa. Menertawakan kebodohannya selama ini. Dika yang mendengar ucapan Sella menjadi marah, tidak terima dengan ucapan wanita itu sampai dia mencengkeram tangan Sella. "Tarik ucapan kamu!" Sella berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman tangan Dika terlalu kuat sehingga tangan kirinya kini memerah. "Ucapan yang sudah keluar tidak bisa ditarik lagi, Dika. Termasuk semua doa yang ada di dalam hatiku." "Sella!" bentak Dika. Sella melihat mata Dika yang merah karena marah, tetapi Sella lebih marah lagi dan merasa jijik dengan sentuhan pria itu sampai Sella melayangkan tinjunya dengan sekuat tenaga ke hidung Dika. Dengan segera dia mendorong d**a Dika dan pergi dari sana dengan langkah yang cepat. Sella berlari keluar apartemen, menghentikan taksi yang lewat dengan air mata yang berderai. Bahkan, Dika tidak berusaha mengejarnya. "Apa yang aku pikirin? Sialan!" decak kesal Sella di dalam hati. Apakah dia masih berpikir agar Dika mengejarnya dan memohon? Tidak akan pernah. Pikiran Sella sangat kacau. Merasa tak tahu ke mana dirinya harus pergi, Sella pun meminta sopir taksi itu untuk membawanya ke sebuah bar yang ada di tengah di kota. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD