Part 3 Rumah Will

2124 Words
"Eh apa - apaan nih!" Bentak ku. Semua mata melihat ke arah kami. "Gua peringatin, ya! Jangan ganggu Will! Ngerti loe!" ancam Vira. "Heh! Loe pikir, Will pacar elo? Terserah Gue mau deket sama dia atau nggak! "" kataku tak mau kalah darinya.Vira mengangkat tangannya hendak menamparku. Ku pegang tangannya lebih cepat, kupelintir ke belakang sampai dia kesakitan. "Aduh ... Lepas! Sakit tau ... Lepas!!" teriak Vira. Tiba-tiba Will datang lalu menarik tanganku kasar. "Lepas, Din!" teriaknya kepadaku. Tatapannya menyiratkan kebencian atas sikapku pada Vira. Padahal seharusnya aku yang marah karena perlakuan Vira. "Will," gumamku sambil meringis karena Will mencengkram tangan ku agak keras. "Sakit, Will! Tanganku nih," Vira merajuk manja ke Will. Aku juga sakit tau!! batinku. Will menatapku dengan amarah. Aku pun ikut kesal. lalu aku pergi dari kelas. Sialan! Kenapa sih Will malah belain tu perempuan. Aku yang diserang duluan juga! Aku segera menuju toilet membersihkan kepala dan bajuku yang terkena jus. Tak terasa air mata menetes keluar dari bola mataku. Tapi tak lama, tengkuk ku serasa dingin. Ku raba lalu menengok ke belakangku. Ada yang aneh. Tunggu!! Toilet ini yang kan yang Will larang untuk ku masuki. Oh... shiiittt!! Segera aku keluar dari Toilet itu, dan berlari menjauh. Semoga penunggu toilet itu tidak mengikutiku. Aku masih mengibas ngibas kan bajuku yang basah karena air tadi. "Dina!" teriak seseorang dari jauh. Saat aku menoleh rupanya Kak Doni sedang berlari ke arahku."Kak doni?" Kak doni mendekati ku dan melihatku aneh. "Kamu dari mana?" tanyanya dingin. "Toilet," ucapku santai sambil mengelap kepala dan bajuku yang masih basah dengan sapu tanganku. Kak Doni menggumamkan doa. Dan aku hafal dengan sikapnya jika dia sudah seperti ini. "Ada yang ngikut yah?" tanyaku. Kak doni mengangguk. "Udah aman kok. Kamu kok basah gini?" tanya Kak Doni yang kini sudah melihat keadaanku yang kacau. "Kesiram air tadi." Ia hanya menatapku tajam tapi aku selalu menghindari tatapan matanya itu. Bagiku sikapnya yang demikian hanya membuatku semakin terintimidasi. "Ya udah, balik kelas sana," suruhnya. Tanpa disuruh dua kali, aku segera berlari kecil menuju kelas. Ternyata sudah ada Bu Wulan di dalam. Dan aku tau kalau aku terlambat masuk kelas. Tapi aku tidak peduli. "Maaf bu saya terlambat," kataku ke Bu Wulan yang sudah memulai pelajaran. "Lho kok? kamu kenapa, Din? Basah gitu." tanyanya "Kepleset di Toilet, Bu. Kesiram air jadinya," kataku bohong dengan lirikan tajam ke Will. "Ya ampun. Ya udah duduk sana." Aku menuju bangkuku dengan masih memendam emosi ke Will. Sementara itu, Wil masih menatapku dingin. "Din ... Kamu gak papa?" tanya Nita berbisik sambil menoleh sedikit ke belakang. "Biasa aja ... Udah biasa mah aku diginiin, Nit," kataku sambil melirik Will tajam. Aku yakin dia merasa kalau sedang kusindir, tapi tiba-tiba ia malah memberikan jaketnya kepadaku. "Pake nih. Keliatan daleman kamu," katanya lebih lembut. 'Minta maaf kek,' batinku. "Kamu pikir kamu gak salah tadi? Kamu bisa matahin tangan Vira, Din!!" tukas Will seolah menjawab perasaanku tadi, emosi Will kembali memuncak. Walau dengan suara yang agak pelan, takut didengar Bu Wulan. Aku diam saja tak menanggapi. Aku mengambil buku di tasku. Will menaruh jaketnya di punggungku. Kulempar saja jaketnya ke Lantai. Rasanya tak sudi jika mendapat perhatian darinya sekarang. "Jangan keras kepala deh, Din. Kamu gak tau apa yang ada dipikiran temen cowok kita di sini?" jelas Will. "Bodo amat!" kataku cuek. "Nit ... Ambilin jaketku," pinta Will ke Nita, jaketnya memang jatuh di dekat Nita. Nita melihat kami bingung. Tapi tak bisa berkata apa- apa. Teman teman yang lain pun terkesan masa bodo. Walau aku melihat beberapa pasang mata melihatku terus. Dalaman ku memang terlihat jelas karena kondisi baju seragamku yang basah. Will meletakkan jaket di meja. Lalu kembali melanjutkan menulis. Aku menggeser kursiku agak menjauh dari Will. Dia melirikku kesal. Kami benar-benar saling menancapkan bendera peperangan. *** Selama 2 jam pelajaran kami diam. Tak sepatah katapun keluar dari mulut aku maupun Will. Hingga tiba-tiba Nita duduk menghadap kami berdua, karena Bu guru sedang keluar sebentar. "Pada damai dong. Jangan gini," pinta Nita. Kami malah sama - sama membuang muka ke arah lain. RAsanya aku malas menanggapi Will atau menuruti Nita. Tapi Feri tiba-tiba datang mendekatiku dan berdiri di samping mejaku. Padahal ia duduk cukup jauh dari tempatku dan aku tau kalau dia sedang mencari simpatiku. "Dina, Baju kamu basah ... Pake jaketku aja ya,"kata Feri sambil langsung memakaikan jaketnya padaku. "Oh iya ... Makasih ya, Fer," kataku menerima jaketnya tak membuangnya seperti apa yang kulakukan pada Will tadi. Dan hal itu membuat Will pergi keluar kelas begitu saja. Aku? Masa bodoh! Hingga akhirnya perhatianku kembali teralih karena masuknya Yulian, ketua kelas kami, dengan membawa setumpuk kertas. Sudah dapat dipastikan kalau itu adalah tugas untuk kami kerjakan. Jam pelajaran memang sudah berganti, dan pelajaran kali ini memang jarang sekali gurunya hadir, dan biasanya memang hanya tugas dan tugas yang ia berikan. "Temen temen, kata Bu Riska, kita suruh kerja kelompok. Tiap kelompok 4 orang. Ini yang harus dibahas dikelompok. Kalau gak selesai dibawa pulang aja, karena dikumpulkan besok, Oke semua?" jelasnya lalu membagikan kertas itu. Saat itu Will juga langsung masuk kelas dan kembali duduk di tempatnya. Sementara aku masih membaca kertas yang kuterima barusan. Menganggap seolah Will tidak ada. Aku masih kesal. "Maaf ...," kata will pelan. "Hm ...," sahutku masih cuek. "Eh, gaes, kita jadi 1 kelompok yah," pinta Nita yang membuat aku dan Will melihatnya. Huft, yang benar saja. *** Bel pulang baru saja berbunyi. "Kita kerjain di mana nih tugas kelompoknya?" tanya Apri. "Eum ... Will, di Rumah kamu aja, ya. Yang adem, banyak pohonnya," pinta Nita memberikan ide yang cukup menarik perhatianku. Bagaimana pun juga aku menjadi penasaran pada kehidupan pribadi Will. Will mengangguk, tak keberatan sedikit pun. Kami sepakat langsung ke rumah Will untuk mengerjakan tugas kelompok tadi. Nita dan Apri berboncengan naik motor Apri. Sementara aku masih berdiri di gerbang sekolah, menunggu kendaraan umum. "Yuk naik..., "ajak Will yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Aku masih diam saja. Bahkan menatapnya pun tidak. Will mendengus. "Din ... Maafin aku, ya. Aku cuma gak pengen urusan jadi panjang. Kalau sampai Vira terluka gara-gara kamu, nanti malah bakal runyam urusan. Bisa-bisa kamu dikeluarkan dari sekolah karena tindakan itu. Yuk naik ...," pintanya lagi, lebih lembut dari saat di kelas tadi. Aku pun pasrah dan naik motor Wil tanpa mengucap apa pun. Dalam hatiku, aku memang sependapat dengan kalimatnya barusan. ***** Sampailah kami di Rumah Will. Rumahnya besar, halamannya pun luas. Kami disambut seorang Ibu yang cantik dengan memakai jilbab warna Tosca. "Mah ..., " sapa Will lalu memeluk wanita itu. Aku sedikit terkejut karena Will memanggil wanita itu dengan sebutan Mamah. Jadi Mamahnya Will seorang muslim. "Assalamualaikum, tante, " sapa Nita lalu menjabat tangan mamah nya Will. "Eh Nita. Lama gak ketemu, ya. Mamah sehat?" "Alhamdulillah sehat, Tante." "Syukurlah kalo gitu ... Ini siapa aja? Tumben Will bawa temen ke Rumah." "Apri, Tante." "Dina." Kami bergantian menjabat tangan Mamahnya Will. Sebuah momen yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Aku berada di rumah Will. Ini aneh. Benar-benar aneh. Kami dipersilahkan masuk ke dalam, dan Will mengajak kami langsung ke halaman belakang. Ada saung bambu di tengah halaman belakang rumahnya. Pantas saja Nita ngotot belajar bersama di sini. Ada beberapa pohon yang tidak begitu tinggi tapi mampu membuat suasana asri dan nyaman. Will masih menatapku, terkadang mencuri pandang padaku. Sejak tadi aku masih banyak diam. Mungkin dia masih bingung dengan sikapku. "Eum ... Toilet mana, ya?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Di dalem. Deket Dapur... Aku anter," kata Will datar. Entah memang responsnya seperti ini atau dia masih menyimpan rasa kesal padaku. "Gak usah! Bisa sendiri." Sorot mata Nita dan Apri terus menatap kami berdua bergantian. Aku langsung berjalan ke dalam rumah Will. Wiil ternyata mengikutiku . Saat di dekat Dapur, Will menarik tanganku hingga langkahku terhenti. "Din ... Maafin aku. Please ... Jangan gini lah, Din. Aku nyesel beneran," katanya lembut. Belum sempat aku menjawab, mamah Will muncul dari dapur dengan nampan di tangannya. Rupanya ia ingin mengantar minuman untuk kami. Membuat kami sedikit kikuk. "Eh, lagi pada ngapain di sini?" tanya beliau. Suaranya lembut dan enak di dengar. "Eum, saya mau ke toilet, Tante. Permisi," kataku lalu pamit dan masuk ke toilet yang memang ada di dekat kami. Pintu toilet ditutup, dan aku diam sejenak. Menetralkan degup jantungku yang tak seirama. "Will ... Kamu apain dia?" Sebuah suara yang samar namun dapat dengan jelas kudengar membuatku penasaran. Aku dapat mendengar percakapan mereka dari Toilet. Will hanya diam. "Mamah udah sering bilang, kan. Jangan terlalu kasar sama perempuan. Hati mereka sangat lembut. Sekali kamu nyakitin, mereka akan susah melupakannya. Sekalipun kamu udah dimaafin." Mendengar kalimat itu, aku menjadi merasa bersalah. Aku menyelesaikan hajatku lalu keluar toilet dengan berusaha bersikap biasa saja. Tapi Will langsung menatapku dengan tatapan yang sama. Sementara Mamahnya Will menunjukkan senyum ramah padaku. "Dina rumahnya di mana?" tanya Mamah Will tiba-tiba. "Deket Taman kota, Tante, perumahan polisi," sahutku. "Oh, Papahnya polisi?" "Bukan. Tentara. Komplek itu memang kebanyakan polisi sama tentara, Tante. Tapi banyak polisinya. Dina aja baru pindah. Papah pindah tugas ke sini." Aku melihat jam tangan di pergelangan tanganku. "Eum ... Tante. .. Boleh ikut salat nggak, ya? Takut abis waktunya," tanyaku agak sungkan. "Oh boleh. Ayok ke Kamar Tante. Will bawa minumannya ke belakang." Sementara kami berdua pergi ke kamar Mamahnya Will. Sampai di sana aku segera mengambil wudhu, karena di kamar ini ada toilet dalamnya. Saat aku selesai, kulihat Mama nya Will sudah menyiapkan sajadah dan mukena di lantai. Kami hendak salat berjamaah. "Tante sama Om, beda agama?" tanya ku ragu ragu begitu kami selesai salat tadi. Sambil melipat mukena, kami berbincang ringan. "Iya. Udah hampir 25 tahun kami menikah. Will ikut agama Papa nya." Aku hanya berohria sambil merapikan mukena yang tadi kupakai. Ada sedikit rasa aneh dalam hatiku. Dan aku tidak tau itu apa. Aku merasa bahagia, juga sungkan di keadaan ini. "Maafkan Will ya, Din. Dia memang seperti itu, keras, mirip Papa nya. Tapi sebenarnya dia sangat penyayang," jelas wanita berjilbab sederhana itu.Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu pamit ke belakang lagi meneruskan kerja kelompok kami. Saat sampai belakang dan berkumpul dengan yang lain, Will masih diam. "Udah, Din?" tanya Nita sambil menikmati cemilan yang ada di situ. "Udah ... Eh nyampe mana nih?" tanyaku ke mereka. "Din ... Kamu copot deh jaketnya. Pake bajuku aja nih." Aku terkejut saat Will memberikan baju lengan panjang miliknya kepadaku. Aku memang agak berkeringat karena jaket Feri agak tebal. Bahkan bajuku yang tadi basah sekarang sudah kembali kering dan basah lagi akhirnya. Aku menerimanya lalu kembali ke toilet untuk berganti pakaian. Senyum tersungging di wajah will, saat aku mengambil kayanya tadi. Akhirnya kami menyelesaikan tugas kelompok bersama sama. Tak terasa hari sudah sore, matahari sudah agak bergeser dari tempatnya, cuaca yang panas berganti menjadi sejuk. Lalu akhirnya kami pamit pulang. Apri mengantarkan Nita pulang seperti tadi. Untung rumah Nita tidak begitu jauh dari rumah Will. "Will ... Anterin Dina pulang loh!" perintah Nita sebelum mereka meninggalkan rumah Will. Aku masih berdiri mematung sambil membuka ponsel milikku. "Nggak usah, aku naik taksi aja," kataku datar. "Gak. Aku anter," kata Will datar lalu berlari ke Garasi mengambil motornya. Padahal aku belum mengiyakan. Kini motornya sudah ada di depanku. Dengan suara knalpot yang cukup nyaring. Dia lalu menyerahkan jaketnya agar kupakai. "Gak usah pakai jaketnya Feri. Pakai punya ku aja," katanya masih mencoba bersikap lembut. Aku menurut saja. Lalu dia juga memakaikan helm di kepalaku. "Feri punya niat jelek ke kamu," ucap Will. Kalimat itu membuatku terkejut. "Masa?" "Iya. Makanya aku nggak suka kamu deket-deket sama dia." Will kemudian bersiap menjalankan motornya."Yuk ... Berangkat!" Aku mengangguk lalu naik ke motornya. Will mengemudikan motornya dengan lambat. "Kamu naik motor pelan banget, Will?" tanyaku tak sabaran. "Mau yang cepat? Bisa." Ia lalu memacu motornya dengan kecepatan tinggi. "Wil!" Aku berteriak ketakutan. "Katanya pengen cepat, dari tadi aku pelan, kan, soalnya ada kamu yang aku bonceng. Kalau aku mah udah biasa balapan," terangnya lalu memelankan laju motornya lagi. Nada suaranya ia tinggikan karena bising nya suara kendaraan di jalanan. Aku hanya tersenyum. "Kamu sering balapan?" tanyaku sedikit berteriak. "Lumayan. Kamu mau liat?" "Boleh ... kapan?" "Hari minggu sore, di Gor. Kalau kamu mau, aku jemput besok." "Oke. Beneran ya!" "Iya!" Tak terasa kami sampai di rumahku. Will turun dari motornya menemui Papa yang kebetulan sedang membaca koran di Teras. "Sore ... Om," sapanya. "Sore ...." "Tadi kami habis belajar kelompok. Maaf Dina baru saya anter pulang, soalnya baru selesai," kata Will dengan sedikit membungkukkan badannya. "Oh iya, tadi Dina juga udah pamit ke Mamahnya. Terima kasih ya, Mas," ucap Papa berdiri mendekat ke Will. "Kalau begitu saya pamit dulu," kata Will lagi, "Din, aku langsung pulang ya." "Iya, ati-ati ya." Aku menyerahkan helm dan jaketnya. Will menjabat tangan Papa. Lalu segera kembali naik motornya, pergi. "Anak Papa udah mulai ada yang nganter jemput nih," canda Papa masih memandang koran yang dipegangnya. "Papaa ... Will temen Dina kok," rengekku. "Iya, kalau bisa jangan pacaran dulu ya, Din. Fokus sekolah aja." Aku hanya diam saja lalu masuk ke Kamarku. Karena rasanya tubuhku juga lelah sekali. Ponselku bergetar. [Besok jadi?] Melihat nama pengirimnya, membuat mataku berbinar. [Jadi dong ... Kamu ke Rumahku jam berapa?] [Eum ... Jam 3 sore gimana?] [Oke deh. Aku tunggu.] [Iya, tuan putri. Ya udah, kamu tidur dulu. Jangan kemaleman ya] Aku meletakkan ponsel di d**a sambil terus tersenyum malu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD