Chapter 04

1153 Words
Ketika bangun di pagi harinya, Justin menemukan Hana sudah lebih dulu terduduk di kursinya dengan notebook kecil di depan wajah. Keningnya mengernyit, matanya menelisik, dan Justin yakin kepalanya mencoba mengingat. Justin membiarkan, hanya memperhatikan, bahkan ketika Hana meringis sakit pada kepalanya, Justin tidak beranjak dari posisi berbaringnya di atas sofa. Merasa diperhatikan, Hana mengalihkan pandangan pada Justin. Rambutnya yang terurai dia perbaiki dan tiba-tiba saja semburat merah muda terbit di pipinya yang putih. Melihat itu, Justin pun bangkit, dia mengambil sebuah karet di atas meja dan berjalan menghampiri Hana. Justin tersenyum, sambil membawa kedua lengannya melewati bahu Hana dan mengumpulkan rambut perempuan itu dalam satu genggaman, lalu mengikatnya dengan karet. Hana hanya memperhatikan dengan jantung yang bertalu-talu karena kedekatan mereka. Ketika selesai, bibir Hana tiba-tiba saja terbuka dan lidahnya berucap dalam bisikan; “Malik.” Justin terkejut. “Apa kau bilang?” tanyanya langsung. Hana mengernyit, kemudian Justin pun tersadar dan mengambil notebook di tangan Hana beserta bolpoinnya. Bertanya apa yang sempat lidahnya ucapkan. Setelah membaca itu, Hana tersenyum senang. Namamu Malik Al-Hail, tulisnya. Justin menahan napas, menatap Hana tepat di mata dan mengira-ngira di dalam pikirannya bahwa Hana sudah ingat. Lalu Hana mengambil memo itu dan membalik ke lembaran sebelumnya, lalu menyerahkannya pada Justin. Di pojok kanan atas lembaran pertama pada notebook tersebut memang tertulis nama Malik Al-Hail yang Justin tulis sendiri. Lantas, dia pun tersenyum dan mengangguk. Lalu Hana membalik lembaran sebelumnya lagi. Kenapa aku tidak bisa mendengar? Dan lembaran sebelumnya... Kau siapa? Apa hubunganku denganmu? Dan lembaran sebelumnya lagi... Aku tidak ingat apapun, apa kau bisa memberitahuku alasannya? Justin memilih untuk bungkam. Dia tidak berani mengangkat wajah untuk sekedar menelisik raut di wajah istrinya. Ada banyak yang ingin Justin katakan. Namun yang dikeluarkan mulutnya justru berbeda. Dia menuliskannya pada notebook tersebut dan menyerahkannya pada Hana. Siapa Tuhanmu, Hana? Hana terdiam, tatapannya menjadi kosong, seolah seluruh inderanya telah dikendali kepala yang saat ini juga sama kosongnya. “Allah SWT,” bisiknya sambil menangis. Dia tidak kuasa menahan sesak di d**a yang tiba-tiba saja muncul ke permukaan. Justin mengucapkan Alhamdulillah. Dia teringat pada perkataan Hana dahulu, bahwa apapun yang terjadi, jangan lupa untuk selalu melibatkan Allah. Jadi, jika Justin tidak bisa menyelamatkan Hana dan membuatnya kembali mengingat, setidaknya Allah bisa, sebab Dia adalah Maha Segalanya. Jika Hana mengingat Allah, maka dia akan dengan mudah mengingat siapa dirinya, Justin yakin itu. Dia tersenyum pada Hana. Selanjutnya, mereka melaksanakan sholat. Justin mengenakan sajadah di lantai, sedang Hana tetap di atas tempat tidurnya, mengenakan abaya dan jilbab yang Justin kenakan untuknya. Hana menangis lagi. Entah kenapa, dia sendiri juga tidak mengerti, yang dia tahu dan rasakan saat ini adalah rasa sakit yang menghimpit rapat di d**a. Sakit karena telah melupakan Allah dan melalaikan sholatnya. Sakit karena berada pada keadaan yang membingungkan ini. Juga sakit, karena semua kecamuk di d**a dan kepalanya. Hana berdoa, bersedu-sedan mengadu pada Allah dan memohon ampun serta petunjukNya. Karena jika bukan pada Allah, Hana tidak tahu kemana lagi dia harus meminta. *** Untuk sebuah rekor yang membuat Justin tersenyum hampir sepanjang hari adalah ingatan baru yang diingat Hana. Sebuah kemajuan kecil kata dokter, tapi begitu besar bagi Justin. Ini langkah yang baik. Jadi Hana hanya benar-benar lupa pada beberapa kejadian di hidupnya. Pemahaman yang dia miliki masih sama, kecerdasannya dalam ilmu agama tidak turut hilang. Siangnya, setelah kunjungan Diana membawakan mereka makanan, Justin memberikan Hana Al-Qur'an untuk perempuan itu baca. Dengan mata berbinar-binar Hana menerimanya, lalu larut dalam dunianya sendiri dengan Al-Qur'an, dan Justin jadi terabaikan. Tapi dia tidak masalah, malah terlampau senang. Menurut sebuah buku yang ia baca, membaca Al-Qur'an juga merupakan sebuah terapi dan dapat menghilangkan stress dan depresi. Tapi Justin menyayangkan dirinya yang jarang membaca Al-Qur'an jika bukan sedang mempelajarinya di rumah Ahmad atau hanya sekedar mencari sebuah hukum Islam pada ayat tertentu. Namun dia senang mendengarkan, terlebih ketika suara Hana yang ia dengar. Semenjak dia dirawat dan sampai sadar, Hana tidak mengenakan hijabnya. Oleh karena itu Justin meminta pada pihak rumah sakit untuk dokter dan suster yang menangani Hana adalah seorang perempuan. Tidak pernah ada laki-laki atau orang lain yang melihatnya dalam keadaan itu kecuali Justin sendiri, John, dan Albert. Namun, sekarang, setelah ingat, Hana menutup dirinya dengan selimut, sebelum Justin membawakannya sebuah selendang dan beberapa hijab yang biasa ia gunakan di rumah. Lalu Hana mengenakannya sepanjang hari. Mereka mengobrol melalui memo. Dan Hana seolah lupa pada masalah yang tengah dihadapinya, pada pendengarannya yang tuli, atau pada ingatannya yang hilang. *** Ada kalanya ketika hati memilih untuk diam, namun pikiran terus saja berbicara, mengeluarkan segala kecamuk dan tidak pernah mengenal untuk berhenti. Lidahnya mengucap Al-Fatihah dengan fasih, namun suara yang dihasilkannya tidak ia dengar. Hana menghirup udara segar pada pagi di musim semi. Lalu menghela napas panjang. Entah untuk ke berapa kian kali, Hana menangis. Terdapat gejolak di d**a yang membuatnya ingin memberontak. Ada rasa takut besar yang terus melandanya setiap kali memikirkan. Dan rasa sakit di relung hatinya yang memilih untuk tinggal di sana. Hana ingin berteriak, dan dia melakukannya. Seorang suster yang tadi meninggalkan Hana sendiri di taman tersebut, berlari menghampirinya dengan panik. “Are you okay, Ms. Hana?” “Hana?! Hey... are you okay?” Hana tidak mendengar dan menangis sejadi-jadinya, menumpahkan semua gejolak di d**a. Dia bahkan mencabut selang infus di tangan kirinya dan menutup kedua wajah lalu memberontak ketika suster itu hendak membawanya pergi dari sana. Hana tidak ingin pergi. Tidak, sebelum senyap di dunianya hilang. Namun ketika merasakan sebuah pelukan hangat melingkupinya, Hana berhenti meronta, dan langsung memasrahkan dirinya menangis di d**a bidang itu. Justin mencium puncak kepalanya. “Kau akan baik-baik saja,” bisiknya. Lalu menyibak sedikit selendang yang dikenakan Hana dan memasangkannya alat pendengar yang sudah dari jauh-jauh hari Justin pesan. Namun membutuhkan sedikit waktu, karena Justin ingin alat itu hanya diperuntukan untuk Hana, sehingga desainnya berbeda dan sudah pasti akan membuat Hana nyaman. Ketika alat tersebut telah berhasil ia kenakan di telinga Hana, Hana seolah terkejut setengah terkesiap. Lalu terdiam, dengan tangis yang tiba-tiba terhenti. Suara orang-orang dikejauhan mulai terdengar, suara semilir angin mulai sedikit mengusik telinganya, bahkan deru napasnya sendiri jelas terdengar. “Hana,” bisik Justin, memeluknya kian erat. Hana tidak merespon apapun, tapi dia jelas mendengar suara Justin memanggil namanya, yang mana hal itu membuatnya merasa aneh, lalu kilatan kecil ingatan dengan suara yang sama yang juga tengah memanggil namanya, muncul di kepala Hana. Hana pun mendongak, menatap mata Justin dengan matanya yang masih basah oleh air mata. Tercetak jelas kebingungan di sana. Namun Justin tidak menjelaskan apapun, dia hanya tersenyum, kemudian mengucapkan; “Selamat ulang tahun, Hana.” Justin menghapus air mata yang mengalir di pipi Hana. Sedang Hana masih terdiam menatapnya penuh tanda tanya. “Apapun yang terjadi, Hana, kau tidak akan pernah sendiri. Ada Allah... dan aku yang akan selalu ada di sampingmu. Kau mengerti?” Hana menangis lagi, kali ini adalah tangis haru, sesuatu yang menyesakkan di d**a namun tidak menyakitkan. Lantas, Hana pun mengangguk. “Aku mengerti,” katanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD