After Marriage

1538 Words
After Marriage *** 5 tahun kemudian. Ava melangkah dengan senyum menghiasi bibir, mendorong pintu hingga menimbulkan denting lonceng pada bagian atas. Sebuah bangunan beraroma kue menyambut kala ia memasukinya lebih dalam. Ini adalah toko kue miliknya. Toko yang sudah dua tahun ini dikelola, hasil dari merayu sang suami tercinta. Semua pegawai tampak mengangguk sopan ketika melihat perempuan berbaju biru itu datang. Selain toko kue, Ava juga menjalankan toko bunga di mana tempatnya terletak tepat di samping bangunan ini. Sengaja dibangun bersebelahan untuk memudahkan dirinya dalam mengelola. Semua itu ide dari sang suami yang tidak ingin dirinya merasa kelelahan. Perempuan dengan mata hazzle itu berhenti di depan salah satu pegawainya. “Rina. Saya ada janji temu dengan kedua teman saya seperti biasa. Saya ada di ruangan jika nanti mereka datang," ucap Ava. Perempuan dengan apron di hadapannya mengangguk dan menjawab, "Baik, Mbak." Langkah kaki membawa Ava pada ruangan pribadi di sebelah kiri kasir. Menyibukkan diri dengan laptop di hadapannya, memakai kacamata baca Ava mulai merangkum pendapatan dan pengeluaran kedua toko. Tidak membutuhkan waktu lama, cukup satu jam setengah saja selesai. Setelahnya, ia akan beralih pada aplikasi membaca yang sekarang sedang ramai diminati. Membunuh waktu dengan membaca cerita karya penulis Indonesia yang kadang kala membuat dirinya sedih, marah, kesal dan jengkel dengan alur ceritanya. Suara ketukan pintu membuat Ava mengalihkan pandangan dari laptop. Salah satu pegawainya yang bernama Rina sudah berdiri di ambang pintu. "Ada apa, Rin?" tanyanya. "Dua teman Mbak Ava sudah datang. Mereka menunggu di meja biasa,” lapornya pada Ava. Kepala sedikit menunduk memberi rasa hormat. "Baiklah. Buatkan mereka minuman dan berikan beberapa kue." Perempuan dengan kacamata yang tampak manis dengan lesung pipinya itu mengangguk mendengar perintah Ava. "Baik, Mbak." Melepaskan kacamata, Ava membereskan laptop dan segera beranjak untuk menemui kedua perempuan yang sudah ia rindukan. Keluar dari ruangan, pandangan Ava langsung tertuju pada meja di mana kedua temannya sudah duduk. Seorang perempuan dengan perut buncit akibat kehamilan dan seorang perempuan lagi yang masih belum mempunyai ikatan pernikahan. Ava berjalan cepat mendekati meja yang diduduki teman-temannya. "Hai,” sapanya heboh. Dua perempuan yang sebelumnya duduk tenang menikmati kudapan itu menoleh, wajah semeringah terbit saat melihat keberadaan dirinya. Berjalan semakin mendekat lalu merangkul keduanya. “Kangen,” ucapnya. Melepaskan pelukan tatapan Ava tertuju pada wanita yang berperut buncit, mengulurkan tangan untuk dapat menyentuhnya. "Sudah berapa bulan, Res?" Iris hazzle itu kini tertuju pada si pemilik daksa yang bernama Resty. "Sudah tujuh bulan,” jawabnya. Ava menatap Resty lalu beralih pada perut yang membuncit sembari tersenyum. Pasti perasaannya bahagia sekali. "Wah, sebentar lagi dong." Resty mengangguk antusias. "Dan kamu, bagaimana? Sudah isi?" Ava mengalihkan pandangan, menatap Clara yang baru saja bertanya akan dirinya. Senyum manis Ava kini berubah menjadi getir. Pandangannya menerawang dengan kata seandainya. Sebuah usapan pada kedua pundak membuat ia menatap Clara dan Resty secara bergantian. Kedua temannya ini pasti turut merasakan kegelisahan dalam dirinya. "Kamu yang sabar, ya. Doa dan usahanya lebih giat lagi," ucap Resty menenangkan. Ia hanya bisa mengaminkan dalam hati sebanyak-banyaknya agar Tuhan segera menitipkan momongan terhadap dirinya. Ya. Ava memang belum mempunyai anak meskipun usia pernikahannya sudah menginjak angka lima. Ini merupakan salah satu alasan dirinya menjalankan usah toko kue dan bunga secara bersamaan. Membawa Ava dalam kesibukan dan menghilangkan rasa sepi saat ia berada di rumah sendirian. Selain itu, ia juga menghindari ibu mertuanya. Tidak jarang Desi—ibu mertua Ava datang mengunjunginya. Bukan karena merindukan menantu, tetapi selalu melontarkan kata-kata pedas untuk Ava. Ava yang tidak becus jadi istri, atau Ava yang mandul. Wanita mana yang tidak akan merasa sakit jika mendapatkan kata-kata seperti itu? Untunglah ia masih menyadari siapa Desi. "Kalau kamu, Cla? Kapan menyusul kita?" Sudah ia duga, temannya yang satu ini pasti akan menggeleng. "Kenapa sih Cla? Kamu menunggu apa lagi coba?" "Aku belum siap," ucap Clara. "Pacar kamu itu serius sama kamu. Dia itu sudah kaya, tampan, perhatian. Kurang apa lagi coba? Diambil orang baru tahu rasa kamu." Resty mencoba menakut-nakuti Clara, perempuan itu memberikan kerlingan nakal pada Ava. "Ish. Doa kamu, Res." Ava dan Resty tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan. Tidak ingin lebih dalam membahas Clara yang belum juga mau menikah di usianya yang saat ini bisa di bilang sudah matang. Mereka tahu, alasan di balik semua itu ialah, Clara yang belum juga berhasil sepenuhnya untuk melupakan cinta pertamanya, yang Ava dan Resty tidak tahu siapa sebenarnya orang itu sehingga Clara tidak bisa melupakannya. *** Suara tumpukan map yang batu saja dibanting di atas meja menggema di ruangan persegi itu. Pelaku yang tidak lain adalah Rasya menatap bawahannya dengan kemarahan. "Apa yang sebenarnya kamu kerjakan dari tadi!!" bentak Rasya. "Mengerjakan laporan begini saja kamu tidak becus!!" Rasya menunjuk karyawannya, nada suara menandakan kalau ia sedang emosi. "Kerjakan lagi!!" usir Rasya. Karyawan itu pun segera berlalu dari ruangan bosnya yang sudah terlihat marah besar. Rasya menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Memijit kening akibat kepala yang terasa berdenyut. Laki-laki berpakaian jas rapi itu menghela napas dalam saat melihat tumpukan berkas-berkas ada meja di depannya. Hari ini begitu banyak masalah yang harus ia kendalikan. Belum lagi salah satu karyawannya yang telah mengerjakan laporan dengan salah. Menambah rasa pusing pada kepala Rasya. Suara deringan ponsel membuat ia mengalihkan pandangannya. Meraih benda pipih di atas meja itu dan menatap layar yang menampilkan nama sang mama. Segera ia angkat agar bunda ratunya tidak naik darah. "Ya, Ma." Rasya mendengarkan dengan baik apa yang mamanya ucapkan di seberang sana. "Iya. Rasya dan Ava besok pasti datang." Rasya mengakhiri panggilan setelah pembicaraan dengan sang mama telah selesai. Kembali berkutat dengan pekerjaan agar ia dapat dengan segera menyelesaikannya. *** Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Hanya menggunakan lingerine tipis Ava memutuskan menunggu kedatangan sang suami di ruang keluarga. Sebuah majalah menjadi bacaan untuk membunuh waktu. Ava tidak perlu merasa khawatir akan penampilannya saat ini. Karena tidak ada orang lain di rumah ini selain dirinya dan juga satpam yang menjaga di depan rumah. Asisten rumah tangga Ava hanya akan datang saat subuh tiba, dan akan pulang saat menjelang magrib. Suara mobil yang memasuki pekarangan rumah mengambi alih atensinya. Segeralah Ava bangkit karena ia mengenali suara kuda besi itu adalah milik suaminya. Saat membuka pintu utama, Ava melihat Rasya yang sudah berjalan ke arahnya. Tentu saja dengan wajah lelah. Baju yang dikenakan tidak serapi saat berangkat. Lengan yang digulung hingga siku. Baju yang keluar dari celana dan dua kancing teratas yang tidak lagi disematkan. "Capek?" tanya Ava saat sang suami sudah berada di depannya. Tangannya terulur mengambil alih tas kerja dari tangan Rasya. Rasya mengangguk dan segera meraih pinggang Ava. Mendaratkan satu kecupan sayang di keningnya. "Kamu lapar?" tanya perempuan bermata hazzle itu kemudian. "Ya." "Baiklah. Mandilah dulu. Akan aku siapkan makan malam untuk kamu." Saat Ava ingin melepaskan diri dari pelukan sang suami, Rasya malah mengeratkan rangkulan pada pinggangnya. "Kenapa?" tanya Ava dengan kening yang terlipat. "Laparku bukan kenyang dengan makan malam, Sayang." Ava menaikkan kedua alisnya. Senyumnya merekah kala sang suami mengikis jarak di antara wajah mereka. Sebuah kecupan singkat pada bibirnya dan napas hangat juga tatapan sayu itu mampu membuat dirinya meremang. Cukup menjelaskan suatu hal. Oke. Ava mengerti arah pembicaraan ini. "Mandilah dulu. Aku siapkan s**u hangat untukmu,” ucapnya dengan senyum menggoda. "Tidak," cegah Rasya. "Kopi, sayang. Buatkan aku kopi." Rasya menyela. Kening Ava terlipat. "Kopi? Tumben sekali?" "Ya. Karena aku ingin begadang malam ini." Ava tersenyum dengan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu gerakan yang dilakukan adalah sensual. Lihat laki-laki di hadapannya ini yang kini mendesis seolah menahan sesuatu. Embusan napas berat itu begitu terasa. "Lagian, aku sudah mempunyai dua stok di sini." Rasya berucap dengan suara berat, tidak lupa tangan yang mencolek d**a sintal milik Ava. Segeralah Ava mendorong Rasya agar ia terbebas dari rayuan suaminya. Ia meninggalkan pria yang masih mengenakan setelan jas kantor itu dengan senyuman menggoda. *** Ava memasuki kamar bertepatan dengan Rasya yang keluar dari kamar mandi. Tubuh suaminya yang hanya dibalut handuk sebatas pinggang menampakkan d**a bidang yang menggoda. Belum lagi adanya tetesan air dari rambut pada tubuh menambah kesan seksi bagi dirinya. Menggunakan tatapan yang intens, Ava menghampiri Rasya dengan segelas kopi di tangan. Senyum menggoda yang terpatri di wajah pria itu semakin membuat dirinya tertantang. "Kopiku?" tanya Rasya. Ava mengangguk. Ia memberikan cangkir berisi cairan hitam pekat itu dan menatap sang suami yang meneguk minuman itu dengan tatapan yang tidak lepas dari dirinya. Setelahnya, minuman itu berakhir pada nakas yang ada di samping mereka. Pria di hadapannya ini meletakkan dengan gerakan yang sangat elegan. Seperti tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Rasya meraih pinggangnya cepat. Membuat tangan Ava mendarat pada bahu sang suami. "Kopinya manis." Tersenyum, ia menikmati pergerakan jari Rasya pada wajahnya dengan menutup mata dan bibir sedikit terbuka. Tangan Rasya sampai pada bibir. "Tapi aku yakin. Bibir ini jauh lebih manis. Dan bibir ini, adalah milikku.” Suara itu syarat akan sebuah dominan. “Katakan, Sayang. Katakan. Katakan bahwa bibir ini hanya milikku," ucap Rasya menuntut. "Yah. Semuanya, milikmu." Rasya menjatuhkan bibirnya pada bibir Ava. Menyatukan dalam tarian indah silat lidah. Memperdalam hingga mereka terbuai. Handuk dan lingerine telah tercecer di lantai. Meninggalkan dua tubuh hangat di atas pendaratan awan. Memadu inti yang menyatu. Menulis syair lagu nan merdu. Menari dalam tarian indah. Pergerakan dalam ritme yang seirama. Suara-suara lantunan pencapaian kemenangan tercipta. Menghiasi pekatnya malam dalam hawa yang telah berubah menjadi panas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD