Hingga di tahun keempat suatu mukjizat datang. Umi hamil, dan itu membungkam mulut nyinyir Bu Dhe Laila beserta keluarganya. Tapi rupanya memang sifat Bu Dhe Laila yang mudah iri dan tamak. Beliau tak mau menikah lagi demi bisa menuntut agar pondok diserahkan pada putra-putranya. Yang menurut beliau, kedua putranya lebih berhak mewarisi Al Hikam. Simbah Kakung sangat murka namun bisa dibujuk oleh Abah dengan mengajukan jalan keluar memisahkan kepengurusan pondok putra dan putri secara terpisah. Akhirnya diputuskan pondok putra di bawah naungan Bu Dhe Laila sedangkan pondok putri dibawah asuhan Abah dan Umi. Pondok yang dipimpin Abah berkembang pesat sedangkan yang dipimpin Bu Dhe Laila mengalami pasang surut. Ini karena kekeraspalaan Bu Dhe Laila yang tidak mau dibantu oleh Abah dan Umi.

