"Bagaimana dengan tempat ini?" tanya Kaira begitu kami turun dari mobil.
Aku dan Kaira sedang mencari tempat baru untukku membuka konvensi kecil-kecilan yang baru. Aku memang harus segera melakukan hal itu karena bagaimanapun juga aku harus bisa menafkahi diriku sendiri.
Kami masuk kedalam gang yang tidak jauh dari jalan besar, gang itu cukup lebar, bisa muat satu mobil dan satu motor. Bahkan kami memarkirkan mobil tepat didepan bangunan yang kami ingin lihat.
Bangunan itu ada di antar bangunan-bangunan lain yang seperti hunian. Kami membuka pagar dan masuk kedalam bangunan yang lebih mirip dengan rumah tersebut. Begitu membuka pintu, yang terlihat adalah ruangan tanpa sekat dan cukup luas. Kata Kaira dulu disini juga di gunakan untuk menjahit. Sepertinya ini memang muat untuk sepuluh mesin jahit, atau kalau mau lebih longgar cukup delapan saja.
"Ayo lihat keatas," ajak Kaira.
Kami berjalan menaiki tangga menuju lantai atas, begitu sampai diatas ruangannya tidak begitu jauh berbeda dengan ruangan bawah. Namun disana ada 1 meja yang cukup besar.
"Ini meja bekas orang yang menyewa dulu, bisa kamu pakai buat memotong bahan," ucap Kaira menjelaskan.
Aku manggut-manggut sambil memegang meja yang terlihat masih sangat kokoh itu. Di lantai atas bisa untuk tempat memotong, menyetrika juga packing. Seperti biasanya aku tetap akan membuat desain dan bekerja dari rumah, mungkin kesini untuk memeriksa karyawan juga hasil kerja mereka.
"Bagiamana?" tanya Kaira.
"Bagus, aku suka. Semakin cepat semakin baik, aku perlu segera mengoptimalkan tempat ini untuk berproduksi. Tokoku perlu barang-barang baru segera," jawabku panjang lebar.
"Memang konvensi yang lama kenapa?" tanya Kaira menyelidik.
"Itu sekarang dikuasai oleh mas Galih dan kami sudah berpisah," sahutku pelan.
"Apa?!" pekik Kaira kencang.
"Kai, biasa aja sih. Jangan teriak-teriak," ucapku sambil menutup telingaku.
"Berpisah bagaimana sih Coba katakan yang jelas aku nggak ngerti deh," ucap Kaira.
"Aku akan bercerita tapi tidak di sini aku butuh tempat yang lebih nyaman. Aku udah oke dengan tempat ini, kita tinggal mendatangi pemiliknya ini mau disewakan atau dijual sih," tanyaku.
"Aku dengar sih mau disewakan tapi kalau ada yang mau beli sepertinya dia juga mau melepaskannya kok," jawab Kaira.
"Oke jika begitu aku akan membelinya saja sepertinya aku cocok dengan tempat ini."
"Ya sudah, sekarang ayo kita pulang mampir ke rumahku. Aku ingin kamu bercerita tentang masalahmu dengan suamimu, sepertinya itu adalah hal yang cukup berat," ucap Kaira.
Kami segera meninggalkan tempat itu dan pergi menuju ke rumah Kaira. Sepertinya bercerita di rumahnya adalah pilihan yang paling baik aku bisa lebih santai dalam bercerita.
Selama ini aku selalu memendam semuanya sendirian tidak pernah ada satu orang pun yang menjadi tempatku bercerita apalagi berhubungan dengan perpisahanku dengan mas Galih.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh akhirnya kami sampai juga di rumah Kaira. Rumah berlantai 2 dengan gaya minimalis modern itu adalah rumah milik Khaira yang dibangun bersama dengan suaminya.
Kaira langsung mengajakku ke ruang santai keluarga kemudian dia memanggil asisten rumah tangganya untuk menyiapkan makanan serta minuman.
"Ceritakan sekarang apa yang terjadi padaku," ucap Kaira.
"Aku dan Mas Galih sudah bercerai, Kai. Suamiku itu ternyata sudah menikah secara siri dengan karyawan kami kemudian wanita itu hamil dan meminta suamiku untuk menceraikanku. Jadi sekarang inilah yang terjadi padaku aku sudah menjadi seorang janda," ucapku dengan nada bergetar.
Entah mengapa memikirkan status itu selalu membuatku bersedih. Kaira menutup mulutnya dengan telapak tangannya dia tampak tidak percaya atas apa yang terjadi padaku.
"Mas Galih yang perhatian dan baik hati itu menghianatimu? tanya Kaira.
Aku menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaannya tiba-tiba dadaku terasa sesak lagi, mengingat mas Galih yang awalnya begitu perhatian nyatanya malah menghianatiku.
Kaira merangkulku dalam pelukannya Entah kenapa hal itu malah membuatku semakin bersedih hingga akhirnya aku meneteskan air mata tubuhku berguncang dalam dekapan sahabatku, hal yang tak pernah kulakukan selama ini. Aku terbiasa memendam segalanya sendirian, bahkan saat suamiku menceraikan diriku, aku tidak bercerita maupun menangis pada siapapun.
"Sudahlah Safa, biarkan saja lelaki penghianat itu pergi dari kehidupanmu. Kamu tidak perlu menangisinya, kamu akan mendapatkan ganti yang lebih baik darinya," ucap Kaira menghiburku.
Aku menyeka air mataku, menarik nafas panjang dan menata hatiku. Aku tidak boleh larut dalam kesedihan, sesedih apapun diriku saat ini.
"Oh iya, karyawanku ada yang saudaranya butuh pekerjaan. Ada yang mau jadi asisten rumah tangga, ada juga yang mau jadi penjaga toko. Kamu masih mencari orang apa udah dapat?" tanya Kaira mengalihkan pembicaraan.
"Aku belum dapat dua-duanya, Kai. Aku mau ke-duanya jika ada. Aku seperti juga butuh satpam deh Kai, aku tidak ingin lagi di datangi oleh mantan suamiku dan istri barunya. Lagipula sekarang aku kan tinggal sendirian," ucapku panjang lebar.
"Oh, oke. Nanti aku minta suamiku bantuin cari satpam ya. Mungkin saja ada kenalan dia yang bisa membantu mendapatkannya."
"Terimakasih yaa Kaira, aku tidak tahu harus minta bantuan pada siapa jika tidak ada kamu yang menolongku."
"Santai saja, Safa. Gunanya teman adalah saling membantu."
Kami berbincang-bincang ringan membahasa tentang usahanya maupun usahaku yang baru saja akan aku rintis saat ini. Bagiamana aku akan menjalankan dan apa saja yang harus aku lakukan sebelum semuanya dijalankan.
"Safa, kamu pernah bikin seragam sekolah juga kan ya?" tanya Kaira tiba-tiba.
"Iya tapi jarang-jarang sih, hanya saat ada pesanan khusus dari pihak sekolah saja. Biasanya sekolah swasta yang sengaja membuat seragamnya sendiri. Kenapa?"
"Aku dengar, teman mas Juna ada yang mau membuat seragam untuk sekolahnya dalam jumlah yang cukup besar loh," ujar Kaira.
Juna adalah nama suami dari Kaira.
"Lalu?" tanyaku tidak mengerti.
"Kamu ikutlah membuat penawaran, ini proyek besar. Bakalan berkesinambungan jika hasilnya bagus, dan jumlah muridnya juga banyak. Nanti aku tanya bagaimana prosedurnya untuk ikut membuat penawaran disana ya," ucap Kaira antusias.
"Kenapa bukan kamu saja yang ikutan, usaha kamu jauh lebih besar dariku. Aku kan baru akan memulai, bahkan belum ada apapun di tempat itu. Mana bisa aku ikutan penawaran sebesar itu."
"Aku spesial merancang gaun pengantin, gak mau yang lain," jawab Kaira.
"Pokoknya kamu harus ikutan, ini adalah batu loncatan pertama bagimu untuk memulai awal yang baru. Aku akan membantumu sebisaku," lanjutnya memberi semangat.
"Ya udah deh, aku akan mencobanya," ucapku mengalah.
Hari sudah beranjak sore saat aku berpamitan kepada Kaira, hatiku jauh lebih ringan dan semangatku membara begitu bertemu dan berdiskusi dengan Kaira. Aku harus melangkah kedepan dengan penuh kepercayaan diri.
****
Kaira benar-benar membantuku untuk mendapatkan informasi tentang sekolah yang sedang akan membuat seragam sekolahnya. Katanya banyak juga orang yang mengajukan penawaran.
Aku sudah mendapatkan gambaran dan detail dari seragam yang diinginkan oleh yayasan ini tersebut, corak dan perpaduan warna yang mereka inginkan seperti apa. Namun kami diperbolehkan untuk berkreasi sesuai keinginan kami, yang penting tidak keluar dari konsep yang mereka inginkan.
"Ini tidak masuk dalam nepotisme kan, Kai. Aku tidak masuk dalam jalur orang dalam kan dengan mengajukan penawaran ini," tanyaku memastikan lewat sambungan telepon.
Aku tidak ingin melakukan cara-cara tidak baik untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, aku tidak ingin Kaira melakukannya.
"Ya enggaklah, kamu harus berjuang sendiri. Kan itu ada jadwalnya kapan semua orang harus mempresentasikan ide mereka. Semuanya akan di nilai dengan adil," jawab Kaira meyakinkan.
"Syukurlah jika begitu."
"Oh iya, Safa. Sepertinya ada nama konvensi mantan suamimu juga yang hendak mengikuti tander ini. Kamu tidak apa-apa jika bertemu dengannya nanti?" tanya Kaira dengan nada khawatir.
Mas Galih, dia ikutan juga. Ah, kenapa dunia ini begitu sempit sih. Aku harus bertemu dengannya dan bersaing dengannya.
"Safa, kamu masih disana kan," panggil Kaira menyadarkan diriku dari lamunan.
"Iya Kai, aku dengar."
"Kamu tidak apa-apa kan?"
"Iya Kai tidak apa-apa, bukankah ini kesempatanku untuk membuktikan kemampuanku pada mantan suamiku, benar kan?"
"Wah iya benar! kalahkan dia, Safa. Buat dia menyesal sudah mencampakkan dirimu!" sahut Kaira penuh semangat.
Setelah berbicara ringan beberapa hal, Kaira mematikan sambungan teleponnya karena kesibukannya. Aku pun segera melakukan kesibukanku sendiri.
Aku menatap berkas-berkas yang dikirimkan Kaira lewat email dan sudah aku print.
"Kita akan bertemu lagi, Mas. Aku akan membuktikan jika aku bisa berdiri tegak tanpa dirimu! Ini kesempatanku untuk membuat istrimu itu tahu siapa aku dalam usaha yang dulu kita rintis bersama!"
***