Permintaan Terakhir

1028 Words
"Saya terima nikahnya Tiara Aisyah Kurniawan binti Kurniawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas 10 gram dibayar tunai," ucap Mas Adam lantang dengan satu tarikan napas.  "Sah!" "Sah!" ucap mereka serempak memenuhi ruang rawat inap ayah.  "Baarakallahu laka wabarakoa 'alaika wajma'a bainakumaa fii khoir," ucap Pak Penghulu. Kucium punggung tangan Mas Adam dengan khidmat, lelaki yang kini telah menjadi imamku. Lelaki yang baru kukenal hari ini di hari pernikahan.  Mungkin kebanyakan orang tak percaya, menikah dengan orang yang sama sekali kita tak kenal. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Bukankah sebagai seorang anak kita harus mematuhi perintah orang tua? Inilah salah satu alasanku menerima pernikahan ini.  Mas Adam membacakan doa dan mencium keningku. Kutahan gejolak yang ada di d**a. Menahan sesak yang kian memuncak. Aku harus kuat, tak boleh menangis di depan ayah. Aku tak ingin melihatnya sedih karena tahu aku terpaksa menyetujui pernikahan ini.  Seberapa besar kucoba tak menjatuhkan air mata. Namun aku tak kuasa membendungnya. Bulir kristal jatuh dari sudut netra. Segera kuhapus, sebelum ayah melihatnya.  Dalam hidup tak pernah aku bermimpi menikah dengan seseorang yang sama sekali tak kukenal. Apakah aku mampu menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Adam, sedang di dalam sanubari telah terukir nama orang lain. Putra teman semasa kuliahku yang kini telah singgah di hati.  Ya Robb, aku pasrah dengan semua skenario yang telah Engkau tuliskan untukku.  Beranjak mendekati ayah, aku hendak mencium tangan beliau. Ayah seperti tertidur lelap, tapi bukankah beliau tadi tersenyum saat melihat Mas Adam selesai membacakan ijab qabul. Secepat inilah ayah terlelap?  Kupegang tangan kanannya, dingin seperti es. Tak ada gerakan saat tangan ini menyentuh pipinya. Kugoncang pelan tubuhnya, ayah tetap saja tak memberikan respon.  Ya Allah, kenapa ayah?  Pikiran buruk terlintas begitu saja.  "Innalillahi wa innailaihi rajiun," ucap Pak Umar, ayah Mas Adam.  "Ayah ... bangun,Yah." Aku goncang-goncang tubuhnya.  Masih tak ada respon. Ayah tidur terlalu pulas, hingga tak bangun meski sudah ku goncang tubuhnya. Tak mungkin ayah meninggalkanku sendirian.  "Sabar ya Syah,Allah lebih sayang ayahmu." Ibu Mas Adam mengelus pundakku. Berusaha memberi kekuatan untukku.  Tidak...  Ayah tak mungkin tega meninggalkanku sendiri. Semuanya bohong, ayah masih hidup. Ayah hanya tidur dan nanti akan bangun lagi.  "Aisyah sudah penuhi permintaan Ayah. Ayah senang kan? Bangun,Yah!" Kupegang pipi ayah, Bulir bening lolos begitu saja,aku terisak. Sesak memenuhi dadaku. Tak bisa kubayangkan begitu berat cobaan hidupku. Aku harus menikah dengan orang yang sama sekali tak seekor kucintai dan di hari pernikahan ini Allah mengambil ayah, keluargaku satu-satunya.  Apakah pernikahan ini permintaan terakhir ayah?  "Ayah bangun yah..." Kupanggil ayah, dia hanya membisu. Senyum terukir di wajah pucat pasinya.  "Aku sudah menikah dengan pilihan ayah tapi kenapa ayah meninggalkanku?" ku tatap wajah ayah, lalu ku tatap Mas Adam, lelaki yang kini menjadi suamiku.  Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut lelaki yang kini sah menjadi suamiku, walau hanya sah di mata agama.  Mas Adam justru pergi meninggalkan diriku yang sedang terpuruk menatap tubuh kaku ayah.  "Adam urus administrasinya dulu Bi..." pamitnya pada Pak Umar tanpa sedikitpun mencoba menenangkanku.  Apakah ini suami yang ayah pilihkan untukku?  ***** Acara pemakaman ayah berjalan dengan lancar. Walau berat hati, kucoba mengikhlaskan kepergian ayah. Karena sejatinya semua akan kembali kepada Sang Pemilik, hanya menunggu waktu saja.  Satu persatu pelayat sudah meninggalkan rumahku. Kini hanya tinggal Mas Adam dan kedua orang tuanya. Nanti malam akan di adakan tahlilan, untuk semua keperluan sudah di urus abi.  Aku ada di dalam kamar ayah, menciumi pakaian yang ada di almari. Mencoba melepas rindu. Walau aku tahu tak mungkin lagi dapat berjumpa. Aku merasa sepi di dunia ini, tak ada tempat untukku bersandar melepas penat dan lelah. Ayah, aku merindukanmu. Tak terasa air mata kembali membanjiri pipi.  "Aisyah, makan dulu,Nak. Kamu belum makan sedari tadi,kan?" Umi masuk ke dalam kamar.  "Aisyah tidak lapar,Mi," tolakku. Karena tak ada sedikitpun selera untuk makan.  "Kamu harus makan, supaya tidak sakit," rayu Umi.  "Iya,Mi, nanti Aisyah makan." Umi keluar dari kamar, tapi tak berselang lama beliau kembali dengan sepiring nasi dan ayam goreng.  "Adam ... Adam." Umi memanggil suamiku.  "Iya,Mi sebentar," ucapnya dari luar kamar.  Mas Adam masuk ke dalam kamar ayah. Menatapku dingin.  "Ada apa,Mi?" tanyanya "Suapi istrimu, kasihan dia belum makan dari tadi pagi. Kasihan kalau sampai sakit." Umi menyerahkan piring nasi ke tangan Mas Adam. Kemudian pergi meninggalkan kami di dalam kamar. Tak lupa Umi menutup pintu.  Hening, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Karena kami tak mengenal satu sama lain. Bagiku dia orang adalah orang asing yang berstatus suami.  "Bisa makan sendiri,kan? Gak usah manja!" ucapnya ketus sambil menaruh piring di atas nakas.  Ya Allah, lelaki macam apa yang menikahiku?  Tak tahukah bagaimana keadaanku saat ini?  Tanpa menatapku dia berlalu pergi meninggalkanku.  Kuatkan hamba Ya Robb menghadapi suami seperti dia. Semoga aku mampu menjalani biduk rumah tangga ini, karena ini permintaan terakhir ayah.  Aku ambil piring, dan memasukkan sedikit demi sedikit nasi ke dalam mulut. Aku tak boleh sakit, apalagi sampai menyusahkan lelaki yang bergelar suamiku itu. Tidak sakit saja perlakuannya begini, apa lagi kalau sampai aku sakit.  Aku harus kuat!  Mungkin karena kami tak saling mengenal, jadi Mas Adam bersikap seperti itu.  *** Adzan isya berkumandang, segera kami berwudhu dan melaksanakan shalat wajib empat rakaat. Kami shalat berjamaah di imami Mas Adam. Suara merdu Mas Adam saat melantunkan ayat-ayat suci.  Aku cium tangan Umi dan Abi dengan khitmat. Kucium tangan Mas Adam. Ini kulakukan semata-mata karena Mas Adam adalah suamiku. Tak pernah lebih dari itu.  Aku dan Mas Adam berada di depan untuk menyambut para tetangga yang hadir di acara tahlilan ayah. Para tetangga mulai berdatangan dan setiap orang yang melewati kami selalu menatap Mas Adam dengan penuh tanda tanya. Maklumlah, karena baru pertama kali Mas Adam menginjakkan kaki di rumah ini.  "Saya turut berduka cita ya mbak, semoga Almarhum Pak Kurniawan diterima di sisi-Nya, mbak Asiyah yang sabar,ya." Bu Marni menatapku dengan iba lalu menatap Mas Adam dengan penuh selidik.  "Aamiin Bu, terima kasih atas doanya." Aku berikan seulas senyum walaupun berat.  "Mbak Aisyah, maaf, yang di samping mbak ini siapa ya? Saya kok baru lihat, ya?" tanya Bu Marni.  "Ini Mas Adam Bu, suami saya. Maaf belum laporan dengan Pak Rt." Mas Adam menatapku dengan tatapan tak suka. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD