4

1502 Words
Semilir angin menerbangkan helaian rambut gadis itu, namun ia sama seki tak terusik sama meskipun angin membuat rambutnya berantakan dan menutupi hampir seluruh wajahnya. Reiko berjalan lurus, sesekali matanya menengok ke kiri dan kanan jalan; menimang-nimang sekiranya warung makan mana yang akan ia singgahi untuk membeli makanan. Hari ini kebetulan dia hanya ada satu mata kuliah, sehingga Reiko bisa pulang lebih cepat dan dengan segera menghindar dari para orang-orang yang suka mem-bully-nya. Langkah kakinya memelan saat ia sudah memutuskan untuk mampir di salah satu warung makan yang kebetulan sepi pembeli. Reiko sengaja memilih warung yang sepi karena dia enggan jika harus berdempetan atau berdesakan dengan orang yang seringkali memandangnya iri dan dengki. Gadis itu memesan satu bungkus nasi pecel kepada penjual yang sedang membungkuskan makanannya. Tatapan mata penjual itu juga tampak tidak bersahabat ketika melayani pembeli seperti Reiko, entah apa salah gadis itu hingga membuat semua orang membencinya. Belum sempat pesanan Reiko selesai dibungkus, datanglah seorang pembeli dengan membawa anaknya yang masih kecil. Anak tersebut entah mengapa secara tiba-tiba menangis histeris ketika melihat Reiko, membuatnya menjadi sorotan orang-orang yang ada di sekitarnya. "Mamaaa kakak itu bawa setan, seremmm.." anak kecil itu terus terusan menunjuk Reiko dengan tangisan yang semakin lama semakin kencang. "Takut Ma, SETAN!" anak kecil itu terus terusan menggumamkan kata setan yang terasa mencekik leher Reiko. Ibu dari anak itu hanya berusaha menenangkan dengan menggendong anaknya dan memandang marah ke arah Reiko yang masih tidak mengerti apa-apa. "Kamu memakai ilmu hitam ya? Sampai anak saya merasa takut sewaktu liat kamu. Udah jangan liat-liat ke arah sini, kamu bikin sial aja disini." Ibu-ibu berbadan gemuk itu tampak mempelototi Reiko dengan galak dan mengusir Resiko sewaktu gadis itu melihatnya. Reiko yang diomeli begitu saja oleh Ibu-ibu yang bahkan tak dikenalnya itu hanya bisa menunduk dalam. Kebetulan makanan yang dipesannya sudah selesai dibungkus dan dengan wajah judes Ibu penjual itu menyerahkan makanan yang dipesan Reiko. "Lebih baik kamu pergi dari sini, nanti warung saya jadi sepi pembeli kalau kamu ada di sini." Reiko tidak berkata apapun, ia hanya melangkahkan kakinya secepat yang dia bisa. Orang yang sama sekali tidak dikenalnya bahkan menganggap bahwa dia adalah gadis pembawa sial, bahkan anak kecil tadi sempat merasa histeris dan mengatakan dia adalah setan. Entah dosa apa yang sudah diperbuat Reiko di masa hidupnya, seperti dunia ini memang tak menginginkan keberadaanya. Sayup-sayup embusan angin dingin lagi-lagi menerpa lehernya, namun Reiko masih dengan langkah lebarnya, terus berjalan melewati gang demi gang untuk segera sampai di kontrakannya. Ia jarang sekali keluar untuk membeli makanan, sekalinya dia keluar justru mendapatkan sikap deskriminatif dari masyarakat sekitar yang didapatkannya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca sedari tadi, ia sudah berbiasa mendapatkan cemoohan, pelecehan, dan berbagai sikap diskriminatif dari para masyarakat bahkan temannya. Tapi itu bukan berarti bahwa dia menjadi sosok yang kuat. Sisi terdalam dirinya tetap saja merasa terlukai ketika mendapatkan perlakuan semena-mena seperti itu. Dia juga sama seperti manusia lainnya yang ingin dihargai dan diterima keberadaanya. Bukan malah dibenci dan dikucilkan oleh masyarakat. Reiko memasuki kontrakannya dengan cepat. Dikuncinya kembali kontrakan dan menutupnya dengan rapat. Gadis itu juga menutup kelambunya hingga cahaya dari luar tidak bisa masuk ke dalam kontrakannya. Mengusap air matanya dengan kasar, Reiko melangkah dengan letih ke arah dapur untuk mengambil piring dan sendok untuknya makan. Perkataan anak kecil tadi kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Setan, setan setan! Mengapa semua orang memanggilnya setan, dia juga manusia biasa. Dia belum mati bahkan sudah dikatai setan oleh orang-orang. Isak tangis kembali memenuhi dapurnya yang remang, Reiko terlalu enggan untuk menyalakan lampu dapurnya. Ketika sedang menangis sambil membuka bungkus nasi pecel di piringnya, sehembus angin dingin kembali membuat tengkuknya meremang. Ini memang bukan kali pertama, tapi tetap saja rasanya mencekam. Tenggorokannya terasa tercekat ketika hawa dingin semakin mencekiknya, dapat dirasakannya seperti ada sesuatu yang mengawasinya dari belakang. Dengan gerakan yang kaku, Reiko memutar kepalanya pelan ke arah belakang, dan hasilnya nihil. Tak ada siapa pun disana. Dengan perasaan was-was gadis itu berjalan keluar dari dapurnya, berusaha mengabaikan apapun yang selalu mengganggu perasaannya ketika berada di dapur. Reiko makan dengan tenang, tak ia pedulikan lagi mereka yang tak terlihat di kontrakannya. Mungkin keberadaanya mereka lebih lama darinya, sehingga sudah sewajarnya jika mereka ada di sini. Selagi mereka tidak mengganggu, gadis itu tidak akan mempermasalahkan. Selesai makan Reiko merasa enggan untuk kembali menaruh piring kotornya ke dapur, perasaanya masih was-was karena kejadian tadi. Dia hanya menaruh piringnya di atas meja  elajarnya dan meminum air putih hingga tandas. Menimang-nimang sejenak, gadis itu tampak membuka ponselnya beberapa kali. Namun sama sekali tak ada notifikasi dari sosial medianya. Ah.. Reiko bahkan melupakan kalau dia tak memiliki satu temanpun di fakultasnya. Dia hanya sebatang kara. Mengingatnya membuat kekehan pelan keluar dari bibirnya, seulas senyum tampak muncul di sudut bibirnya; senyum kesedihan. Sibuk dengan pemikirannya sendiri, tiba-tiba gadis itu teringat akan sosok laki-laki yang sudah menolongnya kemarin ketika ia dibully. Membuat senyum lebar tercetak di wajah pucat Reiko untuk kali pertamanya. Sebelumnya gadis itu memang jarang tertawa. Bahkan terkadang, ia sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Gadis itu berjalan memandang cermin di kamarnya, ia dengan iseng mencoba tersenyum lebar sambil mengingat sosok laki-laki yang menolongnya. Dalam benak Reiko dia merasa bahwa dia sudah tersenyum cukup lebar, namun ketika melihatnya di kaca, nyatanya ia hanya mengangkat sedikit sudut bibirnya ke atas. Tak menyerah, gadis itu kembali mencoba tersenyum dengan menampakkan giginya, namun ia dibuat terkejut ketika mendapati bayangan sesok makhluk dengan gigi runcing penuh darah tengah memandang ke arahnya. Kontan Reiko berbalik badan dan tidak mendapati siapapun di sana. Menoleh ke kaca lagi dan memang tidak ada apa-apa. Napas Reiko memburu, gadis itu kini kembali duduk di atas kasur nya dengan membentangkan selimut untuk menutupi separuh badannya. Dengan posisi kaki yang bersila, Reiko kembali mencoba mengenyahkan bayangan sosok mengerikan tadi yang seakan mengejutkannya. Setelah napasnya telah kembali teratur, Reiko memainkan kembali ponselnya untuk membuka ** miliknya. Dalam instagramnya gadis itu sengaja menyembunyikan identitasnya, cukup di dunia nyata dia dibully dan diasingkan. Dalam sosial medianya dia sama sekali tidak pernah memposting apapun yang berhubungan dengan dirinya, bahkan fotonya pun tidak ada disana. Reiko hanya memposting kata-kata penuh keputus asaan yang membuat akun ** gadis itu memiliki banyak followers. Setidaknya Reiko sedikit bersyukur karena berkat banyaknya followers yang ia miliki di ** ini, bisa membantunya secara finansial dari beberapa paid promote yang dia dapatkan di akunnya. Merasa penasaran dengan sosok laki-laki yang telah menolongnya, Reiko kini mencoba mencari tau siapa sosok tersebut. Selama ini memang tidak ada satupun orang yang mau membantunya meskipun melihat dirinya dibully, namun lelaki itu diam-diam mengamati Reiko bahkan menolongnya dari tiga gadis iblis itu. Tanpa sadar jari lincah Reiko kini dengan teliti mencari nama laki-laki itu dalam grup fakultasnya, karena setahu Reiko dia berasal dari jurusan yang berbeda dengannya. Reiko tampak fokus membuka grup fakultas dan membuka satu persatu foto yang terpajang pada profil w******p mereka. Senyum merekah kembali muncul di bibir Reiko, ketika dia mendapati sebuah foto profil yang menampilkan wajah laki-laki itu tengah menatap lurus ke depan. Dengan spot foto yang sengaja diambil dari samping membuat laki-laki tersebut tampak terlihat lebih dewasa dan tampan disaat yang bersamaan. 'Astaga, apa aku baru saja menyebutnya tampan?' Reiko hanya bisa tersenyum malu-malu akan pemikirannya sendiri. Selama ini dia tidak pernah tertarik pada lawan jenisnya, karena bagi Reiko tidak ada satupun pria yang baik di dunia ini. Tetapi setelah mengenal laki-laki itu, Reiko mulai menarik perkataannya. Sebenarnya tidak bisa dikatakan mengenal juga, karena pria itu langsung pergi begitu saja setelah menolong Reiko. Reiko melihat nama yang tertera pada profilnya dan dia memutuskan untuk menyimpan nomor WA laki-laki yang baru diketahui Reiko bernama Abi tersebut. "Abi.." Reiko menggumamkan nama itu pelan, lalu rona merah mulai menjalar di pipinya. Gadis tersebut tampak tersenyum pelan sambil terus menggumamkan nama Abi dalam hatinya. Hingga tanpa sadar kantuk mulai datang menjemputnya, membuat Reiko tertidur. Ia bahkan lupa untuk memeluk boneka di sampingnya ketika tertidur. Di sudut ruangan itu, tampak sosok bayangan hitam itu kini tengah mengawasi Reiko dengan tajam. Tatapan matanya seolah menyiratkan sebuah amarah saat melihat miliknya mulai melupakannya dan tampak menyukai lelaki lain. Seketika angin berembus kencang, membuat jendela yang tadinya tertutup rapat kini terbuka lebar hingga menimbulkan suara berderik yang memekakkan telinga. Sosok tersebut tampak melayang-layang di sekitaran Reiko yang sama sekali tidak terusik oleh kegaduhan yang dibuatnya. Kelambu putihnya yang tertiup angin kencang tampak berkobar-kobar dengan kuat. Buku diary Reiko yang ia taruh di atas meja belajarnya bahkan sampai terbuka di beberapa halaman yang kosong. Dimana pada halaman tersebut tertulis sebuah tulisan tak beraturan menggunakan tinta berwarna merah. Tak lama kemudian, sosok bayangan hitam itu kembali merasuk ke dalam boneka setengah badan di samping Reiko. Tangan boneka tersebut terulur memeluk Reiko, membawa gadis itu dalam pelukannya. Sepanjang malam boneka itu terus-terusan memeluk Reiko dengan erat, hingga mungkin hal itu dapat membuat Reiko merasakan badannya terasa remuk pada keesokan harinya. Dalam sekejap, jendela yang sebelumnya terbuka itu kini kembali tertutup rapat, membuat suasana sunyi senyap. Angin yang sebelumnya berembus dengan kencang juga telah lenyap, seolah tak pernah terjadi apapun sebelumnya. Dalam lembaran buku diary milik Reiko, terdapat sebuah tulisan; 'KAU MILIKKU!' To be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD