Dara terkekeh sambil memeriksa isi kulkasnya."Susunya habis, Mas. Lupa beli."
"s**u yang enggak bisa habis, Ra," balas Dimas.
"Itu, sih adanya kalau tengah malam, Mas. Siang begini belum diproduksi,"balas Dara."Orange juice?"
"Boleh."
"Duduk dong," kata Dara.
"Oke." Dimas melihat sofa yang tak jauh dari sana, lalu duduk.
Dara membawa dua gelas orange juice dan meletakkan di meja."Silahkan diminum."
"Makin dingin kalau minum orange juice di cuaca dingin begini, Ra"kata Dimas. Namun, ia tetap meneguk orange juice tersebut.
"Gampanglah...nanti kita cari yang hangat-hangat." Dara menscroll layar ponselnya, ia sedang memesan makanan hangat untuk mereka berdua.
Dimas melirik sedikit ke layar ponsel Dara."Kita ciptakan kehangatan sendiri aja, Ra, daripada kamu pesan begitu."
Dara menoleh, menatap Dimas dengan bingung."Ciptakan kehangatan? Yang kayak apa itu?"
Dimas meraih tengkuk Dara dan menariknya lebih dekat. Kemudian menempelkan bibirnya di bibir Dara. Dara membelalakkan matanya karena terkejut, secara spontan ia mendorong tubuh Dimas pelan. Tapi, Dimas menahan tubuh Dara dan sekarang melumat bibir wanita itu lebih dalam. Diraihnya ponsel di tangan Dara, dan diletakkan di atas meja. Dimas terus mencecap bibir Dara hingga wanita itu memejamkan mata, merasakan sensasinya.
Milik Dimas langsung mengeras di bawah sana. Tapi, ia tidak berani melakukan lebih dari sekedar berciuman. Namun, balasan ciuman Dara yang menggairahkan membuat Dimas ingin melakukan lebih dari ini. Tangan lembut Dara mengusap pipi dan tengkuk Dimas. Secara spontan, ia juga merapatkan tubuhnya ke pria itu. Keduanya sama-sama terbawa suasana.
Dimas membuka kancing kemeja Dara, lalu tangannya menelusup ke dalam. Menangkup dua gundukan kenyal milik Dara secara langsung. p****g Dara langsung mengeras saat Dimas menyentuhnya. Dara melepaskan ciuman mereka, kini ia memeluk tubuh Dimas. Tubuhnya mulai bergetar karena sentuhan Dimas.
Dimas menggerakkan tubuhnya agar Dara terbaring di sofa, ia membuka kancing kemeja Dara yang lainnya agar d**a wanita itu terbuka dengan jelas. Dara terlihat menahan napas saat menunggu apa yang akan dilakukan Dimas selanjutnya. Dimas meremas kedua gundukan kenyal itu, lalu menghisapnya. Dara membusungkan d**a sambil mengigit bibir bawahnya. Hampir saja ia mengeluarkan suara desahan.
Dimas beralih lagi ke bibir Dara tapi tangannya masih terus bekerja di d**a Dara. Wanita itu merasakan miliknya mulai basah. Tangan Dimas pun kini turun mengusap pahanya. Baru saja Dimas hendak menelusupkan tangannya ke dalam rok Dara, ponselnya berbunyi. Keduanya kaget dan spontan merubah posisi masing-masing.
Dara pun merapikan penampilannya. Sementara Dimas mengangkat telponnya.
"Ha...halo?"
"...."
"O...oke."
Dimas melirik ke arah Dara yang wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus. "Ma...maaf...aku harus pergi. Ini penting banget."
"Oke. Enggak apa-apa. Diminum dulu."
Dimas mengangguk. Ia meneguk orange juice itu sampai tandas."Aku balik ke kantor dulu ya. Nanti...aku hubungi lagi."
"Iya. Hati-hati ya."
Dimas berdiri hendak pergi. Tapi, ia berbalik arah menghampiri Dara. Ia melumat bibir Dara sekilas. Mereka bertatapan beberapa detik, lalu tersenyum penuh arti.
**
Dara duduk di meja kerjanya, memandang ke arah luar jendela sambil menikmati teh hangat. Sesekali senyumnya mengembang, lalu memejamkan mata menikmati udara segar yang masuk. Ini masih jam setengah tujuh, tetapi Dara sudah tiba di kantornya seperti biasa.
Dara meletakkan cangkir teh di atas tatakan, lalu mengambil ponsel dan mencari kontak Dimas. Ia melihat foto kontak Dimas, pria itu terlihat tampan dan berwibawa di sana. Dara tersenyum lagi. Terkadang ia merasa sudah gila. Tapi, ia tahu bahwa saat ini ia sedang jatuh cinta. Dara suka menyendiri di pagi seperti ini. Ia bisa berdiam diri, larut dalam pemikirannya sampai berjam-jam.
Pintu ruangan terbuka, Dara menoleh sekilas. Ia tahu, itu adalah Gia, dari caranya membuka pintu."Morning, Gi."
"Morning, Nona tukang ngelamun pagi-pagi," balas Gia.
"Aku cuma nikmatin udara segar kali, bukan ngelamun," balas Dara.
"Sama aja,"balas Gia sambil duduk di meja kerjanya lalu membuka komputer. "Penjualan kita gimana, Ra? Bagus?"
"Kata Vania aman-aman aja."
"Oke deh kalau gitu." Gita melirik Dara yang kembali tersenyum."Kemaren ketemu Dimas gimana? Udah deal?"
Dara menggeleng."Belum...revisi lagi."
"Ribet ya..." Gia tertawa.
"Iya. Tapi menyenangkan kok."
"Orangnya?" goda Gia.
Dara tertawa."Semuanya. Oh ya...semalam Vania chat aku, katanya hari ini kita bakalan kedatangan tamu dari jauh. Siapa ya?"
"Oh iya. Katanya sih dia mau investasi ke kita, tapi aku juga belum tahu siapa yang datang," jawab Gia.
Dara mengangguk-angguk."Oke deh...eh warna lipstik aku bagus enggak, sih?"
Gia tersenyum."Tadinya aku sempet heran sih kamu kok ganti warna lipstik. Tapi, ya...setelah itu aku maklum...kamu kan lagi jatuh cinta. Butuh sesuatu yang menarik lawan jenis."
"Memang warnanya norak?" Dara cepat-cepat membuka laci meja dan mengambil cermin kecil di sana,memerhatikan wajahnya.
Gia menggeleng."Bukan. Wajah kamu jadi kelihatan cerah banget sih. Malah bagus sih...tapi kamu jadi kelihatan beda banget dari biasanya. Gitu..."
Dara mengangguk-angguk saja. Ia membuka laptopnya. Mereka berdua pun hening sampai Vania datang.
"Sorry ...telat," katanya dengan suara nyaring.
"Memang biasanya begitu,"balas Gia.
"Panas banget sih....aduh Dara kebiasaan deh. Ini kan udah jam sembilan, udah panas. Tutup jendelanya dan nyalakan AC." Vania menutup jendela kaca di sebelah meja Dara dengan rapat, kemudian menyalakan AC.
"Ya ampun...." Dara tertawa geli. "Tamunya udah datang, Van?"
"Sebentar lagi. Di jalan sih katanya,"jawab Vania sambil merapikan make up-nya. Beberapa menit kemudian, ponsel Vania berbunyi.
"Eh...eh...yuk turun. Tamunya udah datang tuh." Vania berdiri sambil merapikan bajunya.
Gia dan Dara bertukar pandang. Dara mengangkat kedua bahunya lalu mengikuti Vania. Dengan perlahan ia menuruni anak tangga. Dua orang pria sedang duduk di sofa, lalu berdiri saat ketiga owner itu datang. Dara menajamkan pandangannya.
"Astaga, Vania!" gerutu Dara.
"Ra, itu...kak Reza ,kan?" bisik Gia sambil berjalan.
"Iya. Memang rese ini Vania...pasti sengaja."
"Halo, Vania, Gia, dan...Dara,"sapa Reza dengan menekankan suara pada nama Dara.
"Ternyata tamunya Kak Reza...ayo silahkan duduk,"kata Gia sambil menjabat tangan Reza dan rekan di sebelahnya. Lalu diikuti oleh Dara.
Vania tersenyum ke arah Dara sebagai permintaan maaf sudah merahasiakan hal ini. Tapi, itu adalah permintaan Reza agar merahasiakan kedatangannya ini. Mereka berlima memperbincangkan banyak hal mengenai industri bisnis yang sedang mereka geluti saat ini.
"Hai, Ra." Reza menghampiri Dara saat rapat kecil mereka selesai.
Dara tersenyum."Hai, Kak."
"Apa kabar?"
"Baik, Kak."
"Kudengar kamu udah meninggalkan kerjaan kamu sebagai arsitek, Ra? Beneran?"
"Iya. Udah ada sekitar dua tahunan gitulah. Sekarang ngejalanin bisnis ini aja bareng Gia dan Vania. Kayaknya lebih asyik sih."
"Tapi, ini bukan passion kamu, Ra. Kenapa kamu tinggalin sih, apa karena masalah kita waktu itu?" Pertanyaan Reza membuat ulu hati Dara terasa sedang ditusuk tombak yang besar.