21

1066 Words
Pemuda tempo hari yang Andreas lihat mati tertali di pohon juga menggunakan triple stick, selain itu ia teringat bahwa Luis teman sekarantinanya juga membawa stick. Luis seperti sangat menguasai benda itu, tapi jika pikirannya benar Luis tak jauh dari sana berarti Luis yang membunuh pemuda itu. Luis memang suka membuat lawakan, tapi hal itu tidak menampik bahwa ia tak akan melakukan pembunuhan. Jika terdesak semua orang akan melawan, seperti dirinya. Andreas berharap bertemu dengan Luis lagi, ia dan Alisa satu-satunya teman yang menyapanya saat memasuki ruang aula. Ia yang begitu pendiam mulai mencoba untuk beradaptasi lagi agar tak terkesan sombong. Bagi Andreas itu pertama kalinya, cukup aneh memang tapi ia menyukainya. Menyukai terbuka pada orang lain yang mungkin juga untuk terakhir kali sebelum ia mati dalam waktu dekat ini. *** Sementara itu di tempat berbeda, Ron tengah duduk sendirian. Meninggalkan adik-adiknya yang mungkin saat ini tertidur pulas di kamar, ia teringat pembicaraannya dengan Jean beberapa minggu lalu setelah Andreas pergi dari sana. "Apa kau yakin Andreas akan lulus ujian sekolah?" ucap Ron pelan saat itu yang memalingkan wajahnya pada anak-anak yang sedang bermain. "Kenapa? Kau tak yakin dengan kemampuan Andreas?" tanya Jean. Ron mengangguk. "Aku tak tahu harus mengatakan apa, tapi Andreas tak pandai berkelahi, meskipun dia selalu saja menjaga kita." "Ron, kau ingat julukan yang di berikan orang-orang pada Andreas? Dia adalah si anak beruntung, mungkin dia tak pandai berkelahi, tapi keberuntungannya akan membawanya pada nasib baik," ucap Jean. Ron mendengarkan ucapan Jean, meskipun begitu dia tak ingin menanggapi, masih ada perasaan khawatir pada Andreas. Memang di lihat dari segimanapun Andreas selalu beruntung, selain itu dia juga pandai hingga mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk sekolah di sekolah mahal. Ingatkan itu seakan membekas dalam pikirannya, bagaimana mungkin ia tetap yakin Andreas menjadi anak beruntung jika saat ini saja ia tak tahu kapan kakak pantinya itu. Ron tahu ujian sudah di langsungkan beberapa hari lalu, itu yang di katakan pemilik restoran padanya saat ia tengah bekerja. Berita tentang ujian juga sudah menyebar keseluruh negara. Pemilik restoran tempatnya bekerja memberikan Andreas semangat dan dukungan agar Andreas lulus ujian itu. Televisi dan stasiun radio menyiarkan berita itu, hanya saja mereka tak memberitahu bagaimana ujian itu berlangsung apa yang terjadi disana pun tak ada yang tahu. Ingin sekali Ron menyemangati Andreas dan meyakinkan dirinya bahwa Andreas masih hidup sampai saat ini. Saat Ron tengah melamun di teras, Mark datang sambil sesekali menguap dan mengusap matanya secara perlahan. "Ron, kau belum tidur?" Begitu tanya Mark mengetahui bahwa Ron masih terjaga. "Mark, kenapa kau berada disini? Harusnya kau tidur. Mamah bisa memarahimu," ujar Ron memberitahu adiknya itu. "Aku sedang pipis tadi, lalu aku lihat pintu terbuka. Ron sedang apa?" tanya Mark lagi. "Tidak ada, aku hanya mencari udara segar saja. Lelah bekerja seharian," kata Ron. "Bagaimana kalau kita masuk dan kau pijat punggungku." Mark mengangguk, kemudian Ron berjalan mendekati Mark dan mereka masuk kedalam bersama. Mungkin saat ini pikiran Ron salah, ia terlalu memikirkan Andreas sampai lupa bahwa ia memiliki saudara yang tak hanya satu. Apalagi tahun depan Jean akan mengikuti ujian, Jean sudah memintanya untuk mengajari caranya bertarung dan mempertahankan dirinya dari serangan. Meskipun ia tak begitu yakin, karena Jean memiliki sisi yang begitu lembut sebagai seorang perempuan.   Meskipun Ron, Jean, Mama serta penghuni panti asuhan selalu berdoa agar Andreas selamat dari ujian mematikan itru, tapi mereka tetap saja ketakutan jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Bahkan saat Ron sudah kembali kekamarnya ia masih merasa bahwa ia khawatir pada Andreas. Ranjang disebelahnya kini kosong, biasanya ada Andreas yang tertidur tenang setiap malam di sana sebelum dua minggu ini. Beberapa hari sebelum Andreas pergi, Ron sering memperhatikan wajahnya, ia ingin mengingat setipa lekukan wajah trak rata itu. Mungkin itu akan menimbulkan luka jika terus diingat, tapi itu salah satu alasan Ron bisa bertahan. Andreas bukan hanya milik dirinya, tapi juga milik seluruh panti. Sayang, nasib tak pernah baik pada Andreas. Jika Andreas memiliki keluarga, mungkin saja Andreas yang lugu tak mengalami nasib yang sama dengannya atau anak-anak panti lainnya. Masih di rumah yang sama tapi tempat berbeda, sang mama tengah terduduk dimeja kerjanya, melihat beberapa berkas pengajuan biaya hidup anak-anaknya. Meskipun begitu ia masih memikirkan tentang Andreas, putra kecilnya yang masih bertaruh nyawa antara hidup dan mati. Empat hari lalu, sebagai wali Andreas, pemerintah meminta Mama untuk menandatangani surat persetujuan Andreas mengikuti ujian itu. Apapun yang terjadi disana sudah menjadi hal panitia, Mama menandatangani dengan berat hati, mau tak mau ia harus melakukan hal itu, tak ada pilihan lain. Sebab jika ia menolak akan terjadi hal buruk padanya. Pemerintah selalu mengancam hal buruk pada panti asuhan yang sudah lebih 25 tahun ia urus itu, mereka akan menyetop bahan makanan dan uang kebutuhan hidup setiap bulan jika Mama menolak. Ketika Andreas masuk sekolah seperti yang lainnya pun, pemerintrah memaksakan hal itu, padahal anak miskin yang tinggal di panti asuhan tak akan mengikuti ujian mematikan. Lagi-lagi Mama tak bisa melakukan apapun untuk menjaga anak-anaknya tumbuh dewasa selayaknya anak yang lain. Ia sudah kehilangan dua anaknay dalam dua tahun terakhir, kini untuk ketiga kalinya Andreas anak yang paling beruntung mengikuti ujian itu. Ia sebenarnya tak rela, bukan Andreas saja tapi juga anak-anak lainnya. Padahal ia masih mengingat Andreas kecil 18 tahun lalu. 18 tahun lalu, ketika musim dingin tiba, udara mencekik tajam seprerti pisau yang mengenai kulit. Seseorang perrempuan berusia sekitar 25 tahun mengetuk pintu panti asuhan. Mama membuka dan mendapai perempuan itu tengah menggendong seorang anak laki-laki yang manis, perempuan yang kemudian Mama tahu selingkuhan dari seorang ketua senat saat itu mengatakan bahwa akan menitipkan Andreas di panti, karena ketua senat hendak membunuhnya. Perempuan itu mengatakan akan mengambil Andreas lagi jika masalah selesai, dan akan tetap menanggung semua biaya Andreas selama di sana. Namun, sampai 18 tahun berlalu perempuan itu tak pernah muncul, bahkan ditahun kedua ia tak pernah mengirim biaya lagi. Setiap melihat wajah manis Andreas, selalu mengingatkan pada perempuan itu. Mama menerima Andreas seperti anak-anak lainnya, meskipun biasanya anak-anak akan diadopsi orangtua angkat jika sudah waktu. Banyak dari mereka yang berusaha mengadopsi Andreas, tapi anak itu terus menolak dan mengatakan bahwa ia ingin tetap tinggal disana bekerja untuk panti asuhan, ia terus mengucapkan itu untuk setiap calon orangtua angkatnya. Ketika berusia tujuh tahun saat anak-anak sudah seharusnya masuk sekolah, Mama diberi kesempatan untuk menyekolahkan anaknay dengan beasiswa, ia memilih Andreas. Sebelas tahun lalu ketika Andreas mulai mendapatkan beasiswa Aprin masih berkuasa, ujian mematikan itu berhenti, tapi setelah Aprin turun Mama mulai ketakutan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD