#
Saat mereka sudah berada di ruang kerja Leo.
Ruang luas dengan rak jurnal medis rapi dan aroma peppermint yang khas, Wulan memilih untuk berdiri di dekat jendela besar.
“Kau tidak perlu melakukan semua ini,” katanya pelan tanpa menoleh.
"Melakukan apa?" Leo menatap Wulan dengan tatapan tidak mengerti.
Wulan menarik napas panjang.
“Memperkenalkanku pada seluruh staf seakan aku akan menjadi bagian dari klinik ini, itu terasa sedikit... berlebihan,” ujar Wulan.
"Aku hanya akan menjadi istrimu dan sesekali datang ke sini menemuimu tanpa harus mengenal dan tahu tentang semuanya, itu sudah cukup. Aku tidak akan merasa kalau kau sedang menyembunyikanku dari dunia seperti sebelumnya."
Leo mendekat dan menatap Wulan lekat-lekat.
"Kau marah? Apa berkenalan dan berinteraksi dengan banyak orang membuatmu tidak nyaman saat ini?"
Wulan menggeleng cepat.
"Tidak sama sekali. Aku suka keramaian dan aku suka berkenalan dengan orang baru. Maksudku bukan berarti aku tidak nyaman dengan semuanya," jawab Wulan.
Kali ini Leo tampak tersenyum penuh makna.
"Tepat sekali. Wulan, kau adalah orang yang senang dengan keramaian, kau senang berada di antara banyak orang. Setidaknya itu yang aku ingat dari dirimu."
Itu Nayaka, bukan Wulan. Dalam hatinya Wulan seakan ingin protes saat Leo menggunakan semua kenangan Wulan sebagai Nayaka untuk menggambarkan kepribadian Wulan sendiri.
"Ya, kau benar. Jadi apa tujuanmu?" Wulan bertanya pelan. Dia bisa membaca kalau Leo tidak mungkin membawanya ke klinik ini lagi dan mengenalkannya pada semua orang kalau tanpa tujuan.
Leo melangkah ke arah meja kerjanya dan memberikan sebuah map pada Wulan.
"Kau sekarang memiliki jumlah saham yang sama denganku dan berhak mengelola tempat ini saat kau merasa siap. Untuk sekarang ada keuangan dan pengelolaan operasional tempat ini, aku kerjakan sendiri dan dibantu dengan dokter Gia serta dokter Reihan. Aku akan mengenalkan mereka padamu nanti," ucap Leo.
Wulan mengerjap tidak percaya. Dia tahu benar kalau klinik ini adalah hidup Leo. Bagaimana bisa Leo mempercayakan semuanya padanya dan bahkan memberinya jumlah saham yang sama dengan milik Leo sendiri.
Sekarang Wulan jadi bertanya-tanya, apakah dia benar kembali ke masa lalu yang sama dengan yang telah dia lewati sebelumnya? Kenapa segala hal tentang Leo terasa dan terlihat sangat berbeda?
"Kau gila," ujar Wulan.
Leo mendekat padanya dan meraih pinggang Wulan perlahan.
"Aku tergila-gila padamu dan aku berharap kau bisa merasakannya. Aku berharap kau mampu memahami perasaanku dan tidak meragukanku bahkan meski ingatanmu belum kembali," ujar Leo.
Wulan terdiam selama beberapa saat. Terkadang ingatan tentang Leo yang pernah bersikap kejam padanya dan ucapan Nayura kepadanya sebelum ajal menjemput membuat Wulan merasa kalau bayangan Leo di kehidupan pertamanya dan kehidupannya yang kedua ini terasa tumpang tindih.
"Aku ingin mempercayaimu," ucap Wulan. Hatinya memang ingin mempercayai Leo tapi otaknya tidak. Dia pernah dikhianati oleh semua orang dan pernah disakiti oleh semua orang juga, termasuk Leo.
Meski begitu dia hanya diam saat Leo akhirnya meraih bibirnya lembut dan mengecupnya pelan.
"Kau milikku Wulan dan aku juga milikmu. Cukup percaya itu dan kau hanya perlu mempercayaiku saja karena aku tidak akan pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi," bisik Leo.
Ciuman itu menjadi lebih dalam dan menghanyutkan meski saat Wulan menutup matanya dan mencoba menikmati setiap perlakukan Leo padanya, di saat yang sama juga semua kejadian di masa lalu melintas di ingatannya. Satu persatu seperti sebuah adegan film yang diputar kembali.
"Ya aku akan mempercayaimu," ujar Wulan. Dia menetapkan hati akan mengikuti semua permainan Leo. Setidaknya sampai dia menemukan cara menggunakan semua yang Leo berikan padanya saat ini untuk menghancurkan semua orang.
Keluarga Prawita
Nayura Prawita
Mantan suaminya, Raka
Dan terakhir, Leo.
Semuanya terkait di masa depan yang jauh dan dia yakin, pada waktunya nanti semuanya akan kembali terkait.
#
Raka tiba di apartemennya dan langsung melemparkan tubuhnya ke atas sofa.
Saat itu Mitha perlahan mendekatinya dan mengulurkan tangan untuk menyentuhnya tapi Raka menepisnya cepat.
"Kau seharusnya menyambutku saat aku pulang! Aku tidak melihatmu di manapun saat aku membuka pintu," protes Raka.
Mitha menatap Raka dengan alis berkerut.
"Aku sedang menelepon di balkon dan aku tidak dengar kalau kau sudah pulang. Sudahlah ini hanya hal kecil tapi kau selalu mengeluh dan merengut tentang ini," ujar Mitha santai.
Raka tidak terima mendengar ucapan Mitha.
"Kau sudah tinggal lama denganku semenjak Nayaka meninggal dan hubungan kita bukan baru sekarang tapi kau masih saja bersikap seperti ini. Kalau itu Nayaka, dia akan langsung berlari ke depan pintu dan menyambutku. Kau seharusnya seperti itu kalau kau benar-benar ingin menjadi istriku!" Bentaknya.
Mitha tampak kaget dengan Raka.
"Apa maksudmu? Aku sudah bilang kalau aku tidak sengaja. Aku sedang menelepon," ujarnya membela diri.
"Memangnya siapa yang meneleponmu dan lebih penting dari aku, orang yang akan menikahimu?!" Raka tidak terima.
Mitha terdiam selama beberapa saat dan kemudian mencoba mendekati Raka lagi.
"Baiklah, aku minta maaf. Kau tahu aku tidak bermaksud begitu. Lain kali aku akan langsung menyambutmu saat kau pulang. Oke? Jangan marah lagi ya Sayang." Mitha kembali melunak. Dia tahu kalau percuma beradu argumen dengan Raka di saat statusnya masih seorang simpanan seperti sekarang.
Aslinya Mitha muak dengan cara Raka yang selalu membandingkan dirinya dengan almarhum istri Raka yang sudah meninggal. Dia tidak mengerti kenapa Raka selalu mengungkit Nayaka saat wanita itu sudah tidak ada lagi di dunia ini.
"Jangan marah lagi, oke? Kau tahu kan kalau anak kita mungkin kaget kalau kau terus-menerus bersuara keras," ujar Mitha.
Raka menarik napas panjang. Dia hampir lupa kalau saat ini Mitha sedang mengandung.
"Baiklah, lain kali jangan ulangi lagi. Aku tidak suka saat pulang dan tidak disambut. Kau selalu melupakan hal ini dan aku harap ini yang terakhir. Setidaknya tunjukkan kalau kau bisa lebih baik dari Nayaka agar keluargaku bisa menerimamu dan anak kita," ujar Raka.
Mitha kini bergelayut manja di lengan Raka.
"Aku akan berusaha. Demi pria yang aku cintai dan demi anak yang ada di kandunganku. Kita harus menikah secepatnya sebelum perutku semakin membesar. Kau tidak ingin anak kita terlahir di luar nikah kan?" Balas Mitha.
Raka hanya diam. Dia sebenarnya tidak suka dengan sikap Mitha yang terkadang seakan menekannya tapi dia membutuhkan penerus dan Mitha sedang mengandung anaknya saat ini.
"Kekurangan Nayaka hanyalah kenyataan kalau dia mandul. Ini akan berat untukmu saat nanti aku membawamu bertemu dengan orang tuaku," ucap Raka.
Mitha tersenyum lebar.
"Jangan khawatir. Aku akan bisa mengatasinya. Apalagi saat ini aku sedang mengandung anak kita. Aku yakin orang tuamu akan bisa menerimaku bahkan meski mereka tidak suka padaku, mereka tidak akan bisa menolak anak kita."
Kalimatnya penuh percaya diri.